Seperti yang Rhea bilang tadi, ia memang tak bisa lama lama menemani Hana. Ya, apalagi kalau bukan karena ada kuliah sore. Kalau tidak, mungkin akan ia temani sobatnya ini biar nggak kesepian.“Han, lo benar benar aman, kan?” tanya rhea memastikan ketika dirinya hendak pergi.“Kenapa?”“Si Baby nggak gelud, kan, di dalam perut lo?”Hana menempeleng kepala Rhea ketika sobatnya itu malah terlalu kepikiran akan dirinya. Nyesal juga bilang tai, lihat setalah itu dia malah selalu bertanya dan bertanya.“Udah di bilang gue nggak kenapa kenapa,” berengutnya.“Atau, gue telepon Om Justin, ya.”“Rhea, udah gue bilang juga nggak kenapa kenapa. Lagian, ini masih belum tanggal prediksinya, kan.”“Hanaku tersayang, udah tahu kan namanya prediksi ... itu artinya nggak bisa pasti. Bisa maju dari tanggal hari perkiraan bisa juga maju dari tanggal. Ya, siapa tahu elo masuk klu yang pertama.”“Udah, udah ... sana pergi. Bisa bisa endingnya lo malah nggak masuk kuliah ini.”“Anjay, gue diusir,” keluh Rh
Rhea segera menghubungi Justin, untungnya cowok itu langsung menanggapi panggilan teleponnya. Kalau tidak, haruskah ia menggunakan cara lama untuk menarik dia ke rumah sakit?Yap, mungkin sekitar 10 menit, Justin tampak berlari dari kejauhan menghampirinya.“Hana gimana?”“Ada di dalam, sama dokter,” jawab Rhea.Justin langsung bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Hana berada. Yap, ada dokter Mila dengan istrinya yang sufdah lengkap dengan sebuah selang infus di pergelangan tangannya.““Justin,” gumam Hana.“Hana, kamu baik baik aja, kan? Kenapa nggak menhubungiku?” mengelus lembut wajah istrinya itu, dengan satu tangan menggenggam tangannya.“Maaf, ku pikir bukan waktunya.” Ini mukanya sudah nggak karuan lagi bentukannya. Antara rasa bersalah pada Justin dan rasa khawatir akan khamilannya.“Dokter, gimana?” tanya Justin pada dokter Mila.“Kondisi Mbak Hana baik, hanya tadi sempat pingsan karena mungkin kecapean juga. Dan, seperti yang saya sarankan sebelumnya, Mbak Hana n
Seperti kebanyakan bayi, bahkan si kembar pun juga seperti itu ... ketika ASI yang mereka dapatkan membuat perut kenyang, keduanya pun kini sudah mulai tenang di dalam box masing masing. Seolah menikmati masa bebas setelah sembilan bulan berada di dalam perut mamanya dan berbagi tempat.“Dokter, kok mata saya jadi ngantuk berat gini, ya. berasa ada sesuatu yang betengger di kelopak mata,” keluh Hana seakan akan membuatnya bisa tertidur dalam sekejap.“Itu hanya efek bius yang masih ada dalam tubuh, jadinya bikin ngantuk. Kalau Mbak mau tidur, tidur aja ... kalau anak anak mau ASI, bisa dibangunkan,” jelas Dokter Mila yang setia mendampinginya.Sudah seperti Kakak sendiri, itulah sosok Mila bagi Hana. Bukan apa apa, hanya saja selama sembilan bulan dirinya dirawat dan diperhatikan masalah kandungannya oleh dokter wanita ini, membuat sebuah kedekatan layaknya kakak adik terbentuk. Bahkan saat ia menyembunyikan kondisi kehamilannya pada Justin, dia juga setuju.“Ada Bapak Justin juga di
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu