"Cukup!" Keira akhirnya kehilangan kesabaran. "Saya tidak akan membiarkan Tante menghukum anak-anak saya tanpa alasan dan kesalahan yang jelas!"Suasana semakin memanas. Vera dan Tasya terus melontarkan tuduhan, sementara Kevin hanya berdiri diam, matanya masih tak lepas dari Keira. Di tengah kekacauan itu, Keira merasakan tarikan di lengan bajunya."Ma," bisik Sabiru, "Bella bohong. Tadi Biru lihat Bella sendiri yang menjatuhkan bonekanya, tapi Bella enggak mau mengaku."Keira menatap Sabiru, melihat kejujuran di mata anaknya. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri."Dengar," ujarnya tegas, "saya mengerti Tante dan Tasya sangat menyayangi Bella. Tapi tolong jangan biarkan kasih sayang itu membutakan kalian dari kebenaran. Sabiru baru saja memberitahu
Matahari pagi baru saja menyingsing ketika Keira membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar yang masih remang-remang, menghela napas panjang sebelum bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari yang berat, namun ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil demi kebaikan anak-anaknya.Dengan gerakan perlahan agar tidak membangunkan Aurora dan Sabiru yang masih terlelap di sampingnya, Keira bangkit dari tempat tidur. Semalam mereka tidur bertiga, berpelukan erat seolah takut kehilangan satu sama lain. Keira tersenyum lembut memandangi wajah polos kedua anaknya yang masih pulas, tetapi ada sebersit rasa bersalah yang menyelinap di hatinya.Ia berjalan menuju jendela, menyibakkan tirai dan membiarkan cahaya mentari pagi menerobos masuk. Paviliun tempat mereka tinggal selama ini tampak sepi, begitu juga dengan halaman rumah utama keluarga Mahendra. Keira mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Koper-koper dan tas-tas travel berjejer rapi di sudut kamar, menunggu untuk dib
Sore itu, udara terasa sejuk setelah hujan rintik yang turun sepanjang siang. Aroma tanah basah dan dedaunan segar menguar di sekeliling rumah peninggalan almarhu, Papa Keira. Suasana tenang yang menyelimuti kediaman itu tiba-tiba terusik oleh suara deruman mobil yang berhenti di depan pagar.Keira, yang sedang membaca email bisnis, mengintip dari jendela dengan penasaran. Matanya membulat sempurna ketika mengenali sosok jangkung yang keluar dari mobil tersebut. Arka, dengan koper di tangan dan senyum lebar di wajahnya, berjalan mantap menuju pintu depan.Sudah tiga hari berlalu sejak Keira memberitahu Arka tentang kepindahannya bersama Aurora dan Sabiru, tapi ia sama sekali tidak menyangka lelaki itu akan muncul di depan pintunya hari ini.Dengan tergesa, Keira membuka pintu bahkan sebelum Arka mengetuk. "Arka? Kok tiba-tiba muncul di sini?" tanya Keira, matanya mengamati penampilan Arka yang rambutnya terlihat sedikit berantakan dan kemejanya kusut, menandakan perjalanan panjang yan
"Keira!" seru Bara. Suaranya di seberang sana penuh amarah dan kecemasan. “Jelaskan pada Om apa maksud pesan yang kamu kirimkan pada Om?"Keira menelan ludah sambil menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah, tapi ia harus menghadapinya."Om, maafkan saya," Keira memulai dengan suara yang ia usahakan tetap tenang. "Saya mengirim pesan karena saya hanya ingin memberitahukan Om kalau saya membawa anak-anak pergi dari rumah."Hening sejenak. Keira bisa membayangkan ekspresi terkejut Om Bara di seberang sana."Apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu berani membawa anak-anak pergi? Kembalikan anak-anak ke rumah sekarang juga, Keira!"Keira menarik napa
Keira bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela dan menyibak tirainya. Pemandangan hijau pepohonan di halaman menyambut penglihatannya, memberikan sedikit ketenangan di pagi yang terasa berat ini. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari yang ia yakini akan penuh tantangan.Suara tawa riang Aurora dan Sabiru terdengar dari lantai bawah, membuatnya tersenyum tipis. Setidaknya anak-anaknya bahagia, pikirnya. Dengan langkah pelan, Keira turun ke lantai bawah, mengikuti suara ceria yang memenuhi rumah.Di ruang tengah yang merupakan ruang keluarga, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya menghangat. Arka duduk di lantai, dikelilingi oleh Aurora dan Sabiru yang tampak sangat gembira. Mereka sedang bermain dengan mainan baru yang Arka belikan kemarin."Pagi, Kei," sapa Arka dengan senyum lembut saat melihat Keira. "Tidur nyenyak semalam?"Keira mengangguk, meski ada sedikit kebohongan dalam gesturnya. Sebenarnya, ia menghabiskan sebagian
"Om," Keira berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Maaf kalau keputusan saya membuat Om marah. Tapi saya sudah menjelaskan alasannya di telepon semalam.""Alasan?!" Om Bara mendengus. "Alasan apa yang bisa membenarkan tindakanmu membawa kabur anak-anak Om?!""Saya tidak membawa kabur mereka, Om."Keira menarik napas dalam, seelum pada akhirnya menjawab tegas. "Saya ibu mereka, dan saya punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi anak-anak saya. Toh saya juga sudah menjelaskan kalau alasan saya membawa anak-anak ke sini karena mereka butuh lingkungan yang lebih baik.""Dan lingkungan yang lebih baik itu termasuk Arka?" sindir Bara, seolah menusuk pedang tajam ke mata Arka dengan tatapannya.Arka, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, kini angkat bicara. "Pa
Keira terbangun dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa lemah. Cahaya matahari yang menembus celah gorden membuatnya meringis. Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar hotel yang asing. Seketika, ingatan-ingatan semalam menyerbu pikirannya seperti badai yang tak terkendali. Ia ingat keramaian klub malam, tarian, tawa, dan minuman yang membuatnya merasa aneh.Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah sentuhan Om Bara, desahan lirihnya, dan perasaan yang mengaduk-aduk di dalam dirinya. Ia merasa jijik dan marah pada dirinya sendiri. Rasa bersalah menghantamnya seketika."Bagaimana bisa aku melakukan ini?" batinnya, menutup wajah dengan tangan untuk menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak bisa menghadapi kenyataan ini, tidak bisa menerima bahwa ia telah memohon pada Om Bara untuk menyentuhnya.Dengan hati-hati, ia melirik ke arah tempat tidur. Om Bara masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah. Keira merasa semakin terhimpit oleh rasa bersalah dan
Tiga minggu telah berlalu sejak malam bersama Om Bara waktu itu. Malam yang membuat Keira merasa seperti gadis paling hina di dunia. Bisa-bisanya malam itu, ia seperti jalang murahan yang begitu mendamba sebuah sentuhan.Namun, Keira tetap bertekad untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan kejadian tersebut masih menghantuinya.Bagaimanapun, ia masih memiliki janji kepada Papanya yang sudah tiada. Janji untuk menyelesaikan kuliahnya dan membantu mengelola perusahaan peninggalan Mahesa.Hal itu menjadi alasan utama mengapa Keira tetap tegar menjalani rutinitasnya dan melanjutkan kuliah di tengah duka kehilangan sang Papa.Meski begitu, Keira memutuskan menghindar agar tak bertemu dengan Om Bara lagi. Keira merasa begitu malu untuk bertemu pandang lagi dengan Om Bara. Ia segan untuk bertemu dengan lelaki yang pernah menjamah tubuhnya. Parahnya ia lah yang meminta dan menghendakinya.Pagi itu, Keira duduk di bangku perpustakaan kampus, matanya menerawang jauh, pikirannya melayang ke