Saat kembali dari toilet di kampus, entah kenapa pikirannya tak tenang. Bahkan beberapa kali menabrak orang saat berjalan. Dan lebih bodohnya lagi pikirannya itu justru tertuju pada Justin. Parah, kan. Padahal ini posisinya habis putus cinta, loh. Dan ia tak memikirkan itu sama sekali.Tadi pagi ia tak pamit, bahkan pergi dalam keadaan tak baik. Yakinlah kalau cowok itu marah akan sikapnya. Hatinya semakin tak tenang saja.Baru juga duduk di kursi, tiba-tiba ponselnya berdering. Hatinya semakin dibuat deg-deg'an saat tertera nama rentetan nomer yang tak dikenal di layar datar itu. Segera menggeser tanda berbentuk gagal telepon berwarna hijau untuk menjawab."Hallo," sahutnya."Selamat siang, Mbak Hana, ya. Saya sekretarisnya Bapak Justin. Bisa tidak, Mbak ke kantor sebentar."Bahkan ia belum mendengar kabar apa-apa, tapi hatinya sudah dibuat cemas duluan. Tangannya sampai gemetaran."I-iya, ada apa, ya?"Ia yang tadinya duduk di kursi kelas, kini memilih untuk beranjak dan berjalan k
Ia segera menghampiri dan memegangi gadis itu agar tak jatuh. "Hana, jangan ngelakuin hal aneh-aneh! Cepetan turun!"Hana mengelakkan tangan Justin yang memeganginya. "Aku yang jadi penyebab kemarahanmu, kan. Jadi, sekarang aku mau bunuh diri. Aku capek membujukmu. Nanti kalau aku nggak ada, hidup Om akan tenang seperti sebelum mengenalku. Dan Tante Alice juga akan berkurang musuhnya," ujar Hana yang posisinya sudah berdiri di atas kursi dekat jendela. Tinggal lompat saja.Justin langsung saja mengangkat tubuh Hana dan mendudukkannya di kursi. Kini kedua tangannya mengunci pergerakan gadis itu agar tak bisa pergi."Kamu bunuh aku dulu, baru bisa kamu bunuh diri," bisik Justin dengan geram.Hana malah tersenyum mendengar perkataan Justin. "Om pikir otakku sedangkal itu, sampai mau bunuh diri. Yang benar saja," balasnya tersenyum jahil.Justin merasa kali ini dirinya jadi korban penipuan. "Kamu mempermainkanku?""Ya, maaf," responnya dengan wajah memelas.Justin hendak beranjak dari pos
Justin membuat seharinya jadi berantakan. Bahkan ia sampai kabur dari kampus karena rasa cemasnya. Jadi, perasaan apa yang ia tujukan pada Justin? Apa benar ini cinta? Atau hanya rasa nyaman yang kebetulan bisa diberikan Justin padanya?Ia tak ingin Justin kenapa-kenapa, makanya meminta untuk pulang dan istirahat di rumah. Setidaknya agar dia bisa menenangkan pikiran. Tapi apa? Baru saja menginjakkan kaki di rumah, keduanya malah dihadapkan pada Alice yang menyambut dengan wajah kesal. Bukan pada Justin, tapi padanya."Kenapa kalian bisa pulang bareng?" tanyanya pada Alice dengan tampang sinis."Tadi aku ...""Jangan lupakan kalau dia istriku, jadi apa salahnya jika dia pulang denganku." Justin yang malah menjawab pertanyaan Alice. "Dan satu lagi. Aku sudah memberikanmu peringatan untuk tak terus mengurusi kehidupanku ataupun Hana. Terserah, kamu mau menghamburkan semua hartaku, silahkan. Aku tak perduli.""Justin, kamu sakit, ya?" tanya Alice tiba-tiba cemas melihat wajah Justin yang
Hana sampai di sebuah cafe, tempat janjiannya bersama para sahabatnya. Iya, ini adalah jalan yang terbaik. Ia tak ingin membohongi mereka terlalu lama. Setidaknya ada yang tahu statusnya saat ini selain keluarganya. Terlebih saat ia butuh solusi, palingbtidak ada temoatnya untuk meminta pendapat.Gilanya lagi itu sopir malah berniat mengekori langkahnya masuk cafe. Ini membuat tanduk di puncak kepalanya seakan tumbuh."Nggak usah dianterin, saya cuman ketemu sama teman," ujarnya."Tapi, Nona ...""Balik pulang aja. Saya nggak bakalan lama," perintah Hana langsung saja meninggalkan laki-laki itu memasuki area cafe.Itu baru satu orang loh, ya ... masih banyak stok model begituan penjaga yang disiapkan Justin untuknya. Lama lama, ke toilet pun dirinya bakalan dikawal, tuh.Dengan langkah cepat ia berjalan mencari keberadaan para sahabatnya. Hingga akhirnya ia lihat dari kejauhan lambaian tangan Clara yang mengarah padanya.Ya, seperti biasa. Ini adalah cafe favorite tempat mereka berkum
Dalam perjalanan, Justin hanya diam. Bahkan dia seolah tak berniat mengeluarkan sepatah katapun. Tak hanya itu, dia tak mengarahkan pandangannya pada Hana yang ada di sampingnya. Fokusnya hanya menatap jauh keluar kaca mobil.Hana yang cemas, seolah bingung harus berbuat apa sekarang. Mau bicara, takut. Diam, juga makin takut. Ayolah ... ia benci situasi ini. Hingga tiba-tiba saja fokusnya malah tertuju pada telapak tangan kiri Justin yang berbalut sapu tangan. Tapi mau bertanya, rasa takutnya kembali mucul.Bahkan sampai di rumah, situasinya masih sama. Dia hanya diam dan tak berkomentar. Turun dari mobil pun dia juga langsung turun dan melangkah menuju kamarnya.Sementara Hana hanya terhenti di ruang tengah, menatap hilangnya sosok itu."Kamu berani nyari masalah, ya, sama Justin?"Ia yang niatnya ingin melanjutkan langkah menuju kamar, terhenti saat mendengar pertanyaan itu dan berbalik badan."Justin itu tak sebaik yang kamu pikir, Hana! Pergi tanpa pamit, bahkan pergi secara diam
Perlahan matanya mulai terbuka, memijit kepalanya yang nyatanya memang masih sedikit pusing. Melihat keadaan sekitar dan tenang saat ia yakini kalau ini adalah kamarnya."Han, kamu dimana?" gumamnya lirih.Hendak bangun, tapi apa yang terjadi? Sebuah lengan kini ia dapati melingkar di badannya. Ia yakin, ini bukanlah Hana. Dengan cepat dan kasar langsung ia singkirkan lengan itu hingga pemiliknya terbangun."Justin kamu apaan, sih? Kenapa kasar banget?"Lihatlah, wajah yang ia benci dan tak sukai itu kini dengan seenaknya masuk ke dalam kamarnya. Tak hanya itu, Dia dengan beraninya tidur bersamanya. Yap, Alice lah pelakunya.Justin bangun dan dengan cepat menarik Alice menjauh dari kasurnya. "Siapa yang mengijinkanmu ada di sini?! Siapa yang membiarkanmu tidur di sini?!"Alice tak menjawab, tapi malah tersenyum manis berusaha menggoda Justin. Ia menyentuh wajah cowok itu dengan lembut."Justin, aku ini istri kamu. Jadi, apa salahnya, sih, jika aku ada di sini sama kamu. Aku akan mela
Hana keluar dari kamar secara diam-diam, setelah selesai bersiap untuk berangkat ke kampus. Niatnya, sih, agar Justin tak terbangun dan dia tak pergi bekerja, tapi apa ... baru juga tangannya memegang gagang pintu, suara bariton itu menghentikan niatnya.Berbalik badan dan menatap ke arah Justin sambil tersenyum gaje."Eh, haii, Om," ujarnya. "Udah bangun, ya.""Sengaja nggak ngebangunin aku, ya?""Enggaklah, Om," jawab Hana. "Aku cuman, itu ... hmm, anu." Ia bingung harus menjawab apa. Stok kebohongan dalam kepalanya tiba-tiba kosong.Justin bangun, kemudian beranjak dari tempat tidur ... berjalan menghampiri Hana yang berdiri di dekat pintu."Aku sudah bertahun-tahun bekerja ... jadi jangan dipikir aku akan ketiduran. Semengantuk apapun, saat jam kerja, aku pasti kebangun," jelasnya pada Hana."Baguslah kalau gitu. Jadi, aku nggak perlu membangunkanmu," balas Hana hendak melanjutkan niatnya, keluar dari kamar."Aku masih di sini, kenapa keluar? Apa itu sikap dari seorang istri yang
Harinya sudah dimulai dengan sesuatu yang tak bagus. Dan itu benar-benar membuat mood nya pagi ini hancur berantakan. Tak ingin sarapan, tapi Justin memaksanya.Sentuhan Justin di tangannya membuat lamunannya terhenti dan pandangan yang sedari masuk mobil hanya ia fokuskan ke jalanan, kini beralih pada cowok yang berada di sampingnya."Memikirkan apa?" tanya Justin. "Kenapa dari tadi melamun terus.""Tidak ada apa-apa," jawabnya."Sudah ku bilang, kan ... jangan memikirkan apapun perkataan dia.""Aku nggak memikirkannya, kok.""Dan ... jangan pernah melakukan kebohongan apapun jika di dekatku. Aku tahu ... aku tahu saat seseorang berbohong." Ia menyentuh lembut pipi Hana. "Termasuk kamu, Han," tambahnya.Hana kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil. Terlihat, hujan turun begitu lebat, membuat suasana pagi terasa sedikit dingin. Cocok sekali untuk rebahan, tentunya rebahan tanpa begitu banyak pikiran dan masalah."Om Justin, pulang jam berapa?" tanyanya tiba-tiba."Sepert