Pertemuannya dengan Rhea bukannya membuat ia lebih baik, malah justru semakin membuatnya seperti seorang yang sedang stress berat. Berniat menghubungi lewat telepon, tapi rasanya begitu berat. Pulang dari kantor, ia memilih untuk mampir ke sebuah club malam. Sendirian, karena Justin tentu saja tak akan mau menginjakkan kaki ke tempat itu lagi. Karena nggak mau Hana sampai heboh lagi seperti sebelumnya. Begitu juga dengan Willy yang memilih untuk segera pulang ke rumah.Satu gelas, dua gelas ... hingga akhirnya ia mulai mabuk. Setidaknya dengan begini bisa membuatnya bisa melupakan yang namanya masalah hidup. Berjam-jam duduk dengan minuman yang terus ia nikmati, ujung-ujungnya malah membuatnya merasa bosan juga. Perlahan mulai berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Rasanya badannya seakan sedang melayang dan mati rasa. Masuk ke dalam mobil, kemudian merutuki sikapnya sendiri."Ini seperti sebuah karma. Saat dia mendekat, gue seakan abai. Dan sekarang saat dia jauh,
Masih kuliah seperti biasa. Justin meminta Hana untuk cuti kuliah, tapi masa iya harus cuti. Belum juga genap satu semester, dah berhenti aja. Intinya, Justin itu makin ngeselin karena cerewetnya makin parah."Lo masih masuk?" tanya Rhea pada Hana yang baru datang dengan wajah cemberutnya."Masuk lah.""Lihatlah wajah cemberut Hana. Pasti Om Justin kembali berulah," tebak Clara dengan tawa penuh ledekannya."Ngeselein banget dia tahu, nggak. Udah di rumah nggak boleh ngapa ngapain, keluar juga harus sama dia dan nggak mungkin jugalah gue bakalan cuti kuliah.""Sabar bumil, kadang cowok ngeselin ini lebih wahh daripada cowok nggak peka," tambah Leta. Kalimat pertama Leta memang teruntuk pada Hana, tapi kalimat terakhirnya justru mengarah pada Rhea.Pandangan ketiganya kini fokus pada Rhea yang tampak lesu, seperti nggak punya gairah hidup."Lo yakin nggak mau berhenti bersikap begini sama Om Tian?" tanya Hana pada Rhea."Lo pikir gue mau bersikap begini? Rasanya nyakitin banget buat g
Tepat saat bersiap untuk segera pulang, Hana mendapatkan pesan dari Justin. Memasang ekspressi kaget, saat pesan itu ia baca. Membuat Leta, Clara dan Rhea jadi penasaran."Kenapa, Han?""Om Tian masuk rumah sakit," jawabnya."Apa?!"Rhea langsung panik seketika mendengar kabar itu. "Dia kenapa, Han? Apa lukanya semalam begitu parah, hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit? Tapi gue udah bersihin, kok dan gue pastiin nggak ada luka lain yang dia alami."Sontak, penjelasan panjang yang diutarakan Rhea, membuat ketiganya jadi terdiam. Bingung, apa maksud semua yang dikatakan Rhea?"Maksud lo apa, Rhe?" tanya Hana bingung.Rhea menutup mulutnya dengan telapak tangan saat menyadari apa yang ia katakan barusan. "Maksud gue ... Om Tian kenapa? Kok sampai masuk rumah sakit?" tanyanya lagi dengan ekspressi yang dibuat setenang mungkin."Justin bilang lambungnya kambuh, trus pingsan di rumah. Sekarang udah dibawa ke rumah sakit, sih," terang Hana.Tak ada komentar, tapi dari raut cemas yang Rhea
Hana dan Justin berjalan di lorong rumah sakit saat berniat pulang. Setidaknya saat ini kondisi Tian sudah lebih baik untuk ditinggalkan. Dan lagi, dia lebih cerewet kalau ditemani ... apalagi kalau sudah membahas masalahnya dan Rhea, seperti nggak ada ujungnya."Kita makan di luar, ya ... aku lapar," ujar Justin pada Hana, dengan tangan dia yang terus berada dalam genggamannya.Hana mengarahkan pandangannya pada sosok yang paling ... suka nyinyir akhir akhir ini."Tadi belum minum obat?""Aku kan belum makan, Sayang."Hana selalu dibuat mupeng kalau Justin sudah menggunakan panggilan Sayang padanya. Berasa dibawa terbang, dipeluk dan dicium. Halunya nggak ketinggian, kan. Jelas tidak, karena Justin memang begitu."Kalau nggak ada kejadian ini, pasti nggak makan siang dan obatmu kamu abaikan," omel Hana menghela napasnya. "Suka mengaturku ini dan itu, tapi kamu sendiri malah nggak tahu aturan."Justin malah tersenyum melihat tampang cemberut Hana. Jujur saja, wajah dia ketika ngambek
Rhea hanya duduk diam di taman yang ada di belakang rumahnya. Bolak-balik nggak jelas melirik layar ponsel. Bukan berharap seseorang menghubunginya, tapi justru malah sebaliknya. Hatinya ingin mengetahui keadaan dia, tapi jika menghubungi langsung, tentu saja itu tak mungkin."Rhe, kamu ngapain, sih, di sini dari tadi?" tanya wanita paruh baya bernama Risa menghampiri putrinya yang dari semenjak pulang sekolah hanya diam sendirian. Rhea tak langsung menjawab, hanya senyuman tipis yang ia berikan pada mamanya."Ada masalah?" tanya Risa."Enggak, kok, Ma," jawabnya."Rhe ... kamu bukan remaja lagi, loh. Terkadang bukan masalah kuliah saja yang bikin ribet, tapi juga masalah yang ada di luar."Yap, sebagai orang tua yang pernah juga merasakan masa muda, ia tahu pasti dengan apa yang dihadapi putrinya. Meskipun dia tak pernah cerita tentang itu, setidaknya ia rasakan ada yang terjadi pada putrinya semejak beberapa waktu belakangan. Bukan tidak mau tahu, bahkan ia tahu siapa laki-laki yan
"Dia mungkin akan berhenti berharap."Perkataan Hana tentang niat Rhea itu membuatnya kepikiran, bahkan seolah jadi sebuah peringatan baginya. Kenapa ia merasa kalau hatinya benar-benar terasa perih?Semalaman suntuk ia tak bisa tidur, walau sudah mengkonsumsi obat yang efeknya bikin ngantuk sekalipun. Sedangkan paginya, lagi lagi kepalanya malah pusing karena tak tidur.Ya, rasanya kalau terus bermalas-malasan justru akan membuatnya semakin malas. Terlebih saat diam begini, otaknya justru malah memikirkan bocah itu."Tian, kamu mau kemana?"Langkahnya terhenti saat pertanyaan itu menghentikan niatnya untuk berlalu pergi."Kamu masih belum pulih, jangan memaksakan diri."Ia berbalik badan, mendapati mamanya menatapnya dengan tatapan seseorang yang terlihat perduli. Lebih tepatnya, sok memperdulikan dirinya. Atau, baru menyadari siapa dirinya? Entahlah ... yang jelas, ia dulu tak pernah merasakan ini."Nggak perlu mengkhawatirkanku secara berlebihan. Aku bisa menjaga diriku, tanpa bant
Tian masih diam di posisinya, menatap kepergian Rhea yang semakin jauh dan hilang dari pandangan matanya. Tak hanya itu, rasanya semakin sakit saat dia justru akan benar-benar menghilang dari kehidupannya.Terduduk di kursi, kemudian tersenyum miris dengan tangis yang mengiringi perasaannya saat ini. "Inikah hal penting yang ingin dia katakan? Rasanya kenapa begitu membuat gue merasa benar-benar sakit?""Berhenti mencintai gue, tapi dia sendiri enggak tahu kalau gue malah memiliki rasa itu buat dia. Kamu benar benar sedang membuatku jadi cowok yang bodoh, Rhea. Aku benar benar bodoh karena baru menyadari rasa itu sekarang di saat kamu sudah pergi."Mencengkeram rambutnya, karena merutuki sikapnya yang seolah takut mengakui perasaan sendiri. Atau, justru merasa terlihat memalukan karena karma sedang menghampirinya."Ini gila, bukan? Saat dia dekat dan terus mendekat, gue malah merasa risih. Tapi sekarang saat dia pergi, seolah hati tak bisa menerima," gumamnya.Dia pergi ... kali ini
Masih berada di posisinya dari beberapa jam yang lalu. Bahkan ia tak bernat pergi sebelum menjelaskan sesuatu pada Rhea. Tapi masalahnya, gadis itu justru tak mau bertemu dengannya. Jangankan bertemu, menjawab panggilan telepon dan membalas pesannya saja seolah tak mau. Pintu dibuka dari arah dalam, berharap itu Rhea, tapi kenyataan justru tak sesuai harapannya. Bukannya Rhea, tapi malah bibik yang keluar.“Bik, Rhea mana?”“Maaf, Den ... ini sudah larut malam, sebaiknya Aden pulang saja,” jelas bibik menghampiri Tian.“Saya nggak akan pergi sebelum dia mau ketemu saya, Bik.”“Duh, Den ... maaf sekali lagi. Tuan sama Nyonya lagi nggak ada di rumah, sebaiknya Aden pulang saja. Nggak enak kalau ada tetangga yang liat. Nanti dikira yang aneh-aneh.” Lagi-lagi ia harus berusaha agar Tian bisa pergi. Takut saja jika ada yang berpikir aneh-aneh tentang keberadaan seorang laki-laki di sini malam-malam, sementara majikannya tak ada di rumah. Tian malah semakin gregetan dengan sikap Rhea. Di