Ria tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Mas keknya udah mau berangkat," katanya, kemudian Tia dan Nia pun ikut berdiri. Ria menoleh pada Airin. "Nanti kalau kamu sudah selesai piring kotornya dibawa ke dapur ya, Rin, bantu bibik lah sesekali."
Airin mengangguk kepalanya tanpa membantah. "Iya, Kak," ucapnya. Mereka bertiga pun serentak pergi dari ruang makan, meninggalkan Airin seorang diri, yang tidak merasa perlu untuk ikut melepas kepergian Sakha.
Airin terkekeh dengan pikirannya sendiri. Kata melepaskan, seolah Sakha hendak pergi ke medan perang saja. "Hahahah!" tawanya lagi, yang terdengar menggema di ruang makan luas dan sepi itu.
"Mau sampai jam berapa di sana?" tanya Sakha. Mereka berdua tengah duduk bersebelahan di dalam mobil yang Sakha kemudi menuju rumah orang tua Airin. "Hmmm." Airin berpikir lama selagi memaku pandangannya ke luar jendela, melihat rumah-rumah warga yang beberapa dikenalnya berlalu begitu saja. "Belum tahu. Lihat nanti aja," jawab Airin kemudian. Sakha meliriknya sebentar, tapi tidak bertanya lagi. Ketika mereka sampai, Airin tidak langsung turun, sebab beberapa
Airin pergi ke dapur dan membantu ibunya memasak untuk sarapan pagi mereka, yang biasanya lebih sering digabung sekalian dengan makan siang, tidak seperti di rumah Sakha di mana semuanya lebih mudah dan teratur, karena memang ada yang mengatur. Bapak Airin, Fahrul Jamal baru saja keluar dari kamar dan langsung ke dapur menanyakan keberadaan Sakha. "Udah pulang, Pak. Dia cuma mampir sebentar buat nganter Airin dan pamit. Salam katanya buat Bapak," kata Yuniarti, menjawab pertanyaan sang suami. "Kenapa nggak mampir?" tanya Jamal lagi.
Sakha bilang bahwa malam ini merupakan malam terakhir mereka. Airin sama sekali tidak menyadari itu dan berpikir bahwa Sakha akan bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Itulah kenapa, untuk sesaat dia ingin kabur ke rumah orang tuanya untuk menjernihkan pikiran. Tapi kalau tahu begini … Airin tidak perlu lagi bersusah hati. Dia senang. Sementara kedua sudut bibir Airin melengkung ke atas, Sakha justru sebaliknya. Pria itu tidak mengatakan apapun semenjak mereka berdua meninggalkan rumah orang tua Airin.
Pagi datang bersamaan dengan suara kicau burung fajar yang saling bersahutan di pohon, juga ayam berkokok yang terdengar di kejauhan, suara serangga di semak belukar luar mulai memelan. Tapi bukan itu yang membangunkan Airin dari tidurnya—yang dia tahu baru dia dapatkan hanya sebentar, melainkan Sakha, yang terus-terusan mengusap punggung Airin tanpa henti sedari tadi. Mungkin bagi lelaki itu apa yang dia lalukan adalah gestur menenangkan supaya Airin semakin terbuai dalam tidurnya, tapi yang Airin rasakan justru sebaliknya dan Sakha tidak menyadari itu. Airin membuka mata, langsung disuguhkan oleh pemandangan dada bidang sang suami. Apa Sakha tertidur? pikir Airin. Dia pu
Seperti yang Ria janjikan tadi, bahwa dia akan mengajari Airin merias wajah.Di ruang keluarga yang luas, dilatari oleh suara televisi yang menyala, keempat istri Sakha duduk di sofa dan tengah sibuk dengan urusan masing-masing.Nia sedang asik bertelepon dengan temannya di kota. Tia sedang fokus ke layar hapenya membuka sosial media. Sementara Ria merias wajah Airin sembari sesekali menjelaskan. Dan Airin sama sekali tidak fokus pikirannya dengan apapun.Suara petir yang menggelegar di iklan sebuah merk detergen di tv mengagetkan Airin dan menyadarkannya dari lamunan. Dia membuka mata setelah sebelumnya Ria suruh tutup
Sepasang mata gelap yang tengah balik menatap Airin tajam di cermin itu tampak jengkel.“Apa-apaan ini?!” ucapnya. Tidak peduli seberapa sering dia menoleh ke kanan kiri untuk melihat posisi yang bagus pada wajahnya, dia tidak berhasil menemukannya. Eye shadow di matanya terlalu gelap mencolok. Eyeliner-nya juga tebal dan runcing. Contour di pipi dan hidungnya terlalu tajam. Rona merah di pipinya sedikit lebih kemerahan dari yang seharusnya. Kedua alisnya yang tipis disulap menjadi alis tebal berwarna hitam kecoklatan. Lipstik merah di bibirnya yang penuh tampak sangat menor. Belum lagi bulu mata palsu dua lapis yang membuat matanya begitu berat dan mengantuk.Airin langsung tertawa keras
Langkah Sakha tergesa-gesa menuju ruang tamu di mana ketiga istrinya tengah berada. Televisi masih menyala, tapi mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.Menyadari kehadiran Sakha, Tia yang kebetulan duduk menghadap samping ke arah pintu masuk langsung menoleh.“Lho, Mas? Sudah pulang?” kata Tia.Mendengar sang suami disebut, Ria dan Nia pun ikut menoleh.Saat sampai di ruang keluarga Sakha melangkah melewati mereka untuk mengambil remote tv dan menekan tombol off, bersamaan dengan itu Ria membuka suara.“Tumben sudah pulang, Mas. Bukannya Mas pergi ke—“Ucapan Ria itu terpotong ketika Sakha membanting remote tv-nya dengan kasar ke meja.“Kalian harus lebih berhemat lagi,” ucapnya dengan suara dingin.“Mas! Mas! Aku punya sesuatu untuk Mas lihat. Sini deh!” ceplos Nia, sama sekali tidak menyadari adanya aura tidak mengenakkan yang menguar di sekitar sang suami.
“Na na na na na hm hmm.” Airin bersenandung pelan, melangkah keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut panjangnya yang basah.Namun kemudian pintu kamarnya terbuka dengan keras, sampai-sampai membuat Airin hampir terlonjak kaget.“Tuan!” serunya, menatap Sakha kesal.Tatapan Sakha langsung berlabuh pada gadis itu dan melembut. “Maaf, apa aku mengejutkanmu?” tanyanya.Airin mendelik. “Tuan hampir saja membuat saya jantungan,” sahutnya, kemudian pergi ke meja rias setelah