"Aku masih mencintaimu. Bisakah kita …-" Ebrahim melayangkan tatapan tajam ke arah Tamara, membuat perempuan itu melepas pergelangan tangan Ebrahim dan berhenti berbicara. "Jangan mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi." Ebrahim berkata dingin. "Ebrahim, tolong katakan apa kurangnya aku? A-apapun akan aku berikan padamu asal kau kembali padaku, Ebrahim." Tamara memohon, dia berniat kembali menyentuh tangan Ebrahim tetapi ia tahan karena takut menyinggung perasaan Ebrahim. Ebrahim memang mempesona. Namun siapapun tahu jika Ebrahim sangat memberikan saat marah. Satu lagi, emosi pria ini mudah terpancing. Bayangan Ebrahim menendang kue ulang tahun pemberian Tamara dahulu masih mengiang di kepalanya. kesalahan Tamara saat itu ada dua, pertama membawa kue padahal Ebrahim sudah melarang–berpikir jika Ebrahim mengharapkan kue ulang tahun darinya. Kedua, saat Ebrahim ingin pulang, diae memaksa Ebrahim untuk tiup lilin dahulu. Karena itulah Ebrahim marah, langsung menendang kue ters
Zana menggaruk tengkuk, ingin menjawab akan tetapi handphonenya tiba-tiba berbunyi. Itu dari Ebrahim!Zana segera mengangkat telepon dari suaminya tersebut. "Halo, Kak," sapa Zana cukup kikuk karena teman-temannya tiba-tiba memperhatikan. Ini memalukan! Mata temannya sepenuhnya pada Zana. 'Kakak sudah di perjalanan menjemputmu.' jawab Ebrahim dari seberang sana, nadanya begitu lembut dan halus. Seperti biasa, Ebrahim selalu bersikap lemah lembut pada istrinya. "Baik, Kak." Lagi lagi Zana menjawab dengan nada gugup. Bagaimana tidak? Teman-temannya sedang senyum-senyum padanya. Zana mematikan sambungan telepon, segera meraih tas kemudian beranjak dari sana. "Aku pulang duluan," ucap Zana pamit. Dirga dan Marchel mengikuti Zana dari belakang, penasaran Zana tergesa-gesa karena apa. Sejujurnya mereka menebak jika Zana ingin menemui pria tampan yang sering Zana panggil kak tersebut. Akan tetapi walau sudah menebak hal itu, mereka tetap penasaran. Mereka yakin hubungan Zana dengan pria
Zana meneguk saliva secara kasar saat Ebrahim menghentikan mobil di sebuah tempat yang sepi. Dari gerimis,sekarang hujan begitu deras, membuat Zana takut dengan apa yang akan Ebrahim lakukan padanya. Zana menatap Ebrahim secara kaku, menatap takut-takut pada sosok di sebelahnya tersebut. Zana tahu Ebrahim sedang marah, dia bisa merasakannya dari aura pria ini yang terasa begitu mencekam. "Kak Ebrahim, ke-kenapa kira berhenti di sin …-" Ucapan Zana seketika berhenti, Ebrahim mencondongkan tubuh ke arahnya lalu tiba-tiba menciumnya. Zana berusaha menerima dan hanya diam, akan tetapi dia berubah takut karena merasa permainan bibir suaminya tersebut yang terasa cukup kasar–penuh gairah dan kemarahan secara bersamaan. Zana semakin panik bercampur takut karena Ebrahim sudah kelewatan. Tangan pria itu mulai meraba tubuh Zana, ciumannya semakin panas dan penuh penuntutan. Zana sudah sangat kacau, dan dia mulai memberontak karena tak ingin Ebrahim melampaui batas. "Mmff …- Kak," u
[Pulang sekarang juga atau aku menyeretmu dari sana. Kau kira Kakak tak tahu kau ada di mana?]Membaca pesan itu, Zana merasa deg deg kan. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya merinding. Dia segera memblokir nomor suaminya, takut karena Ebrahim terus menghubunginya dan terus menerornya lewat pesan. Pria itu menyuruhnya untuk segera pulang, akan tetapi karena Zana takut dengan Ebrahim yang terus-terusan menyentuhnya, Zana engga. Zana sangat cemas, celingak-celinguk untuk memastikan apakah Ebrahim akan menyusulnya ke tempat ini. Zana masih di cafe dekat sekolah adiknya, menunggu Zeeshan supaya mereka pulang bersama ke rumah. Sebenarnya Zeeshan sudah datang ke sini, khusus untuk memastikan Zana. Setelah itu adiknya kembali ke sekolah dan menyuruh Zana menunggunya di sini. "Kak Zan?" Merasa dirinya dipanggil, Zana menoleh ke arah suara tersebut. Mata Zana melebar cukup kaget karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Hell! Austin di sini? "Loh, Austin. Kamu di sini?" kaget Zana
Ebrahim mengerjap beberapa kali setelah mendengar ucapan Zana. Untuk beberapa saat, dia seperti orang linglung. Ebrahim mendekati Zana sehingga perempuan itu kembali meringsut ke kepala ranjang. Ebrahim tahu Zana risih padanya, akan tetapi Ebrahim tak peduli. Dia merampas foto itu lagi kemudian mengamatinya secara cermat. Foto itu diberikan oleh salah satu temannya, yang mengatakan jika istrinya yang selalu ia puji ternyata perempuan nakal yang suka jalan dengan laki-laki lain. Mereka meledek Ebrahim karena menikahi gadis yang masih tergolong remaja–remaja beranjak dewasa. Tentu remaja masih perlu mencari jati diri, hubungan ataupun komitmen belum dipahami oleh seseorang yang masih mencari jati diri sendiri. Ebrahim marah hingga tak dapat mengendalikan diri. Saat dia menjemput Zana, seorang pemuda sedang mengungkapkan perasaan pada istrinya. Zana terlihat gugup, mungkinkah Zana senang ditembak oleh juniornya? Itu membuat Ebarhim semakin marah. Tetapi …- "Ini Kakak?" ucap Ebra
"Aku mencintai istriku dan tidak ada yang lebih indah darinya. Tamara-mu bagai kuman bila bersebelahan dengan istriku!" "Ma-maafkan aku, Ebrahim …." Suara Doni bergetar, pandangannya mulai mengabur dan kepalanya terasa berat. Namun, dia terus meminta maaf supaya dia bisa selamat dari Ebrahim. "Aku memperingatimu, Sialan!" Ebrahim berkata kasar, tak peduli pada siapapun di sana. Kemudian setelah itu, dia menatap satu persatu teman-temanya, "ini berlaku untuk kalian semua. Berani kalian merendahkan istriku dan berusaha menjatuhkannya, baik di hadapanku ataupun di hadapan orang lain, aku tak segan-segan membinasakan kalian semua. Persetan dengan pertemanan kita!" ancam Ebrahim, setelah itu beranjak dari sana dengan wajah yang masih terlihat diselimuti oleh kemarahan. Cih, mereka semua hanya teman, bukan orang yang benar-benar mendukungnya. Jadi kenapa Ebrahim harus mempertahankan mereka semua. Lagi pula dia punya satu teman yang benar-benar mendukungnya, tak lain adalah Razie. **
"Minum," ucap Ebrahim, menyerahkan segelas susu hangat pada istrinya. Mereka telah sampai di rumah dan sudah berganti pakaian juga. Meski menggunakan payung, tetapi tetap saja hujan berhasil membasahi mereka. Ebrahim tak ingin istri kecilnya sakit, sehingga dengan baik hati dia memandikannya sekaligus menghangatkannya. Modus paling tinggi! Zana meraih susu pemberian Ebrahim kemudian meneguknya. Setelah selesai meminum susu, Zana sejenak membuka HP. Sadangkan Ebrahim, pria itu telah merebahkan tubuh di sebelah Zana. [Zan, jadwal wisuda sudah keluar. Minggu depan.] Pesan masuk dari Dirga. Zana menganggukkan kepala, tersenyum tipis karena senang akhirnya perjuangan akan sampai puncak. Zana akan membalas pesan tersebut tetapi tiba-tiba saja handphonenya dirampas oleh seseorang–tak lain adalah suaminya, Ebrahim. Sebelum membaca pesan di HP Zana, Ebrahim melayangkan tatapan dingin pada Zana. Dia perhatikan istrinya senyum-senyum saat membaca sesuatu di HP ini. Apa jangan-jangan Za
"Kak Ebra," jawab Zana sejujur-jujurnya, daripada Ebrahim terus mengira dia sedang berselingkuh lebih baik Zana jujur pada perasaannya. "Orang mana?" dingin Ebrahim, bersedekap di dada sembari memalingkan wajah–tak ingin memperlihatkan ekspresi marah yang kentara di wajah pada Zana. Zana seketika mencondongkan tubuh, menatap lekat pada Ebrahim dengan mulut menganga lebar. Saking tak percaya nya dengan jawaban Ebrahim, Zana terdiam seribu bahasa–masih cengang campur syok. Orang mana katanya? "Kutanya-- dia orang mana, Hum?" Ebrahim menoleh tajam pada Zana, mengatupkan rahang dengan nada bicara yang menggeram– halus tetapi membuat sekujur tubuh Zana merinding. Zana yang kaget karena Ebrahim tiba-tiba menoleh padanya seketika menarik tubuh agar menjauh dari Ebrahim. Zana mengerjap beberapa kali, meletakkan tangan di depan dada. 'Selain punya bakat nakut-nakutin, nyeremin, Kak Ebrahim juga aneh.' Zana menggaruk pelipis, bingung harus menanggapi pria aneh di depannya seper