Sudah beberapa hari Hana hanya berdiam diri di rumah, bahkan ia tak berniat keluar dari kamar. Lebih banyak duduk menghabiskan waktu di balkon, dengan pandangannya yang lurus menatap ke depan tanpa tujuan pasti. Terlebih, kondisi kesehatannya bukannya membaik, ini malah terasa semakin tak enak.Sebuah pelukan diterimanya dari arah belakang, membuatnya sedikit kaget atas perlakuan itu."Om," ujarnya mendapati Justin."Aku sedih melihatmu seperti ini terus, membuat hatiku tak tenang.""Aku harus gimana, ya, selanjutnya?" tanya Hana bingung.Justin beranjak dan berpindah berdiri dihadapan Hana. Menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajah manis itu."Semuanya sudah aman. Jadi, enggak akan ada yang bisa dan berani membuatmu sedih dan sakit hati lagi. Kuliah seperti biasa dengan sikap penghuni kampus yang masih seperti biasa. Tak akan ada yang mengatakan hal buruk tentangmu, apalagi sampai membuatmu terpuruk."Hana menatap Justin dengan penuh tanda tanya."Maksudmu apa?"Justin malah mer
Ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya. Bahkan malah ingin secepatnya waktu segera berlalu, hingga dirinya bisa pulang ke rumah dan tiduran. Saat kelas usai, ia segera membereskan alat alat tulis ke dalam tas. Ponselnya tiba-tiba tiba bergetar. Saat ia cek ternyata sebuah pesan dari Justin."Udah pulang?""Udah," balasnya."Tunggu aku, ya.""Oke."Saat semua siswa dan siswi sudah membereskan buku-buku pelajaran dan bersiap bubar, tiba-tiba seorang dosen masuk dan menghampiri dosen yang ada di depan kelas. Keduanya terlibat pembicaraan sesaat dan berakhir saat dosen itu kembali meninggalkan kelas."Semuanya ... sebelum kalian pulang, saya ada informasi penting! Lebih tepatnya ini info dadakan dan sedikit tak mengenakkan.""Kenapa harus ada kata 'tak mengenakkan', sih, Bu? Kan, saya jadi cemas," respon Leta menunjukkan wajah khawatirnya."Jangan bilang kalau besok kita kuis. Itu terlalu dadakan, Bu," sahut salah satu mahasiswi mencoba menebak info apa yang bakalan di share."Kalau gitu,
Turun dari mobil yang pintunya dibukakan oleh supir, keduanya segera masuk ke dalam rumah. Terutama Hana, dia malah berlalu dengan cepat menuju kamar yang berada di lantai atas. Sikap itu tentunya membuat Justin merasa bingung.Ia segera menyusul Hana yang sudah terlebih dahulu menuju kamar. Saat sampai, ia justru mendapati istrinya itu baru keluar dari kamar mandi."Ada apa?" tanya Justin mendapati wajah Hana yang tampak memerah."Enggak kenapa-kenapa," jawabnya langsung menaiki tempat tidur dan merebahkan badannya di kasur. Memejamkan kedua matanya yang tak mengantuk. Justru ke rasa tak nyaman ia rasakan pada perutnya dan kepalanya."Apa kamu marah saat aku nggak memberikan ijin padamu?" tanya Justin. Ya, bagaimana ia tak berpikir begitu. Pasalnya semenjak dari kampus tadi, bahkan di perjalanan pun dia tak bicara apapun.Hana menggeleng cepat, tapi tetap dengan posisinya yang masih meneggelamkan wajahnya di bantal dan membelakangi Justin yang duduk di belakangnya seolah tak berniat
"Aku gregetan berasa pengin ..."Tiba-tiba ponsel milik Justin kembali berdering, pertanda ada panggilan masuk. Si pemilik langsung saja beralih pada benda pipih itu dan mengabaikan Hana.Keluhan tak puas terdengar jelas keluar dari hembusan napas berat yang dikeluarkan Hana dengan sikap suaminya itu."Gimana?""Udah dikirim barusan. Lo tinggal cek.""Oke."Hanya beberapa percakapan, selesai ... Justin kembali fokus pada Hana. Melanjutkan pembicaraan yang tertunda karena panggilan telepon dari Willy."Jadi, kamu pengin apa?" tanya Justin mengelus lembut pipi Hana."Aku pengin tidur," jawabnya ketus langsung saja merebahkan badannya di kasur dan menutupi wajahnya dengan selimut."Aku salah lagi, ya?" Memasang wajah bingung karena sikap Hana berubah lagi. Bukannya tadi sudah manis, kenapa sekarang jadi asem lagi."Kamu nggak pernah salah dan nggak akan pernah salah. Salahkan saja hatiku yang tiba-tiba kesal padamu," gerutunya dari balik selimut.Justin malah tersenyum melihat tingkah Ha
Justin melirik waktu di jam tangannya. Biasanya Hana akan menghubunginya untuk mengingatkan minum obat dan makan siang, tapi kenapa sampai sekarang belum? Apa justru dia sengaja melupakan dan tak meneleponnya. Apa dia benar benar lupa?Beberapa waktu menunggu, akhirnya ia putuskan untuk menghubungi Hana. Pasti ada yang terjadi, hingga dia tak menghubunginya. Setidaknya dengan menelepon, ia bisa memastikan kalau dia dalam keadaan yang baik baik saja.Panggilan pertama, tak ada respon. Lagi, panggilan berikutnya ia kembali mendapatkan hasil yang sama. Ponselnya dalam keadaan aktif, hanya saja tak dijawab. Apa dia sedang tidur, di kamar mandi, atau apa? Pikiran pikiran buruk langsung muncul dalam benaknya."Kenapa?" tanya Willy yang sedari tadi melihat kegelisahan terpancar dari wajah Justin dengan fokus dia pada layar ponsel."Dia nggak jawab telepon gue dan perasaan gue nggak enak," ungkapnya."Coba telepon rumah," saran Willy yang langsung dilakukan Justin."Hana di mana?""Nona ad
Saat seseorang menyukainya, justru ia seolah merasa terbebani. Tapi saat dia mulai menjauh, seperti hati merasa tak iklas. Jadi, apa ini sebenarnya yang terjadi? Apa ini sebuah harapan agar dia kembali dengan hal-hal konyol dan menyebalkan itu?Di mana bocah yang kemarin-kemarin selalu membuatnya seakan gila. Apa sekarang dia sudah mulai waras, hingga melupakan hal-hal memalukan yang pernah dia lakukan?"Ada yang tak beres dengan otakmu?"Pertanyaan itu membuat Tian tersentak dari lamunan. Mendapati Willy yang sudah berada dihadapannya, menatapnya tajam."Apaan, sih, lo!" Ia kembali memfokuskan diri menatap layar laptop yang sedari tadi ia tatap, tapi pikirannya malah melayang jauh entah kemana.Willy terkekeh melihat tampang sobatnya yang beberapa hari terakhir justru makin membingungkan. Seperti seseorang yang ditinggal pacar, tapi ia yakin kalau saat ini Tian dalam status jomlo. "Apa kabar hati lo saat ini?" tanya Willy.Mendengar pertanyaan itu membuat Tian lagi-lagi menghentikan
Pertemuannya dengan Rhea bukannya membuat ia lebih baik, malah justru semakin membuatnya seperti seorang yang sedang stress berat. Berniat menghubungi lewat telepon, tapi rasanya begitu berat. Pulang dari kantor, ia memilih untuk mampir ke sebuah club malam. Sendirian, karena Justin tentu saja tak akan mau menginjakkan kaki ke tempat itu lagi. Karena nggak mau Hana sampai heboh lagi seperti sebelumnya. Begitu juga dengan Willy yang memilih untuk segera pulang ke rumah.Satu gelas, dua gelas ... hingga akhirnya ia mulai mabuk. Setidaknya dengan begini bisa membuatnya bisa melupakan yang namanya masalah hidup. Berjam-jam duduk dengan minuman yang terus ia nikmati, ujung-ujungnya malah membuatnya merasa bosan juga. Perlahan mulai berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Rasanya badannya seakan sedang melayang dan mati rasa. Masuk ke dalam mobil, kemudian merutuki sikapnya sendiri."Ini seperti sebuah karma. Saat dia mendekat, gue seakan abai. Dan sekarang saat dia jauh,
Masih kuliah seperti biasa. Justin meminta Hana untuk cuti kuliah, tapi masa iya harus cuti. Belum juga genap satu semester, dah berhenti aja. Intinya, Justin itu makin ngeselin karena cerewetnya makin parah."Lo masih masuk?" tanya Rhea pada Hana yang baru datang dengan wajah cemberutnya."Masuk lah.""Lihatlah wajah cemberut Hana. Pasti Om Justin kembali berulah," tebak Clara dengan tawa penuh ledekannya."Ngeselein banget dia tahu, nggak. Udah di rumah nggak boleh ngapa ngapain, keluar juga harus sama dia dan nggak mungkin jugalah gue bakalan cuti kuliah.""Sabar bumil, kadang cowok ngeselin ini lebih wahh daripada cowok nggak peka," tambah Leta. Kalimat pertama Leta memang teruntuk pada Hana, tapi kalimat terakhirnya justru mengarah pada Rhea.Pandangan ketiganya kini fokus pada Rhea yang tampak lesu, seperti nggak punya gairah hidup."Lo yakin nggak mau berhenti bersikap begini sama Om Tian?" tanya Hana pada Rhea."Lo pikir gue mau bersikap begini? Rasanya nyakitin banget buat g