Keesokan harinya, demam Airin sudah turun. Pagi-pagi sekali dia bangun dan langsung mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Setelah selesai, dia membangunkan Mawar yang tertidur di ranjang bersamanya. Sejenak Airin khawatir adiknya itu akan benar-benar tertular, sehingga dia bertanya saat melihat Mawar terbangun.
"Kamu baik-baik saja?"
Mawar mengangguk lemah karena kantuk yang masih menggantung di bawah pelupuk matanya.
Airin menghela napas lega karena melihat Mawar tampak baik-baik saja. Lalu selagi Mawar di kamar mandi, Airin pergi ke jendela dan membukanya lebar. Dia berdiri di sana untuk beberapa saat,
"Tuan! Tuan!"Perhatian Sakha yang semula tengah tertuju pada layar laptopnya teralihkan. Dia melihat seorang pria setengah baya yang merupakan pekerjanya di kebun datang menghampiri.Sakha berdiri dari kursi lalu menuruni tangga teras rumah peristirahatan. "Ya, Pak? Ada apa?" tanya Sakha.Pria setengah baya itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Itu, Tuan, saya mau minta izin untuk metik mangga di kebun.""Mangga? Memang sudah berbuah?"
Sakha dan Tia sudah berangkat pagi tadi menuju kota, pun juga dengan Ria dan Nia yang harus kembali ke rutinitas mereka masing-masing, tinggal Airin seorang diri yang kini sedang mencangkul tanah setelah sebelumnya mencabut rerumputan di halaman samping paviliun. Rencananya, Airin hendak membangun kebun kecil di sana. Dan dia sudah meminta izin pada Sakha.Kendati pinggul dan tubuhnya masih pegal-pegal atas apa yang Sakha lakukan padanya kemarin, tidak menyurutkan semangat Airin untuk bekerja hari ini.Pada siangnya, Galih datang membawa keranjang besar berisi buah-buahan. Pria itu terkejut mendapati Airin yang tengah bekerja keras dan tampak sangat kotor oleh bekas tanah yang menempel di tangan dan bajunya, bahk
Galih mengampiri Airin dan mengambil kembali ponselnya."Ririn, Tuan bilang apa?" tanya Galih penasaran. Dia sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi ekspresi di wajah Airin saat ini benar-benar mengkhawatirkan. Bahkan ada jejak air mata di pipinya.Airin tersadar, lalu segera memasang senyum penuh misteri. "Biasa, masalah rumah tangga!" jawabnya.Sekalipun Airin mengatakannya dengan nada biasa-biasa saja dan terkesan acuh, tapi melihat dari ekspresi Airin sebelumnya, Galih tahu ada yang tengah perempuan itu sembunyikan. Namun ini bukanlah ranahnya untuk tahu.
Sesampainya Airin di rumah utama, Ria dan Nia ternyata sudah sampai. Airin cukup terkejut dengan kehadiran dua istri Sakha yang cantik-cantik itu tengah duduk-duduk manis di teras. Airin yakin, siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira bahwa dua bidadari tengah mampir ke rumah ini.Airin tidak melebih-lebihkan, dibanding dengan dirinya yang saat ini mengenakan pakaian lusuh berlapis-lapis dan wajah yang hampir tertutup debu, Ria dan Nia tampil sangat cantik.Saat Airin turun dari mobil, kedua pandangan wanita di teras rumah itu tertuju langsung padanya. Airin tersenyum pada mereka."Ya ampun, Ririn?!" seru Ria.
Airin bergabung dengan yang lain di dalam, melihat ketiga istri Sakha yang lain sibuk membuka bingkisan yang Tia bawa dan heboh sendiri dengan oleh-oleh itu. Sementara Airin tanpa sadar sibuk memakan manisan pala yang Tia bawa juga dan dia suguhkan di meja. Sedangkan Sakha dan Gani langsung beralih ke ruang kerja, entah untuk membahas apa.Airin mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi nyaris seluruh perhatian di kepalanya terus saja tertuju ke sana.Apa yang Gani lakukan di sini?Apa hubungannya Gani dengan Sakha?Dan apa yang a
Kamar Airin gelap. Ruang tamu juga gelap. Tapi dari cahaya yang masuk melalui jendela yang terbuka, Airin bisa melihat dengan jelas wajah suaminya terpampang di hadapannya."Airin," lirih pria itu. Suaranya rendah dan nyaris tercekat.Airin merasakan dingin yang tadi membuatnya nyaman mulai membekukan, lalu melebur dan mencair begitu saja, hanya karena satu panggilan nama yang seharusnya tidak berartikan apa pun, tapi sangat dahsyat yang Airin rasakan karenanya."Tuan," sahut Airin pelan.Apa yang Sakha lakukan di sini? Bukankah
Tapi pasti ada alasan lain, pikir Airin lagi. Dia menatap Sakha yang kemudian melangkah menghampiri meja rias. Jantung Airin berdetak semakin tidak karuan dibuatnya, mengingat apa yang dulu juga pernah mereka lakukan di sana. Apakah Sakha ingin menggunakan gaya aneh itu lagi?“Apa yang hendak Tuan lakukan?” tanya Airin kemudian, suaranya terdengar gugup. Ini pertanyaan yang entah sudah keberapa kali.Sakha menarik kursi dan menatap Airin. “Duduk di sini, Airin!”Airin mengernyit. “Untuk apa?”Sakha menghela napas sabar. “Duduklah dulu.”Dengan langkah yang sedikit terseok dan ragu-ragu, Airin pun duduk di kursi riasnya itu. Sakha berputar lalu berdiri di belakangnya, menatap Airin melalui cermin oval di hadapannya. Kening Sakha tampak berkenyit pelan.“Wajahmu ….”“Kenapa?” tanya Airin bingung.“Tampak lebih tirus dari biasanya. Apa Ga
Sakha terkejut. Benar-benar tidak menduga Airin akan melakukannya.Sejenak, Sakha hanya mematung, tidak membalas ciuman Airin karena mendadak respon tubuhnya membeku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kelembutan dan kehangatan serta godaan-godaan yang diberikan Airin segera membakarnya.Airin, jelas adalah seorang amatiran di awal. Juga nyaris kehilangan kepercayaan dirinya dalam ciuman itu ketika Sakha butuh beberapa detik lamanya untuk merespon. Namun ketika Sakha bergerak dengan tiba-tiba, berlutut di lantai dan mendorong Airin ke kursi; memperdalam ciuman mereka, Airin tidak butuh untuk tahu cara melakukannya dengan benar, karena Sakha adalah seorang pencium yang ulung, yang dalam sekejap langsung bisa membuat Airin melupakan banyak hal selain diri mereka berdua, di sana, bersama getaran-getaran yang menggoda setiap syaraf dalam tubuh.Tangan Sakha tenggelam dalam helai rambut Airin yang hitam legam, menggenggamnya pelan dan menariknya dengan lembut ke