Justin tak jadi ke kantor, begitupun dengan Hana. Keduanya kini tengah berada di depan ruang UGD, menunggu hasil pemeriksaan Tian yang masih dalam penanganan dokter. Henny juga ada di sana, tentunya dengan rasa cemas yang membelit perasaannya. Ya, seorang ibu tentu akan bersikap begini, kan, jika sesuatu yang buruk menimpa putranya.“Aku mau nelepon Leta bentar, ya ... mau minta tolong ijinin,” ujar Hana pada Justin.“Aku tadi udah kirim pesan sama dosenmu,” balas Justin.Hana mengangguk. Tapi kini ia tetap merogoh ponselnya yang ada di dalam tas. Bukan mengubungi pihak kampus lagi, tapi justru menghubungi Rhea. Ya, setidaknya ia ingin memberikan kondisi Tian saja, meskipun sobatnya bilang ingin melupakan om-om itu, tetap saja dia tak akan mungkin melupakan begitu saja.“Rhe, lo udah nyampe kampus?”Tak langsung mendapatkan balasan, mungkin sekitar sepuluh menit kemudian barulah ponselnya berdering pertanda pesan masuk. Saat ia cek, ternyata memang benar dari Rhea.“Sorry, Han ... h
“Kamu, mau ke kantor?” tanya Hana pada Justin yang duduk di sampingnya, menunggu Tian sadar.“Nggak, sih ... nggak ada yang penting juga di kantor.”“Udah bilang Om Willy?”“Hmm,” angguk Justin. “Mungkin bentar lagi datang. Justin menyenderkan kepalanya di pundak Hana, jujur saja, ia merasa mengantuk jika diam tanpa melakukan apa-apa begini. Seolah otaknya tak bisa diajak untuk diam. “Je,” panggilnya.“Hem?”Hana mendekatkan wajahnya pada Justin. “Om Tian sama mamanya ada masalah apa, sih ... kok jadi kayak nggak suka gitu. Padahal liat aja, beliau begitu khawatir sama kondisi Om Tian,” bisiknya.“Kamu nggak tahu apa-apa, mending jangan mengurusi itu.”“Kan, aku penasaran,” responnya.“Kan sudah ku bilang ... kamu hanya boleh memikirkanku, jangan yang lain.”Hana memberengut kesal saat jawaban Justin tak sesuai dengan harapannya. Dia enggak tahu saja, kenapa Tian seperti membenci wanita paruh baya itu. Padahal ia melihat sosok itu benar-benar Ibu yang baik. “Aku capek memikirkanmu,
Mama dan papanya pergi ke rumah sakit melihat keadaan Tian, tapi ia justru tidak. Jangan berpikir kalau ia tak mengkhawatirkan keadaan dia, bahkan pikirannya tak tenang sedikitpun.Ingin menghubungi Hana, tapi sepertinya itu bukan cara yang tepat. Bisa-bisa nanti sobatnya itu malah mengira dirinya tak bisa move on dari Tian. Meskipun kenyataannya memang begitu.Duduk di teras, berniat kembali masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terhenti saat sebuah mobil memasuki pekarangan. Yap, orang tuanya sudah kembali.“Kamu masih di sini, Rhe?”Rhea mengagguk. “Harusnya tadi kamu ikut mama sama papa ke rumah sakit. Tian nanyain kamu,” ungkap Risa pada putrinya.“Biar aja. Toh, udah telat juga,” responnya.Risa melangkah masuk ke dalam rumah, tapi Rhea segera menyusul dan menghambat langkahnya saat mencapai pintu masuk.“Ma.”“Apa?”Rasanya tak enak, tapi ia penasaran. “Gimana keadaannya?”Arya tersenyum saat mendengar pertanyaan Rhea, tapi memilih untuk duluan masuk, meninggalkan anak dan istrinya
“Om Tian,” gumamnya malah mendapati justru Tian yang masuk, bukan papanya.Ia beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Tian yang masih berdiri di dekat pintu, bersandar sambil memegangi perutnya.Dibuat membisu, itulah yang terjadi pada Rhea saat melihat kondisi Tian. Wajahnya sangat pucat, begitupun dengan fisiknya yang terlihat begitu lemah.Ingin bertanya tentang keadaan dia, tapi malah tak sanggup.“Om kenapa ke sini? Aku sudah bilang apa yang ku inginkan kemarin, kan?”Rhea bersidekap dada dihadapan Tian, berharap kalau hatinya tak akan kalah.“Aku nggak bisa ... aku nggak bisa kamu paksa begitu,” balas Tian.Ingin rasanya menyentuh wajah itu, tapi seolah terasa begitu sakit kalau ia lanjutkan. “Om, aku nggak memaksamu, tapi memang begitulah nyatanya. Untuk apa menemuiku? Membuatku terlihat bodoh lagi di matamu, karena berharap yang tak mungkin. Begitukah? Aku nggak mau seperti itu lagi. Aku sadar sekarang, kalaupun aku cinta, tapi kalau kamu enggak ... rasanya akan percuma ber
Justin dan Hana berniat berangkat ke rumah sakit menemui Tian, tapi saat selesai berbenah diri, tiba-tiba Henny malah menghubunginya.“Jawab, Je ... siapa tahu ada hal penting yang mau dikatakan Tante henny,” komentar Hana saat melihat ekspressi malas Justin untuk menjawab panggilan telepon dari Henny.Yap, daripada istrinya ini mengomel panjang lebar, ia lebih baik menjawab. Kalau dia kesal, bisa-bisa tak dapat jatah malam.“Ya?”“Justin ... Tian pergi!”“Pergi?”“Iya,” jawab Henny. “Tante nggak tahu dia kemana. Tapi tebakan Tante Tian itu pergi menemui Rhea.”“Biar ku cari,” balas Justin langsung saja menutup percakapan dengan Henny.“Kenapa?” tanya Hana.“Sayang ... kamu telepon Rhea. Tanya, apa Tian bersamanya,” pinta Justin pada Hana.“Oke.”Hana menghubungi nomer ponsel sobatnya itu, tapi sayangnya panggilannya tak dijawab. Tumben sekali. “Nggak dijawab, Je.”Justin menyodorkan ponselnya pada Hana. “Telepon orang tuanya,” suruh Justin dengan layar ponselnya yang sudah terpampan
Tian kembali ke rumah sakit, diantar oleh Risa dan juga Arya. Ini sudah tengah malam, tak enak juga rasanya membiarkan putri mereka keluar malam-malam begini tanpa pengawasan.Sampai di ruang rawatnya, Tian meminta ijin pada Arya dan Risa untuk bicara pada Rhea beberapa saat. Ya, keduanya mengijinkan.“Bagaimana?”“Apanya yang bagaimana, Om?” tanya Rhea balik.“Jangan pura-pura lupa, Rhe. Aku masih menunggumu.”Rhea diam. Ia paham apa maksud pertanyaan Tian. Hanya saja ingin mengulur waktu untuk bisa berpikir panjang lagi.“Aku ...”Tian menyambar lengan Rhea, agar gadis itu semakin berada dekat dengannya.“Katakan saja padaku, apa yang kamu inginkan agar bisa percaya dengan semua yang ku katakan.”Rhea menggeleng. “Lalu?”Rhea menatap Tian intens. Sebenarnya ingin mencari titik kebohongan di kedua bola mata itu, hanya saja saat semakin dirinya mencari, semakin tak terlihat apa yang ia cari.“Rhe ...”“Jangan berhubungan dengan wanita itu lagi, jangan biarkan dirimu disentuh olehnya
Sampai di kampus, ia dihadapkan pada hal aneh. Bukan, lebih tepatnya heran dengan sikap Rhea yang nggak jelas. Sobatnya itu duduk di kursi sambil tersenyum nggak jelas, menatap fokus ke depan. Perlahan, ia hampiri. Tentunya dengan sedikit rasa was-was. Takutnya Rhea ketempelan setan, hingga sikap dan tingkahnya jadi aneh. Di saat Hana masih heran melihat tingkah Rhea, kini Clara dan Leta yang baru saja datang, juga ikut-ikutan bingung.“Dia kenapa?” tanya Leta pada Hana yang sampai lebih dulu.Hana hanya menaik turunkan bahunya pertanda ia tak tahu.Leta mengibas-ngibaskan telapak tangannya dihadapan wajah Rhea, tapi kok nggak ngaruh sama sekali. Seolah-olah di berada di dunia yang berbeda.“Rhea!” Dengan sengaja Clara mencubit lengan Rhea, hingga membuat sobatnya itu langsung tersentak dan mengaduh.“Clara lo apaan, sih?!!! Sakit tahu, nggak,” umpatnya kesal sambil menggosok-gosok lengannya yang meninggalkan bekas cubitan memerah di kulitnya.“Hufft,” lega Hana.“Akhirnya ... lo s
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia