“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara yang menyeret bayang-bayang kekhawatiran, matanya menembus ruang, mencari jawaban di wajah perawat yang membawa Ayuni.
Lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu mengerutkan keningnya, betapa terkejutnya ia ketika pandangannya jatuh pada wajah Ayuni yang berlumuran darah.
“Kecelakaan, Dok. Sepertinya pasien habis minum-minum,” jawab perawat yang membawa Ayuni.
“Biar saya saja,” ucapnya, nada suaranya memotong keheningan seperti pedang yang membelah kabut.
Ia mengangkat tangan, menghentikan dokter lain yang hendak memeriksa keadaan Ayuni yang kini tergeletak tak sadarkan diri, seperti boneka rusak yang kehilangan daya tariknya.
“Sus. Siapkan dua kantong darah O. Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal,” titahnya, sementara tangannya bergerak cepat tetapi lembut, mengelap darah dari wajah Ayuni.
“Ada apa denganmu, Ayuni?” bisiknya dengan nada yang nyaris seperti doa, seraya menatap wajah Ayuni yang tampak begitu jauh, seolah berada di dunia yang tak dapat ia jangkau.
“Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba saja kamu mengalami kecelakaan seperti ini.” Kata-katanya menggantung di udara, berat seperti embun pagi yang terlalu enggan jatuh ke tanah.
Ia menghela napas pelan, sebuah tarikan napas yang membawa beban berton-ton kecemasan.
“Ada barang-barang pasien di dalam mobilnya?” tanyanya kepada perawat, suaranya kini kembali datar namun tak kehilangan intensitasnya.
“Ada, Dok. Kami sudah menghubungi suaminya, sebentar lagi beliau akan sampai,” jawab perawat itu.
Ia menganggukkan kepalanya perlahan, kemudian kembali memeriksa kondisi Ayuni.
“Pasien mengalami kritis,” gumamnya, nyaris seperti lonceng kematian yang bergaung di dalam hatinya.
Dengan cekatan, ia mengambil tabung oksigen dan alat bantu pernapasan, lalu memakaikannya di mulut dan hidung Ayuni.
Tangannya bekerja seperti seniman yang mengukir harapan di tengah reruntuhan, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran yang tak terkatakan.
**
Dua hari kemudian ….
Ayuni akhirnya membuka matanya, pelan seperti tirai yang tersingkap di pagi hari. Pandangannya kabur, seolah dunia di hadapannya masih berada di antara nyata dan mimpi.
Sayup-sayup ia menatap ke seluruh penjuru ruangan yang dingin dan steril, dihiasi lampu-lampu putih yang berkilauan seperti bintang-bintang yang kesepian.
“Sssttth …,” lirih Ayuni, tangan gemetar memegang kepalanya yang terasa berat, seolah ada beban berton-ton yang menghantamnya tanpa henti.
“Sudah siuman, Ay,” suara pria itu sangat lembut seperti angin yang menyusup di tengah hari yang gerah. Ia mengulas senyum, senyum yang mengandung campuran antara kelegaan dan kekhawatiran, lalu segera memeriksa kondisi Ayuni.
Ayuni menatapnya dengan mata yang mulai fokus, seperti seorang pelaut yang menemukan mercusuar di tengah badai. “Kayak kenal,” gumamnya, tatapan matanya tak lepas dari wajah lelaki itu. “Baskara Alryandra?”
Ia terkekeh pelan, suaranya seperti nada kecil yang menari di antara keheningan. “Tidak perlu disebut nama panjangnya juga, Ayuni.”
“Eh, iya bener, Ryan. Kamu … kamu, jadi dokter?” Ayuni menatapnya, matanya membulat penuh rasa tak percaya, seolah melihat bayangan masa lalu yang mendadak hidup kembali.
Ryan mengangguk, gerakannya tenang namun penuh arti. “Kondisi kamu sepertinya sudah membaik. Ingatan kamu masih sangat tajam, Ay. Rasanya senang bisa berjumpa lagi dengan kalian. Aku sudah menghubungi suamimu agar datang kemari.”
Ayuni menelan saliva dengan pelan, setiap gerakannya terasa berat seperti mengangkat beban tak kasat mata. “Dia sudah bukan suamiku lagi.”
Ryan menaikan alisnya. “Kenapa?” tanyanya dengan nada bingung.
“Dia … dia sudah menikah lagi tanpa sepengetahuanku, Ryan. Dengan alasan karena aku tidak kunjung hamil. Orang tuanya menginginkan cucu, sementara aku tidak bisa memberikannya.” Ayuni berucap lirih, bibirnya bergetar menahan rasa sakit di hatinya.
“Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dengannya,” ucapnya memberitahu Ryan tentang keputusannya untuk menyerah.
Ryan hanya menelan saliva dengan pelan, tak mampu berkata apa-apa. Ia melirik Andreas yang berdiri di sudut ruangan, baru tiba dan mendengar keputusan Ayuni tadi.
“Tapi, Ayuni. Aku janji akan segera menceraikan Gita setelah dia memberi kita anak,” ucap Andreas dengan nada memohon.
“Nggak!” pekik Ayuni, tatapannya berubah nanar seperti pedang yang menghujam tanpa ampun. “Keputusanku sudah tidak bisa diganggu gugat lagi! Kita akan bercerai dan selamat, atas pernikahanmu!”
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Ayuni!” tegas Andreas, suaranya menggema seperti dentuman palu yang mematahkan harapan terakhir.“Apa kamu bilang?! Mas!” Ayuni memegang kepalanya yang kembali berdenyut sakit, seperti ribuan paku menghujam tengkoraknya.Ryan bergegas masuk, langkahnya seperti badai yang membawa ketenangan. Ia menekan tombol di belakang bangsal, merebahkan tubuh Ayuni dengan lembut, seolah mencoba menenangkan lautan yang sedang bergolak.“Kondisi kamu masih lemah, Ayuni. Jangan dulu berteriak-teriak seperti itu,” ucap Ryan, nadanya seperti suara hujan yang menenangkan di tengah malam.Air mata Ayuni berlinang tanpa henti, mengalir seperti sungai yang membawa beban luka yang tak kunjung sembuh. Ia mengusap air matanya dengan lemah, kemudian menghela napas panjang, berat, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit dari dalam dadanya. “Tinggalkan aku sendiri di sini. Aku tidak ingin bicara dengan siapa pun, termasuk Andreas!”“Sayang. Kenapa kam
“Ke—kenapa kamu baru memberitahuku, Ayuni?” Andreas cukup lemas mendengar pernyataan dari Ayuni bahwa mereka sempat hampir memiliki anak.“Aku … aku keguguran dan tidak bisa memiliki anak dalam waktu yang panjang.” Ayuni mengusap air mata di pipinya.“Aku sudah pasrah, Mas. Sudah menerima keadaan bila nanti kita harus berpisah. Tapi, kamu sendiri yang memilih bertahan denganku. Karena ulah kamu juga karena terlalu semangat bila sedang menyentuhku.”Ayuni kemudian mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Sakit rasanya memberi tahu apa yang sebenarnya tengah dia alami. Menyimpan semua rahasia itu seorang diri karena tidak ingin melukai perasaan Andreas.“Aku pernah meminta kita untuk berpisah. Tapi, kamu berjanji akan menerima aku apa adanya. Kenyataannya tidak seperti itu. Meski pernikahan itu bukan inginmu, tapi kamu sudah mengingkarinya.”Ayuni kembali berbicara. Ia kemudian menatap Andreas dengan mata sayunya. “Aku ingin cerai, Mas. Lepaskan aku agar aku tidak menjadi beban kamu lag
Vita terdiam sejenak kemudian menghela napas kasar. “Tahu. Orang tua Ayuni juga tahu. Hanya Andreas yang nggak tahu karena saat itu memang usia kandungannya baru tiga minggu.”“Seharusnya Andreas diberitahu.”“Harusnya. Tapi, Ayuni juga harus ngasih tahu kalau dia dijaga. Lima tahun lamanya, Ryan. Udah lima tahun Ayuni dijaga karena kondisi rahimnya nggak baik kalau hamil lagi. Ayuni sempat kok, minta cerai sama Andreas.“Tapi dianya yang nggak mau dan akan menerima Ayuni apa adanya. Eeh! Ternyata semuanya bulshit. Dia nikah lagi bahkan tanpa sepengetahuan Ayuni. Kan kampret. Ayuni sempat mikir, katanya itu karma buat dia karena udah merahasiakan penyakit dia.”Ryan menghela napas dengan pelan. “Sebenarnya Ayuni masih mencintai suaminya, kan?”Vita mengendikan bahunya. “Entah. Hanya Ayuni yang tahu kalau soal itu.”Ryan tersenyum tipis kemudian pamit pergi. Pun dengan Vita yang akhirnya mengurungkan diri untuk menjenguk Ayuni sebab perempua itu rupanya sudah tidur.**Waktu sudah men
Di taman kota dekat permainan anak-anak, Ayuni duduk di kursi panjang menunggu Ryan dan juga Shakira yang ingin bertemu dengannya.Ya. Ayuni memilih bertemu dengan Shakira yang ingin bertemu dengannya. Entah memang Shakira yang ingin bertemu, atau Ryan sendiri yang ingin kembali menemui perempuan itu.“Hei! Sorry banget, baru sampai.” Ryan menghampiri Ayuni kemudian mengulas senyumnya.“Eh! Iya, nggak apa-apa.” Ayuni kemudian mengusapi pucuk kepala Shakira. “Halo, anak manis. Namanya Shakira, yaa?”Shakira mengangguk. “Halo, Tante. Tante namanya Ayuni, yaa? Cantik banget, mirip Mama.”Ayuni tersenyum malu-malu mendengar ucapan Shakira. “Shakira juga cantik. Mirip sekali sama mamanya.” Ayuni mengusapi pucuk kepala anak kecil itu.Ayuni kemudian menatap Ryan yang tengah menatapnya juga. “Eh! Kacamatanya ke mana? Kok nggak dipake?”“Hanya kalau lagi kerja saja. Kalau di luar, males pake.”Ayuni manggut-manggut. “Sini, duduk, Sayang. Kamu baru pulang sekolah, yaa?” tanyanya kepada Shakira
“Keterlaluan kamu, Ayuni! Kamu bilang akan pulang. Tapi kenapa malah ke sini sama dia?” pekik Andreas naik pitam kala melihat dengan mata kepalanya sendiri bila Ayuni memang benar tengah bersama dengan Ryan.Ayuni menghela napas pelan. “Aku, keterlaluan? Kamu sendiri, harus disebut dengan apa kalau aku makan siang aja disebut keterlaluan? Sementara kamu, menikah lagi tanpa seizing aku. Lebih dari keterlaluan, kan?”Andreas lantas menyeret tangan Ayuni, membawa perempuan itu keluar dari resto tersebut dengan langkah lebarnya.Ryan kemudian mengejarnya. Menarik tangan Ayuni yang mengaduh sakit karena genggaman tangan yang erat.“Tidak baik memperlalukan wanita seperti itu, Andreas!” ucap Ryan sembari melepaskan tangannya dari tangan Ayuni.“Kamu tidak usah ikut campur, Ryan! Hubungan kalian hanya sampai di rumah sakit saja. Kamu hanya dokter yang merawat dia! Di luar itu, kalian tidak perlu bertemu apalagi sampai makan siang bersama!” pekik Andreas begitu marah.Ryan tersenyum tipis men
“Sudahlah, Ayuni. Kamu jangan seperti ratu yang semuanya ingin dituruti. Memangnya kamu bisa, menuruti keinginan Mas Andreas dan orang tuanya? Nggak, kan?”Ayuni menoleh kemudian menatap Andreas lagi. “Mas. Kamu bohong sama aku, huh? Kamu bohong, kalau dia udah nggak tinggal di sini lagi? Kurang ajar kamu, Mas! Aku mau kembali lagi ke sini karena kamu bilang dia sudah tidak tinggal di sini!”Ayuni geleng-geleng kemudian keluar lagi dari rumah itu.Andreas lantas mengejar Ayuni dan menarik tangan itu.“Lepas, Mas! Kamu sudah menyakiti tanganku di resto tadi. Kamu nggak lihat, luka karena kuku kamu di sini?” pekik Ayuni naik pitam.“Jangan pergi lagi aku mohon, Ayuni. Aku sudah membawanya perg—““Kalau memang sudah tidak tinggal di sini, kenapa dia masih ada di sini? Aku nggak akan pernah menginjakan kaki di sini lagi kalau ada dia!” ucapnya tegas.“Taksi!” Ayuni segera masuk ke dalam taksi tanpa peduli dengan Andreas yang berteriak memanggil namanya.“Ke mana, Bu?” tanya sopir itu.“Fl
“Saya ingin mengajukan cuti selama lima hari, Dok,” ucap Ryan pada Damian—pemilik rumah sakit tersebut.“Lama sekali. Mau ke mana, Dok? Mendadak sekali,” tanya Damian terheran-heran mendengar pengajuan cuti Ryan selama lima hari. Sebab tidak biasanya Ryan mengambil cuti selama itu.“Ya. Ada yang mesti saya lakukan di luar sana. Nanti tugas saya dialihkan pada Dokter Firman.”Damian menatap Ryan dengan lekat. “Mau ke mana, Dok? Nikah lagi, yaa?”Ryan terkekeh pelan kemudian menggeleng dengan pelan. “Tidak, Pak. Hanya ingin liburan saja. Menenangkan diri sejenak.”Damian manggut-manggut. “Beri izin. Saya ACC.”“Baiklah. Isi form-nya saja, Dok,” ucap Dokter Haris—kepala rumah sakit di sana.“Terima kasih, Dok. Pak Damian. Kalau begitu, saya pamit. Ada satu pasien yang mesti saya periksa.”Ryan kemudian keluar dari ruangan pimpinan di sana dan melangkah dengan lebar menuju ruangannya. Hendak mengisi form cuti meski hanya lima hari.Ia kemudian menghubungi Ayuni—berharap perempuan itu mau
Hari terakhir di Maldives ….Tampak Shakira tengah asyik bermain di pesisir pantai dengan riangnya. Ia yang sudah merindukan liburan itu akhirnya bisa menikmati waktu liburan dengan riang gembira.“Kamu mau tinggal di apartemen atau kembali ke rumah suamimu?” tanya Ryan kepada Ayuni yang tengah memasukan bajunya ke dalam koper.Ayuni mengendikan bahunya. “Entahlah. Aku bingung, Ryan. Seperti sudah tidak punya arah dan tujuan. Aku belum bisa menerima kehadiran Gita. Rasanya aneh saja kalau aku tinggal bersama dengan maduku.”Ryan menyunggingkan senyum tipis. “Aku ngerti perasaan kamu, Ayuni. Sebaiknya kamu tinggal di apartemen saja kalau memang Gita masih ada di rumah kalian.”Ayuni mengangguk kemudian mengulas senyumnya. “Iya. Kalian boleh main kapan pun ke sana. Kalau Shakira lagi kangen sama aku. Shakira anak yang baik dan periang. Mungkin karena aku memang menyukai anak kecil, merasa nyaman aja main sama Shakira.”Ryan kembali mengulas senyumnya. “Aku ingin berteman denganmu dan ti
Ucapan Shakira membuat Ryan terdiam dan hanya bisa menelan saliva dengan pelan. Ia lalu mengulas senyum sembari mengusapi sisian wajah anaknya itu.Sementara Ayuni tengah menyendok nasi goreng dengan canggung melihat kedekatan ayah dan anak itu. Ia lalu menghela napasnya dengan panjang dan kembali tersenyum melihat kedua orang yang sudah menghiburnya di sana.“Tante cepat sembuh, yaa. Biar kita bisa jalan-jalan bareng lagi,” kata Shakira sembari mengusap lembut rambut panjang Ayuni.Perempuan itu kemudian menganggukkan kepalanya. “Memangnya Shakira pengen jalan-jalan ke mana?” tanyanya kemudian.“Eum … ke mana aja boleh. Yang penting sama Papa dan Tante, hehe. Tante Ayuni tinggal sendiri di sini?”Ayuni menoleh kepada Ryan yang tengah menggaruk alisnya karena malu pada Ayuni sebab anaknya yang banyak bertanya sedari tadi. Seolah tengah meniterogasi Ayuni.“I—iya. Tante tinggal sendiri di sini, Sayang,” ucap Ayuni gugup seraya menatap Shakira yang sedari tadi bertanya tentang dirinya.
‘Argghhhh!!’Andreas memekik sangat hebat di ujung jalan yang saat itu tampak sepi. Napasnya memburu dengan hebatnya. Dadanya naik turun dengan tangan mengepal dengan erat.Ia lalu menundukkan kepalanya setelah melepaskan semua rasa kesal dalam dirinya. Terduduk lemas di pinggiran mobilnya dan menundukkan kepalanya lagi.“Kamu di mana, Ayuni? Kenapa sulit sekali aku mencari keberadaan kamu,” ucapnya dengan lirih.“Aku sudah capek, Ayuni. Capek!” Andreas mengatur napasnya kemudian masuk kembali ke dalam mobil. Kini, ia menundukan kepalanya di atas setir mobilnya.Menelan saliva dengan pelan lalu menoleh pada ponsel yang berdering sejak tadi. Ia hanya melihat nama kontak yang tertera di sana. Bila bukan Ayuni yang menghubunginya, tidak akan pernah ia terima dari siapa pun.“Seharusnya kamu bisa menerima dulu, Ayuni. Kita bicarakan ini baik-baik. Hubungan kita tidak akan seperti ini bila kamu dapat memahami kondisi kita.”Andreas seolah menyalahkan Ayuni yang terlalu menurutkan egonya. P
Setengah jam kemudian, Ryan masuk sembari membawa satu piring nasi hangat, ayam kecap dan sup daging yang dia buat.Ayuni mengulas senyumnya kepada Ryan. “Selain jadi dokter pribadi, jadi pelayan juga kamu, heum? Double dong, bayarannya?”Ryan terkekeh pelan. “Bayarannya kamu sehat aja udah bayaran paling mahal,” ucapnya lalu menyuapi nasi kepada Ayuni.Perempuan itu lantas menatap Ryan yang begitu tulus merawatnya. “Ryan?” panggilanya kemudian.“Heum? Mau lagi?”“Entar dulu. Masih ada di mulut.”“Oh. Kirain udah pengen makan lagi. Tanya bayaran lagi?”Ayuni terkekeh pelan. “Ryan. Kamu tahu kan, kenapa aku ingin berpisah dengan Andreas?”Ryan mengangguk. “Karena ada Gita.”Ayuni lalu tersenyum lagi. “Aku juga tidak bisa menjadi mama untuk Shakira kalau kamu menempatkan dua hati di hati kamu. Sekarang aku mau tanya sama kamu. Menjadikan aku istri kamu karena Shakira, atau karena kamu cinta?"Ryan terdiam sesaat. Hanya menatap Ayuni yang tengah menunggu jawaban darinya. Ia lalu mengambi
Andreas lantas menjambak rambutnya. Terlambat datang ke rumah sakit karena Ayuni sudah pulang dari sana.“Kondisinya bagaimana, Dok?” tanya Andreas lagi.“Sebenarnya kondisinya masih belum stabil. Tapi, Bu Ayuni memaksa untuk pulang saja. Kami sudah memintanya agar jangan melakukan bunuh diri lagi. Dan dia berjanji tidak akan melakukannya.” Dokter Firman menjelaskan kepada Andreas mengenai kondisi Ayuni.Andreas kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. “Sama siapa, Ayuni perginya?”“Dengan temannya, Pak. Saya lupa namanya siapa. Sama suaminya juga yang mengantar Bu Ayuni ke sana.”“Apa mungkin Dhita?” gumamnya kemudian berlari ke tempat parkir untuk mengejar Ayuni. Sembari menghubungi Dhita, berharap perempuan itu menerima panggilan darinya.“Angkat, Dhita.” Andreas semakin geram. Ia lantas menaikan kecepatannya. Padahal dia sendiri tidak tahu ke mana Ayuni pergi. Tidak mungkin bila kembali ke rumah mereka.“Ada apa?” Dhita akhirnya menerima panggilan tersebut.“Kamu, yang mengantar p
Di kediaman istri kedua ….Tak dapat terhitung berapa kali Andreas menggerayangi tubuh Gita. Ia yang tengah kalap akan emosi, sakit hati, takut kehilangan Ayuni membuatnya tak karuan.“Mas! Aku sudah tidak sanggup lagi. Kapan kamu mengakhiri semuanya?” Gita—yang tengah berada di bawah kungkungan Andreas meminta lelaki itu mengakhiri pergulatan mematikan itu.“Masih lama. Aku masih menginginkan ini,” kata Andreas berucap dengan suara penuh amarah.Gita hanya pasrah. Apa yang dilakukan Andreas kepadanya kini ia anggap bila lelaki itu sangat menikmati permainannya. Tak peduli bila tubuhnya akan remuk setelah ini.Tiga jam berlalu ….Andreas melajukan temponya dengan cukup kencang. Akan menaruh benih itu untuk kesekian kalinya. Tak dapat dihitung berapa kali ia mengeluarkan peluh itu.Ia segera beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada ucapan terima kasih atau sekadar mengecup kening Gita setelah memberikan pelayanan kepadanya.“Issh! Memangnya pada Ayuni juga b
“Kamu mau mati, huh?” pekik Fery begitu marah kala mendengar ucapan dari Andreas.Pria itu menghela napasnya. “Pa. Lebih baik tidak punya keturunan selamanya daripada harus berpisah dengan Ayuni. Dia ingin berpisah deng—““Papa nggak peduli!” pekiknya lagi. “Lebih baik kamu pisah dengan Ayuni daripada tidak memiliki keturunan!”“Lho, lho. Kamu ini gimana sih, Andreas? Kalau kamu ingin pisah dengan Gita, kamu mau punya anak sama siapa? Ayuni sudah tidak bisa memberi kamu anak.” Dewi juga ikut marah kala mendengar Andreas ingin mengakhiri pernikahan keduanya itu.“Aku nggak peduli, Ma, Pa. Pokoknya aku mau pisah dengan Gita!” ucapnya kemudian berbalik badan.“Andreas! Berani menceraikan Gita, itu artinya kamu sudah siap kehilangan Ayuni selamanya!” ancam Fery kemudian.Andreas memejamkan matanya sekejap kemudian berbalik badan lagi. “Apa sih, yang kalian sembunyikan dari aku? Kenapa harus aku yang jadi korbannya? Selama delapan tahun aku menikah dengan Ayuni, hubungan kami baik-baik saj
Ada rasa yang tidak Ayuni mengerti setelah mendengar bila Shakira ingin memiliki mama lagi. Seolah dirinya tidak akan bisa bertemu dengan Ryan lagi bila nanti lelaki itu telah menikah lagi.“Arumi udah pergi setahun lebih. Wajar, kalau kamu mau menikah lagi. Orang tuanya Arumi pasti izinin kamu.”“Iya. Orang tua Arumi sudah mengizinkanku untuk menikah lagi sejak enam bulan yang lalu. Tapi, orang yang ingin kujadikan sebagai ibunya Shakira, masih belum jelas statusnya.”Ayuni lantas menoleh dengan cepat kepada Ryan. “Heuh?” tanyanya dengan pelan.Ryan tersenyum tipis. “Shakira ingin kamu, yang jadi mamanya. Kamu mau, jadi mamanya Shakira?" tanyanya dengan jantung yang hampir lepas dari tempatnya.Bugh!Tanpa aba-aba lagi, Andreas datang dan langsung menghantam wajah Ryan dengan segala kekuatan yang dia miliki.“Udah berkali-kali gue peringati elo, jangan pernah bermimpi akan mendapatkan Ayuni. Karena sampai kapan pun gue nggak akan pernah menceraikan dia. Dan sekarang elo berani ngomon
Ayuni memijat keningnya kemudian menatap Andreas dengan datar. “Kenapa kamu berasumsi seperti itu, huh? Kamu tahu apa soal perasaan? Bahkan kamu sendiri yang telah hilang perasaan. Menikah lagi secara diam-diam, kamu pikir punya perasaan?“Kamu sadar kan, saat kamu dan dia melakukan ijab kabul? Tidak dalam keadaan mabuk, kan? Sebelum menuduhku hanya karena Ryan seorang single parent, sebaiknya introspeksi diri. Bahkan kamu dan Gita sudah tidur bersama, kan?”Ayuni geleng-geleng kepala kemudian pergi meninggalkan Andreas. Banyak kecewa yang dia rasakan di dalam dirinya karena Andreas.“Halo, Pak. Memangnya kalau tidak ada tanda tangan dari tergugat, proses cerainya tidak akan bisa dilakukan?” tanya Ayuni menghubungi Alex.“Sayangnya tidak bisa, Bu. Anda ingin bercerai dengan cara yang sah, kan? Kedua belah pihak harus sepakat untuk berpisah. Kalau hanya satu orang saja yang ingin, hakim tidak bisa mengabulkannya.”Ayuni menghela napas lemas. “Dipalsukan saja bisa kali, Pak.”Alex terke
“Kenapa aku ada di sini? Bukannya semalam ada di luar?” gumamnya lalu menggaruk rambutnya dengan pelan.Ia kemudian menoleh pada ponselnya. Ada panggilan dari suaminya. Ia hanya menatapnya sampai panggilan itu selesai.“Nggak penting banget angkat telepon kamu, Mas.” Ia lantas beranjak dari tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi.Lima belas menit kemudian Ayuni menyelesaikan mandinya. Andreas kembali menghubungi sang istri. Ia menghela napas kasar dan mengambil ponselnya.“Seratus panggilan tak terjawab?” Ayuni geleng-geleng. Ia lantas kembali melangkah dan mengenakan pakaian blouse berwarna hijau tosca dan celana jeans navy.“Sayang. Kenapa panggilan aku sedari tadi tidak kamu terima? Kamu di mana, Ayuni?” Andreas memelas menanyakan keberadaan istrinya itu.“Aku di tempat tinggalku. Dan jangan harap kalau aku akan memberi tahu di mana aku tinggal!” ucapnya sarkas.“Sayang. Gita sudah tidak ada di rumah kita. Please, pulanglah. Kamu mau aku jemput, heum? Kita bisa ketemuan di mana sa