“Ada banyak orang yang menghubungi Bapak agar Bapak bisa speak up tentang masalah yang sekarang ramai dibahas.”Dante menginformasikan segala sesuatu yang melibatkan Praba. Di luar sana, banyak spekulasi muncul dan semua pembawa berita pun berlomba ingin mengetahui kebenaran berita simpang siur tersebut. Hanya saja, Praba tidak berminat untuk mengurus hal tersebut.Akan ada waktu berita tersebut akan hilang dengan sendirinya. Praba tahu betul, masalah seperti ini tidak akan pernah bertahan lama di media. Ada hal yang lebih viral, maka berita yang sekarang akan tergerus begitu saja.“Lalu?” Praba menatap Dante sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Kedua tangannya memegangi ujung pena sesekali memutarnya.“Pak Dimas sekarang kembali memegang perusahaan. Ada sedikit gejolak yang terjadi di perusahaan sana, dan mereka berusaha agar masalah itu tidak sampai di teling wartawan.”Praktis sejak Praba keluar dari rumah orang tuanya dan dilarang menginjak kakinya di perusahaan sa
“Untuk apa aku memberi tahu kamu? Nggak akan mengubah apa pun ‘kan? Kamu juga nggak akan pernah jatuh cinta sama aku.” Talita menjawab dengan suasana hati yang terusik.Perempuan itu berdiri menghadap Praba. Menatap lelaki yang dicintainya benar-benar mengusik ketenangan hatinya. Perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan selama ini hanya buang-buang waktunya.Tidak sekalipun Praba mencintanya. Perasaan lelaki itu tertutup oleh cinta semu seorang Cantika. Talita tidak kalah cantiknya dengan perempuan itu, tetapi meskipun begitu, Praba tidak pernah meletakkan ketertarikannya kepada Talita.“Kalian benar-benar menganggapku sebodoh itu?”“Tidak ada yang menganggapmu bodoh, Mas. Aku melakukan semuanya karena aku cinta sama kamu. Di sisi lain, Papa dan Mama memberiku dukungan. Semua sah-sah aja, ‘kan?”“Kalian benar-benar tidak punya hati. Mampu melakukan segalanya untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan. Keputusanku ternyata tidak salah. Semakin lama aku hidup denganmu, itu hanya akan m
“Mas udah pulang?”Sinar menoleh ketika merasa ada orang lain di sekitarnya. Ternyata benar, Praba sudah berdiri di dekat tangga sambil menatapnya. Perempuan itu bisa melihat ada yang berbeda dari sang suami. Ada kekacuan yang terlihat dari wajah lelaki itu.Praba tidak menjawab dan hanya berjalan mendekati Sinar. Lelaki itu lalu mengecup pelipis Sinar sebelum duduk di samping sang istri. Menatap penuh pada Sinar seolah ada banyak hal yang dipikirkan, tetapi sulit untuk terucap.“Ada apa?” tanya Sinar setelah itu. “Kenapa menatapku seperti itu?”Praba menggeleng. “Aku hanya banyak pekerjaan dan lelah.” Bahkan cara bicaranya saja sedikit aneh. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin. Hal itu mengingatkan Sinar pada awal pertemuan mereka.Meskipun begitu, Sinar memilih untuk tidak bertanya banyak dan mengorek sesuatu dari Praba.“Aku ambilkan minuman ….”“Nggak usah. Kamu duduk saja di sini.” Praba menahan Sinar yang akan beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu merasa perasaan tidak
“Ikut campur urusan Mas?” Sinar mengulangi ucapan Praba. Lelaki itu yang selama ini selalu meyakinkan dirinya jika semua hal akan baik-baik saja jika mereka bersama, sekarang justru mengatakan sesuatu yang bertolak belakang. Tentu saja hal itu membuat Sinar merasa tersinggung.“Aku ada banyak pekerjaan yang sedikit merepotkan.” Praba mencoba untuk menjelaskan kepada Sinar agar perempuan itu tidak salah paham. “Jadi, aku nggak mau kamu ikut terlibat dan membuat kamu kepikiran. Tidak ada hal lain selain itu.”Lelaki itu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai meskipun gemuruh di dalam hatinya tidak bisa dilenyapkan. Hal itu tak bisa membuat Sinar lantas percaya karena dia tahu bukan itu alasan yang sebenarnya kenapa Praba tiba-tiba saja berubah.Berbalik tanpa mengatakan apa pun, Sinar mengambil Askara dari box bayinya karena bayi itu sudah bangun. Dia segera mengAsihi putranya tersebut sebelum memandikannya. Gadis itu melakukan semuanya dengan hening tanpa bersuara.“Aku pergi dulu
“Hidup bahagia dengan keluarga kecil kita. Memangnya apalagi yang harus direncanakan?”Sinar menarik napasnya panjang mengingat ucapan Praba tempo hari. Dia berharap Praba tidak mengecewakan dirinya yang sudah memberikan kepercayaan penuh kepada lelaki itu. Sinar sudah lelah dengan segala drama yang pernah diciptakan oleh Talita. Sampai dia harus berubah menjadi ‘orang jahat’ untuk membalas perbuatan Talita kepadanya.Ngomong-ngomong tentang Talita, Sinar tidak lagi mendengar kabar apa pun dari perempuan itu. Praba tidak sekalipun menceritakan tentang Talita, dan Sinar juga tidak pernah bertanya atau membahas tentangnya.“Sin.” Sinar mendongak menatap Gina yang tampak sumringah karena kedatangan sahabatnya itu di restoran tempatnya bekerja. Tempat kerja Sinar juga di masa lalu.“Astaga, Sinar. Beneran kamu. Lama nggak ketemu.”Beberapa mantan rekan kerjanya yang dulu pun mendekat untuk menyapa. Bahkan chef restoran tersebut pun ikut menemui Sinar. Menyapa dengan ramah dan mengobrol se
Praba menatap Sinar yang berbaring di sampingnya dengan napas teratur. Sore sudah menggantikan siang, terik matahari pun sudah tidak sepanas beberapa jam yang lalu. Sesekali tatapan Praba mengarah keluar menatap hamparan langit yang luas dari tempatnya berbaring. Tangannya mengusap surai hitam milik Sinar yang terasa lembut di tangannya.Beberapa saat lalu dia sudah menghubungi suster untuk menanyakan keadaan Askara dan bayinya tidak rewel. Asi sudah tersedia di kulkas sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“Kita pulang, Mas.” Masih dengan mata tertutup rapat, Sinar bergumam pelan. Tubuhnya terasa sakit luar biasa dan kaku di sana sini.Praba menarik Sinar dalam pelukannya. “Kita sekalian makan malam di sini. Setelah itu kita pulang.”Sinar tidak memberontak dan menyamankan di pelukan sang suami. Matanya dipenuhi oleh kantuk yang berat. Namun, dia juga teringat dengan Askara yang sudah seharian ini ditinggal. Oleh karena itu dia ingin segera pulang.Praba mengelus punggung polos
Sinar menatap Praba yang berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang. Lelaki itu terlihat dalam mood yang baik. Jika Sinar boleh menebak, sepertinya ada sesuatu yang membuat lelaki itu bahagia. Namun, tidak bisa menebak sesuatu tersebut.“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.” Sinar menghadap Praba dan menatap lelaki itu dengan lekat. “Mas menang tender atau apa?”Merangkul Sinar untuk masuk ke dalam rumah, mereka berjalan beriringan dengan kedua tangan Sinar memegang dua buket hadiah yang baru saja didapatkan dari Praba.Sampai di ruang keluarga, Sinar meletakkan kedua hadianya itu di atas meja sebelum lanjut ke dapur untuk mengambilkan minuman untuk sang suami. Duduk di samping Praba saat lelaki itu menenggak minuman yang dibawa, Sinar mengambil buket uang dan menghitungnya.“Dua puluh juta,” katanya.“Suka nggak? Lina yang merekomendasikan dan aku menerima usulannya.”“Nggak ada perempuan yang nggak suka dikasih uang.” Sinar mengedikkan bahunya tak acuh. “Aku akan menyimpannya.”
Sinar sadar dengan perubahan ekspresi yang ditunjukkan suaminya ketika perempuan yang baru datang ke ruangan tersebut duduk tepat di depan Praba. Sinar juga sadar bagaimana rahang Praba mengetat erat ketika tatapan matanya mengarah lurus pada Cantika.Tidak perlu seorang cenayang untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan ini. Sinar dengan mudah menangkap maksud orang tua Praba mengundangnya untuk makan malam.Ya, perempuan itu akhirnya kembali. Perempuan yang diakui Praba begitu dicintainya mungkin sampai saat itu.“Praba. Lama tidak bertemu.” Cantika mengulurkan tangannya di depan Praba untuk bersalaman. Lama tidak bertemu dan basa-basi seperti itu jelas dibutuhkan.Praba menerima uluran tangan Cantika tanpa berbicara apa pun. Namun, tatapannya masih mengarah lurus pada perempuan tersebut. Sinar tidak akan menginteruksi Praba dan membiarkan lelaki itu bersikap sesukanya. Dia hanya perlu melihat seberapa jauh Praba melangkah. Mempertahankan dia di sisinya, atau bahkan kembali
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k