Selesai sarapan, seseorang menghubungi Justin. Awalnya ia abaikan deringan benda pipih itu, tapi setelah melihat siapa yang menghubungi, akhirnya panggilan itu ia jawab. Beranjak dari kursi dan berjalan menuju teras depan untuk bicara.Hana masih menikmati sarapannya, hingga terhenti saat Justin kembali dan memberikan kecupan di pipinya."Aku berangkat dulu," ujar Justin menyambar tab miliknya yang ada di meja."Telepon dari siapa?""Tian," jawabnya. "Ada pertemuan mendadak pagi ini.""Oo ...."Hana menyambar dan mencium punggung tangan Jutinn. "Jangan lupa nanti minum obatnya," tambahnya berpesan.Justin membalas dengan anggukan paham. "Dan kamu harus ingatkan," balasnya.Hana hanya bisa menghembuskan napasnya berat mendengar balasan Justin. Padahal dia ingat loh, kapan waktu minum obat, tapi tetap saja kalau tak ia hubungi dengan sengaja malah dia abaikan."Dan buat kalian semua ..." Justin berdiri dihadapan beberapa pegawai rumah. "Jangan biarkan dia keluar rumah, apalagi menerima
Sudah beberapa hari Hana hanya berdiam diri di rumah, bahkan ia tak berniat keluar dari kamar. Lebih banyak duduk menghabiskan waktu di balkon, dengan pandangannya yang lurus menatap ke depan tanpa tujuan pasti. Terlebih, kondisi kesehatannya bukannya membaik, ini malah terasa semakin tak enak.Sebuah pelukan diterimanya dari arah belakang, membuatnya sedikit kaget atas perlakuan itu."Om," ujarnya mendapati Justin."Aku sedih melihatmu seperti ini terus, membuat hatiku tak tenang.""Aku harus gimana, ya, selanjutnya?" tanya Hana bingung.Justin beranjak dan berpindah berdiri dihadapan Hana. Menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajah manis itu."Semuanya sudah aman. Jadi, enggak akan ada yang bisa dan berani membuatmu sedih dan sakit hati lagi. Kuliah seperti biasa dengan sikap penghuni kampus yang masih seperti biasa. Tak akan ada yang mengatakan hal buruk tentangmu, apalagi sampai membuatmu terpuruk."Hana menatap Justin dengan penuh tanda tanya."Maksudmu apa?"Justin malah mer
Ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya. Bahkan malah ingin secepatnya waktu segera berlalu, hingga dirinya bisa pulang ke rumah dan tiduran. Saat kelas usai, ia segera membereskan alat alat tulis ke dalam tas. Ponselnya tiba-tiba tiba bergetar. Saat ia cek ternyata sebuah pesan dari Justin."Udah pulang?""Udah," balasnya."Tunggu aku, ya.""Oke."Saat semua siswa dan siswi sudah membereskan buku-buku pelajaran dan bersiap bubar, tiba-tiba seorang dosen masuk dan menghampiri dosen yang ada di depan kelas. Keduanya terlibat pembicaraan sesaat dan berakhir saat dosen itu kembali meninggalkan kelas."Semuanya ... sebelum kalian pulang, saya ada informasi penting! Lebih tepatnya ini info dadakan dan sedikit tak mengenakkan.""Kenapa harus ada kata 'tak mengenakkan', sih, Bu? Kan, saya jadi cemas," respon Leta menunjukkan wajah khawatirnya."Jangan bilang kalau besok kita kuis. Itu terlalu dadakan, Bu," sahut salah satu mahasiswi mencoba menebak info apa yang bakalan di share."Kalau gitu,
Turun dari mobil yang pintunya dibukakan oleh supir, keduanya segera masuk ke dalam rumah. Terutama Hana, dia malah berlalu dengan cepat menuju kamar yang berada di lantai atas. Sikap itu tentunya membuat Justin merasa bingung.Ia segera menyusul Hana yang sudah terlebih dahulu menuju kamar. Saat sampai, ia justru mendapati istrinya itu baru keluar dari kamar mandi."Ada apa?" tanya Justin mendapati wajah Hana yang tampak memerah."Enggak kenapa-kenapa," jawabnya langsung menaiki tempat tidur dan merebahkan badannya di kasur. Memejamkan kedua matanya yang tak mengantuk. Justru ke rasa tak nyaman ia rasakan pada perutnya dan kepalanya."Apa kamu marah saat aku nggak memberikan ijin padamu?" tanya Justin. Ya, bagaimana ia tak berpikir begitu. Pasalnya semenjak dari kampus tadi, bahkan di perjalanan pun dia tak bicara apapun.Hana menggeleng cepat, tapi tetap dengan posisinya yang masih meneggelamkan wajahnya di bantal dan membelakangi Justin yang duduk di belakangnya seolah tak berniat
"Aku gregetan berasa pengin ..."Tiba-tiba ponsel milik Justin kembali berdering, pertanda ada panggilan masuk. Si pemilik langsung saja beralih pada benda pipih itu dan mengabaikan Hana.Keluhan tak puas terdengar jelas keluar dari hembusan napas berat yang dikeluarkan Hana dengan sikap suaminya itu."Gimana?""Udah dikirim barusan. Lo tinggal cek.""Oke."Hanya beberapa percakapan, selesai ... Justin kembali fokus pada Hana. Melanjutkan pembicaraan yang tertunda karena panggilan telepon dari Willy."Jadi, kamu pengin apa?" tanya Justin mengelus lembut pipi Hana."Aku pengin tidur," jawabnya ketus langsung saja merebahkan badannya di kasur dan menutupi wajahnya dengan selimut."Aku salah lagi, ya?" Memasang wajah bingung karena sikap Hana berubah lagi. Bukannya tadi sudah manis, kenapa sekarang jadi asem lagi."Kamu nggak pernah salah dan nggak akan pernah salah. Salahkan saja hatiku yang tiba-tiba kesal padamu," gerutunya dari balik selimut.Justin malah tersenyum melihat tingkah Ha
Justin melirik waktu di jam tangannya. Biasanya Hana akan menghubunginya untuk mengingatkan minum obat dan makan siang, tapi kenapa sampai sekarang belum? Apa justru dia sengaja melupakan dan tak meneleponnya. Apa dia benar benar lupa?Beberapa waktu menunggu, akhirnya ia putuskan untuk menghubungi Hana. Pasti ada yang terjadi, hingga dia tak menghubunginya. Setidaknya dengan menelepon, ia bisa memastikan kalau dia dalam keadaan yang baik baik saja.Panggilan pertama, tak ada respon. Lagi, panggilan berikutnya ia kembali mendapatkan hasil yang sama. Ponselnya dalam keadaan aktif, hanya saja tak dijawab. Apa dia sedang tidur, di kamar mandi, atau apa? Pikiran pikiran buruk langsung muncul dalam benaknya."Kenapa?" tanya Willy yang sedari tadi melihat kegelisahan terpancar dari wajah Justin dengan fokus dia pada layar ponsel."Dia nggak jawab telepon gue dan perasaan gue nggak enak," ungkapnya."Coba telepon rumah," saran Willy yang langsung dilakukan Justin."Hana di mana?""Nona ad
Saat seseorang menyukainya, justru ia seolah merasa terbebani. Tapi saat dia mulai menjauh, seperti hati merasa tak iklas. Jadi, apa ini sebenarnya yang terjadi? Apa ini sebuah harapan agar dia kembali dengan hal-hal konyol dan menyebalkan itu?Di mana bocah yang kemarin-kemarin selalu membuatnya seakan gila. Apa sekarang dia sudah mulai waras, hingga melupakan hal-hal memalukan yang pernah dia lakukan?"Ada yang tak beres dengan otakmu?"Pertanyaan itu membuat Tian tersentak dari lamunan. Mendapati Willy yang sudah berada dihadapannya, menatapnya tajam."Apaan, sih, lo!" Ia kembali memfokuskan diri menatap layar laptop yang sedari tadi ia tatap, tapi pikirannya malah melayang jauh entah kemana.Willy terkekeh melihat tampang sobatnya yang beberapa hari terakhir justru makin membingungkan. Seperti seseorang yang ditinggal pacar, tapi ia yakin kalau saat ini Tian dalam status jomlo. "Apa kabar hati lo saat ini?" tanya Willy.Mendengar pertanyaan itu membuat Tian lagi-lagi menghentikan
Pertemuannya dengan Rhea bukannya membuat ia lebih baik, malah justru semakin membuatnya seperti seorang yang sedang stress berat. Berniat menghubungi lewat telepon, tapi rasanya begitu berat. Pulang dari kantor, ia memilih untuk mampir ke sebuah club malam. Sendirian, karena Justin tentu saja tak akan mau menginjakkan kaki ke tempat itu lagi. Karena nggak mau Hana sampai heboh lagi seperti sebelumnya. Begitu juga dengan Willy yang memilih untuk segera pulang ke rumah.Satu gelas, dua gelas ... hingga akhirnya ia mulai mabuk. Setidaknya dengan begini bisa membuatnya bisa melupakan yang namanya masalah hidup. Berjam-jam duduk dengan minuman yang terus ia nikmati, ujung-ujungnya malah membuatnya merasa bosan juga. Perlahan mulai berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Rasanya badannya seakan sedang melayang dan mati rasa. Masuk ke dalam mobil, kemudian merutuki sikapnya sendiri."Ini seperti sebuah karma. Saat dia mendekat, gue seakan abai. Dan sekarang saat dia jauh,
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar