"Dia mungkin akan berhenti berharap."Perkataan Hana tentang niat Rhea itu membuatnya kepikiran, bahkan seolah jadi sebuah peringatan baginya. Kenapa ia merasa kalau hatinya benar-benar terasa perih?Semalaman suntuk ia tak bisa tidur, walau sudah mengkonsumsi obat yang efeknya bikin ngantuk sekalipun. Sedangkan paginya, lagi lagi kepalanya malah pusing karena tak tidur.Ya, rasanya kalau terus bermalas-malasan justru akan membuatnya semakin malas. Terlebih saat diam begini, otaknya justru malah memikirkan bocah itu."Tian, kamu mau kemana?"Langkahnya terhenti saat pertanyaan itu menghentikan niatnya untuk berlalu pergi."Kamu masih belum pulih, jangan memaksakan diri."Ia berbalik badan, mendapati mamanya menatapnya dengan tatapan seseorang yang terlihat perduli. Lebih tepatnya, sok memperdulikan dirinya. Atau, baru menyadari siapa dirinya? Entahlah ... yang jelas, ia dulu tak pernah merasakan ini."Nggak perlu mengkhawatirkanku secara berlebihan. Aku bisa menjaga diriku, tanpa bant
Tian masih diam di posisinya, menatap kepergian Rhea yang semakin jauh dan hilang dari pandangan matanya. Tak hanya itu, rasanya semakin sakit saat dia justru akan benar-benar menghilang dari kehidupannya.Terduduk di kursi, kemudian tersenyum miris dengan tangis yang mengiringi perasaannya saat ini. "Inikah hal penting yang ingin dia katakan? Rasanya kenapa begitu membuat gue merasa benar-benar sakit?""Berhenti mencintai gue, tapi dia sendiri enggak tahu kalau gue malah memiliki rasa itu buat dia. Kamu benar benar sedang membuatku jadi cowok yang bodoh, Rhea. Aku benar benar bodoh karena baru menyadari rasa itu sekarang di saat kamu sudah pergi."Mencengkeram rambutnya, karena merutuki sikapnya yang seolah takut mengakui perasaan sendiri. Atau, justru merasa terlihat memalukan karena karma sedang menghampirinya."Ini gila, bukan? Saat dia dekat dan terus mendekat, gue malah merasa risih. Tapi sekarang saat dia pergi, seolah hati tak bisa menerima," gumamnya.Dia pergi ... kali ini
Masih berada di posisinya dari beberapa jam yang lalu. Bahkan ia tak bernat pergi sebelum menjelaskan sesuatu pada Rhea. Tapi masalahnya, gadis itu justru tak mau bertemu dengannya. Jangankan bertemu, menjawab panggilan telepon dan membalas pesannya saja seolah tak mau. Pintu dibuka dari arah dalam, berharap itu Rhea, tapi kenyataan justru tak sesuai harapannya. Bukannya Rhea, tapi malah bibik yang keluar.“Bik, Rhea mana?”“Maaf, Den ... ini sudah larut malam, sebaiknya Aden pulang saja,” jelas bibik menghampiri Tian.“Saya nggak akan pergi sebelum dia mau ketemu saya, Bik.”“Duh, Den ... maaf sekali lagi. Tuan sama Nyonya lagi nggak ada di rumah, sebaiknya Aden pulang saja. Nggak enak kalau ada tetangga yang liat. Nanti dikira yang aneh-aneh.” Lagi-lagi ia harus berusaha agar Tian bisa pergi. Takut saja jika ada yang berpikir aneh-aneh tentang keberadaan seorang laki-laki di sini malam-malam, sementara majikannya tak ada di rumah. Tian malah semakin gregetan dengan sikap Rhea. Di
Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apalagi ini sudah larut malam, itu artinya jalanan pun akan sepi. Membuatnya semakin leluasa berkendara sesuka hatinya. Sampai di rumah, ia segera menuju kamarnya. Yap, seperti biasa ... sosok wanita paruh baya yang seolah tak berhenti mendekatinya, tetap tak ia perdulikan. “Tian, Mama mau bicara,” ujar Henny yang mengikuti langkah putranya hingga kamar.Tian berhenti tepat di depan pintu kamarnya.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Henny.Bagaimana ia tak bertanya seperti itu, wajah Tian tampak sedih. Bahkan matanya memerah seperti orang habis menangis. Tapi sepertinya tak mungkin kalau dia menangis.“Apa aku pernah terlihat tak baik-baik saja?”“Kamu ada masalah?”Tian bersidekap dada dihadapan Henny, menatap dingin pada sosok itu.“Dari kecil pun, aku sudah punya banyak masalah, kan. Hanya saja semua orang tak tahu, atau justru tak mau tahu, apalagi perduli. Dan sekarang malah bertanya, aku ada masalah?” Tersenyum sinis. “Bahkan masalah
Justin tak jadi ke kantor, begitupun dengan Hana. Keduanya kini tengah berada di depan ruang UGD, menunggu hasil pemeriksaan Tian yang masih dalam penanganan dokter. Henny juga ada di sana, tentunya dengan rasa cemas yang membelit perasaannya. Ya, seorang ibu tentu akan bersikap begini, kan, jika sesuatu yang buruk menimpa putranya.“Aku mau nelepon Leta bentar, ya ... mau minta tolong ijinin,” ujar Hana pada Justin.“Aku tadi udah kirim pesan sama dosenmu,” balas Justin.Hana mengangguk. Tapi kini ia tetap merogoh ponselnya yang ada di dalam tas. Bukan mengubungi pihak kampus lagi, tapi justru menghubungi Rhea. Ya, setidaknya ia ingin memberikan kondisi Tian saja, meskipun sobatnya bilang ingin melupakan om-om itu, tetap saja dia tak akan mungkin melupakan begitu saja.“Rhe, lo udah nyampe kampus?”Tak langsung mendapatkan balasan, mungkin sekitar sepuluh menit kemudian barulah ponselnya berdering pertanda pesan masuk. Saat ia cek, ternyata memang benar dari Rhea.“Sorry, Han ... h
“Kamu, mau ke kantor?” tanya Hana pada Justin yang duduk di sampingnya, menunggu Tian sadar.“Nggak, sih ... nggak ada yang penting juga di kantor.”“Udah bilang Om Willy?”“Hmm,” angguk Justin. “Mungkin bentar lagi datang. Justin menyenderkan kepalanya di pundak Hana, jujur saja, ia merasa mengantuk jika diam tanpa melakukan apa-apa begini. Seolah otaknya tak bisa diajak untuk diam. “Je,” panggilnya.“Hem?”Hana mendekatkan wajahnya pada Justin. “Om Tian sama mamanya ada masalah apa, sih ... kok jadi kayak nggak suka gitu. Padahal liat aja, beliau begitu khawatir sama kondisi Om Tian,” bisiknya.“Kamu nggak tahu apa-apa, mending jangan mengurusi itu.”“Kan, aku penasaran,” responnya.“Kan sudah ku bilang ... kamu hanya boleh memikirkanku, jangan yang lain.”Hana memberengut kesal saat jawaban Justin tak sesuai dengan harapannya. Dia enggak tahu saja, kenapa Tian seperti membenci wanita paruh baya itu. Padahal ia melihat sosok itu benar-benar Ibu yang baik. “Aku capek memikirkanmu,
Mama dan papanya pergi ke rumah sakit melihat keadaan Tian, tapi ia justru tidak. Jangan berpikir kalau ia tak mengkhawatirkan keadaan dia, bahkan pikirannya tak tenang sedikitpun.Ingin menghubungi Hana, tapi sepertinya itu bukan cara yang tepat. Bisa-bisa nanti sobatnya itu malah mengira dirinya tak bisa move on dari Tian. Meskipun kenyataannya memang begitu.Duduk di teras, berniat kembali masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terhenti saat sebuah mobil memasuki pekarangan. Yap, orang tuanya sudah kembali.“Kamu masih di sini, Rhe?”Rhea mengagguk. “Harusnya tadi kamu ikut mama sama papa ke rumah sakit. Tian nanyain kamu,” ungkap Risa pada putrinya.“Biar aja. Toh, udah telat juga,” responnya.Risa melangkah masuk ke dalam rumah, tapi Rhea segera menyusul dan menghambat langkahnya saat mencapai pintu masuk.“Ma.”“Apa?”Rasanya tak enak, tapi ia penasaran. “Gimana keadaannya?”Arya tersenyum saat mendengar pertanyaan Rhea, tapi memilih untuk duluan masuk, meninggalkan anak dan istrinya
“Om Tian,” gumamnya malah mendapati justru Tian yang masuk, bukan papanya.Ia beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Tian yang masih berdiri di dekat pintu, bersandar sambil memegangi perutnya.Dibuat membisu, itulah yang terjadi pada Rhea saat melihat kondisi Tian. Wajahnya sangat pucat, begitupun dengan fisiknya yang terlihat begitu lemah.Ingin bertanya tentang keadaan dia, tapi malah tak sanggup.“Om kenapa ke sini? Aku sudah bilang apa yang ku inginkan kemarin, kan?”Rhea bersidekap dada dihadapan Tian, berharap kalau hatinya tak akan kalah.“Aku nggak bisa ... aku nggak bisa kamu paksa begitu,” balas Tian.Ingin rasanya menyentuh wajah itu, tapi seolah terasa begitu sakit kalau ia lanjutkan. “Om, aku nggak memaksamu, tapi memang begitulah nyatanya. Untuk apa menemuiku? Membuatku terlihat bodoh lagi di matamu, karena berharap yang tak mungkin. Begitukah? Aku nggak mau seperti itu lagi. Aku sadar sekarang, kalaupun aku cinta, tapi kalau kamu enggak ... rasanya akan percuma ber