Masih kuliah seperti biasa. Justin meminta Hana untuk cuti kuliah, tapi masa iya harus cuti. Belum juga genap satu semester, dah berhenti aja. Intinya, Justin itu makin ngeselin karena cerewetnya makin parah."Lo masih masuk?" tanya Rhea pada Hana yang baru datang dengan wajah cemberutnya."Masuk lah.""Lihatlah wajah cemberut Hana. Pasti Om Justin kembali berulah," tebak Clara dengan tawa penuh ledekannya."Ngeselein banget dia tahu, nggak. Udah di rumah nggak boleh ngapa ngapain, keluar juga harus sama dia dan nggak mungkin jugalah gue bakalan cuti kuliah.""Sabar bumil, kadang cowok ngeselin ini lebih wahh daripada cowok nggak peka," tambah Leta. Kalimat pertama Leta memang teruntuk pada Hana, tapi kalimat terakhirnya justru mengarah pada Rhea.Pandangan ketiganya kini fokus pada Rhea yang tampak lesu, seperti nggak punya gairah hidup."Lo yakin nggak mau berhenti bersikap begini sama Om Tian?" tanya Hana pada Rhea."Lo pikir gue mau bersikap begini? Rasanya nyakitin banget buat g
Tepat saat bersiap untuk segera pulang, Hana mendapatkan pesan dari Justin. Memasang ekspressi kaget, saat pesan itu ia baca. Membuat Leta, Clara dan Rhea jadi penasaran."Kenapa, Han?""Om Tian masuk rumah sakit," jawabnya."Apa?!"Rhea langsung panik seketika mendengar kabar itu. "Dia kenapa, Han? Apa lukanya semalam begitu parah, hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit? Tapi gue udah bersihin, kok dan gue pastiin nggak ada luka lain yang dia alami."Sontak, penjelasan panjang yang diutarakan Rhea, membuat ketiganya jadi terdiam. Bingung, apa maksud semua yang dikatakan Rhea?"Maksud lo apa, Rhe?" tanya Hana bingung.Rhea menutup mulutnya dengan telapak tangan saat menyadari apa yang ia katakan barusan. "Maksud gue ... Om Tian kenapa? Kok sampai masuk rumah sakit?" tanyanya lagi dengan ekspressi yang dibuat setenang mungkin."Justin bilang lambungnya kambuh, trus pingsan di rumah. Sekarang udah dibawa ke rumah sakit, sih," terang Hana.Tak ada komentar, tapi dari raut cemas yang Rhea
Hana dan Justin berjalan di lorong rumah sakit saat berniat pulang. Setidaknya saat ini kondisi Tian sudah lebih baik untuk ditinggalkan. Dan lagi, dia lebih cerewet kalau ditemani ... apalagi kalau sudah membahas masalahnya dan Rhea, seperti nggak ada ujungnya."Kita makan di luar, ya ... aku lapar," ujar Justin pada Hana, dengan tangan dia yang terus berada dalam genggamannya.Hana mengarahkan pandangannya pada sosok yang paling ... suka nyinyir akhir akhir ini."Tadi belum minum obat?""Aku kan belum makan, Sayang."Hana selalu dibuat mupeng kalau Justin sudah menggunakan panggilan Sayang padanya. Berasa dibawa terbang, dipeluk dan dicium. Halunya nggak ketinggian, kan. Jelas tidak, karena Justin memang begitu."Kalau nggak ada kejadian ini, pasti nggak makan siang dan obatmu kamu abaikan," omel Hana menghela napasnya. "Suka mengaturku ini dan itu, tapi kamu sendiri malah nggak tahu aturan."Justin malah tersenyum melihat tampang cemberut Hana. Jujur saja, wajah dia ketika ngambek
Rhea hanya duduk diam di taman yang ada di belakang rumahnya. Bolak-balik nggak jelas melirik layar ponsel. Bukan berharap seseorang menghubunginya, tapi justru malah sebaliknya. Hatinya ingin mengetahui keadaan dia, tapi jika menghubungi langsung, tentu saja itu tak mungkin."Rhe, kamu ngapain, sih, di sini dari tadi?" tanya wanita paruh baya bernama Risa menghampiri putrinya yang dari semenjak pulang sekolah hanya diam sendirian. Rhea tak langsung menjawab, hanya senyuman tipis yang ia berikan pada mamanya."Ada masalah?" tanya Risa."Enggak, kok, Ma," jawabnya."Rhe ... kamu bukan remaja lagi, loh. Terkadang bukan masalah kuliah saja yang bikin ribet, tapi juga masalah yang ada di luar."Yap, sebagai orang tua yang pernah juga merasakan masa muda, ia tahu pasti dengan apa yang dihadapi putrinya. Meskipun dia tak pernah cerita tentang itu, setidaknya ia rasakan ada yang terjadi pada putrinya semejak beberapa waktu belakangan. Bukan tidak mau tahu, bahkan ia tahu siapa laki-laki yan
"Dia mungkin akan berhenti berharap."Perkataan Hana tentang niat Rhea itu membuatnya kepikiran, bahkan seolah jadi sebuah peringatan baginya. Kenapa ia merasa kalau hatinya benar-benar terasa perih?Semalaman suntuk ia tak bisa tidur, walau sudah mengkonsumsi obat yang efeknya bikin ngantuk sekalipun. Sedangkan paginya, lagi lagi kepalanya malah pusing karena tak tidur.Ya, rasanya kalau terus bermalas-malasan justru akan membuatnya semakin malas. Terlebih saat diam begini, otaknya justru malah memikirkan bocah itu."Tian, kamu mau kemana?"Langkahnya terhenti saat pertanyaan itu menghentikan niatnya untuk berlalu pergi."Kamu masih belum pulih, jangan memaksakan diri."Ia berbalik badan, mendapati mamanya menatapnya dengan tatapan seseorang yang terlihat perduli. Lebih tepatnya, sok memperdulikan dirinya. Atau, baru menyadari siapa dirinya? Entahlah ... yang jelas, ia dulu tak pernah merasakan ini."Nggak perlu mengkhawatirkanku secara berlebihan. Aku bisa menjaga diriku, tanpa bant
Tian masih diam di posisinya, menatap kepergian Rhea yang semakin jauh dan hilang dari pandangan matanya. Tak hanya itu, rasanya semakin sakit saat dia justru akan benar-benar menghilang dari kehidupannya.Terduduk di kursi, kemudian tersenyum miris dengan tangis yang mengiringi perasaannya saat ini. "Inikah hal penting yang ingin dia katakan? Rasanya kenapa begitu membuat gue merasa benar-benar sakit?""Berhenti mencintai gue, tapi dia sendiri enggak tahu kalau gue malah memiliki rasa itu buat dia. Kamu benar benar sedang membuatku jadi cowok yang bodoh, Rhea. Aku benar benar bodoh karena baru menyadari rasa itu sekarang di saat kamu sudah pergi."Mencengkeram rambutnya, karena merutuki sikapnya yang seolah takut mengakui perasaan sendiri. Atau, justru merasa terlihat memalukan karena karma sedang menghampirinya."Ini gila, bukan? Saat dia dekat dan terus mendekat, gue malah merasa risih. Tapi sekarang saat dia pergi, seolah hati tak bisa menerima," gumamnya.Dia pergi ... kali ini
Masih berada di posisinya dari beberapa jam yang lalu. Bahkan ia tak bernat pergi sebelum menjelaskan sesuatu pada Rhea. Tapi masalahnya, gadis itu justru tak mau bertemu dengannya. Jangankan bertemu, menjawab panggilan telepon dan membalas pesannya saja seolah tak mau. Pintu dibuka dari arah dalam, berharap itu Rhea, tapi kenyataan justru tak sesuai harapannya. Bukannya Rhea, tapi malah bibik yang keluar.“Bik, Rhea mana?”“Maaf, Den ... ini sudah larut malam, sebaiknya Aden pulang saja,” jelas bibik menghampiri Tian.“Saya nggak akan pergi sebelum dia mau ketemu saya, Bik.”“Duh, Den ... maaf sekali lagi. Tuan sama Nyonya lagi nggak ada di rumah, sebaiknya Aden pulang saja. Nggak enak kalau ada tetangga yang liat. Nanti dikira yang aneh-aneh.” Lagi-lagi ia harus berusaha agar Tian bisa pergi. Takut saja jika ada yang berpikir aneh-aneh tentang keberadaan seorang laki-laki di sini malam-malam, sementara majikannya tak ada di rumah. Tian malah semakin gregetan dengan sikap Rhea. Di
Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apalagi ini sudah larut malam, itu artinya jalanan pun akan sepi. Membuatnya semakin leluasa berkendara sesuka hatinya. Sampai di rumah, ia segera menuju kamarnya. Yap, seperti biasa ... sosok wanita paruh baya yang seolah tak berhenti mendekatinya, tetap tak ia perdulikan. “Tian, Mama mau bicara,” ujar Henny yang mengikuti langkah putranya hingga kamar.Tian berhenti tepat di depan pintu kamarnya.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Henny.Bagaimana ia tak bertanya seperti itu, wajah Tian tampak sedih. Bahkan matanya memerah seperti orang habis menangis. Tapi sepertinya tak mungkin kalau dia menangis.“Apa aku pernah terlihat tak baik-baik saja?”“Kamu ada masalah?”Tian bersidekap dada dihadapan Henny, menatap dingin pada sosok itu.“Dari kecil pun, aku sudah punya banyak masalah, kan. Hanya saja semua orang tak tahu, atau justru tak mau tahu, apalagi perduli. Dan sekarang malah bertanya, aku ada masalah?” Tersenyum sinis. “Bahkan masalah
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar