[Pulang sekarang juga atau aku menyeretmu dari sana. Kau kira Kakak tak tahu kau ada di mana?]Membaca pesan itu, Zana merasa deg deg kan. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya merinding. Dia segera memblokir nomor suaminya, takut karena Ebrahim terus menghubunginya dan terus menerornya lewat pesan. Pria itu menyuruhnya untuk segera pulang, akan tetapi karena Zana takut dengan Ebrahim yang terus-terusan menyentuhnya, Zana engga. Zana sangat cemas, celingak-celinguk untuk memastikan apakah Ebrahim akan menyusulnya ke tempat ini. Zana masih di cafe dekat sekolah adiknya, menunggu Zeeshan supaya mereka pulang bersama ke rumah. Sebenarnya Zeeshan sudah datang ke sini, khusus untuk memastikan Zana. Setelah itu adiknya kembali ke sekolah dan menyuruh Zana menunggunya di sini. "Kak Zan?" Merasa dirinya dipanggil, Zana menoleh ke arah suara tersebut. Mata Zana melebar cukup kaget karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Hell! Austin di sini? "Loh, Austin. Kamu di sini?" kaget Zana
Ebrahim mengerjap beberapa kali setelah mendengar ucapan Zana. Untuk beberapa saat, dia seperti orang linglung. Ebrahim mendekati Zana sehingga perempuan itu kembali meringsut ke kepala ranjang. Ebrahim tahu Zana risih padanya, akan tetapi Ebrahim tak peduli. Dia merampas foto itu lagi kemudian mengamatinya secara cermat. Foto itu diberikan oleh salah satu temannya, yang mengatakan jika istrinya yang selalu ia puji ternyata perempuan nakal yang suka jalan dengan laki-laki lain. Mereka meledek Ebrahim karena menikahi gadis yang masih tergolong remaja–remaja beranjak dewasa. Tentu remaja masih perlu mencari jati diri, hubungan ataupun komitmen belum dipahami oleh seseorang yang masih mencari jati diri sendiri. Ebrahim marah hingga tak dapat mengendalikan diri. Saat dia menjemput Zana, seorang pemuda sedang mengungkapkan perasaan pada istrinya. Zana terlihat gugup, mungkinkah Zana senang ditembak oleh juniornya? Itu membuat Ebarhim semakin marah. Tetapi …- "Ini Kakak?" ucap Ebra
"Aku mencintai istriku dan tidak ada yang lebih indah darinya. Tamara-mu bagai kuman bila bersebelahan dengan istriku!" "Ma-maafkan aku, Ebrahim …." Suara Doni bergetar, pandangannya mulai mengabur dan kepalanya terasa berat. Namun, dia terus meminta maaf supaya dia bisa selamat dari Ebrahim. "Aku memperingatimu, Sialan!" Ebrahim berkata kasar, tak peduli pada siapapun di sana. Kemudian setelah itu, dia menatap satu persatu teman-temanya, "ini berlaku untuk kalian semua. Berani kalian merendahkan istriku dan berusaha menjatuhkannya, baik di hadapanku ataupun di hadapan orang lain, aku tak segan-segan membinasakan kalian semua. Persetan dengan pertemanan kita!" ancam Ebrahim, setelah itu beranjak dari sana dengan wajah yang masih terlihat diselimuti oleh kemarahan. Cih, mereka semua hanya teman, bukan orang yang benar-benar mendukungnya. Jadi kenapa Ebrahim harus mempertahankan mereka semua. Lagi pula dia punya satu teman yang benar-benar mendukungnya, tak lain adalah Razie. **
"Minum," ucap Ebrahim, menyerahkan segelas susu hangat pada istrinya. Mereka telah sampai di rumah dan sudah berganti pakaian juga. Meski menggunakan payung, tetapi tetap saja hujan berhasil membasahi mereka. Ebrahim tak ingin istri kecilnya sakit, sehingga dengan baik hati dia memandikannya sekaligus menghangatkannya. Modus paling tinggi! Zana meraih susu pemberian Ebrahim kemudian meneguknya. Setelah selesai meminum susu, Zana sejenak membuka HP. Sadangkan Ebrahim, pria itu telah merebahkan tubuh di sebelah Zana. [Zan, jadwal wisuda sudah keluar. Minggu depan.] Pesan masuk dari Dirga. Zana menganggukkan kepala, tersenyum tipis karena senang akhirnya perjuangan akan sampai puncak. Zana akan membalas pesan tersebut tetapi tiba-tiba saja handphonenya dirampas oleh seseorang–tak lain adalah suaminya, Ebrahim. Sebelum membaca pesan di HP Zana, Ebrahim melayangkan tatapan dingin pada Zana. Dia perhatikan istrinya senyum-senyum saat membaca sesuatu di HP ini. Apa jangan-jangan Za
"Kak Ebra," jawab Zana sejujur-jujurnya, daripada Ebrahim terus mengira dia sedang berselingkuh lebih baik Zana jujur pada perasaannya. "Orang mana?" dingin Ebrahim, bersedekap di dada sembari memalingkan wajah–tak ingin memperlihatkan ekspresi marah yang kentara di wajah pada Zana. Zana seketika mencondongkan tubuh, menatap lekat pada Ebrahim dengan mulut menganga lebar. Saking tak percaya nya dengan jawaban Ebrahim, Zana terdiam seribu bahasa–masih cengang campur syok. Orang mana katanya? "Kutanya-- dia orang mana, Hum?" Ebrahim menoleh tajam pada Zana, mengatupkan rahang dengan nada bicara yang menggeram– halus tetapi membuat sekujur tubuh Zana merinding. Zana yang kaget karena Ebrahim tiba-tiba menoleh padanya seketika menarik tubuh agar menjauh dari Ebrahim. Zana mengerjap beberapa kali, meletakkan tangan di depan dada. 'Selain punya bakat nakut-nakutin, nyeremin, Kak Ebrahim juga aneh.' Zana menggaruk pelipis, bingung harus menanggapi pria aneh di depannya seper
Saat ini Ebrahim berada di ruang kerja, perusahaan JVM Elektronik. Dia bekerja meskipun tubuhnya sebelum sepenuhnya fit. Ebrahim tak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama karena perusahaan sedang ada proyek–produk baru JVM akan segera diluncurkan. "Jadi Tamara menuduh istriku sebagai simpananku?" ucap Ebrahim, mendapat laporan dari Martin. Ebrahim menatap fotonya yang berada di akun sosial media milik Tarama. Bodoh! Ebrahim baru menyadari jika Tamara selama ini selalu memposting tentang dirinya di akun pribadi Tarama. Banyak moment dari foto tersebut, mulai dari ulang tahun Ebrahim kemarin hingga foto lama saat mereka berpacaran–saat Ebrahim makan malam dengannya. Sialnya, setiap foto dan caption, Ebrahim sebelah sangat mencintai Tamara. Seperti Foto mereka makan malam berdua, tetapi kenyataannya saat itu Ebrahim makan malam dengan tim, bukan hanya Tamara. Itu juga bukan makan malam romantis, itu makan malam biasa setelah Ebrahim dan tim proyek selesai dengan pekerjaan mereka. Ke
"Mom, garisnya ada dua." Zana berucap panik pada mommynya, lewat sambungan telepon. "Nana harus apa sekarang? Nana panik, Mommy." Terdengar jawaban dari seberang sana. 'Itu berarti hamil, Sayang. Ah, syukurnya ….' "Hah, siapa yang hamil, Mom?" panik Zana, mondar mandir di depan toilet kamarnya. 'Ya kamu lah. Masa Kak Ebrahim. Ck, Mommy getok juga pala kamu. Getok blue-tooth dari Paris biar sampe ke rumah kamu.' omel Kina dari seberang sana, gemas sendiri pada putrinya yang tiba-tiba lemot di situasi yang tak tepat. "Hehehe …." Zana menyengir sembari menggaruk pelipis, meringis kala mendengar omelan sang ibu negara. Tadi, Zana sehabis dari gedung yang Ebrahim hadiahkan untuknya. Dia mencek sejenak lalu pulang. Namun, dia mampir ke supermarket lebih dulu untuk berbelanja buah-buahan. Zana ingat pesan daddynya agar makan buah yang banyak. Saat di super market, Zana tanpa sengaja mendengar ucapan ibu-ibu yang sedang mengobrol. Ibu A mengatakan suaminya demam dan terus mual sa
Kemudian Zana tiba-tiba berjinjit. Cup' Zana mencium bibir Ebrahim sekilas, mengejutkan Ebrahim. Pria itu sampai memiringkan sedikit kepala, saking herannya dengan tingkah manis Zana. Selain mendapat pelukan, senyuman ternyata Ebrahim juga mendapat ciuman ringan dari istrinya. "Taraaaa …." Zana menunjukkan sebuah benda kecil pada suaminya. Senyuman lebarnya masih menghias sehingga sulit bagi Ebrahim untuk berpaling dari senyuman itu. Jika bukan karena penasaran pada apa yang Zana tunjukkan, mungkin Ebrahim enggan berpaling dari senyuman indah Zana. Ebrahim lagi-lagi menaikkan sebelah alis, tersenyum tipis sembari meraih benda kecil tersebut. "Adikku kecilku punya jepitan rambut yang baru, Humm?" tanyanya dengan nada lembut, tersenyum tipis sembari mengamati jepitan pipih berwarna pink. Zana membelalak lebar, seketika menggelengkan kepala kuat. Hei, bukan itu yang ingin Zana tunjukkan! "Bu-bukan itu, Kak. Tunggu …-" Zana merampas jepitan tersebut lalu langsung menatap mej
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali