"Keira!" seru Bara. Suaranya di seberang sana penuh amarah dan kecemasan. “Jelaskan pada Om apa maksud pesan yang kamu kirimkan pada Om?"
Keira menelan ludah sambil menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah, tapi ia harus menghadapinya.
"Om, maafkan saya," Keira memulai dengan suara yang ia usahakan tetap tenang. "Saya mengirim pesan karena saya hanya ingin memberitahukan Om kalau saya membawa anak-anak pergi dari rumah."
Hening sejenak. Keira bisa membayangkan ekspresi terkejut Om Bara di seberang sana.
"Apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu berani membawa anak-anak pergi? Kembalikan anak-anak ke rumah sekarang juga, Keira!"
Keira menarik napa
Keira bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela dan menyibak tirainya. Pemandangan hijau pepohonan di halaman menyambut penglihatannya, memberikan sedikit ketenangan di pagi yang terasa berat ini. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari yang ia yakini akan penuh tantangan.Suara tawa riang Aurora dan Sabiru terdengar dari lantai bawah, membuatnya tersenyum tipis. Setidaknya anak-anaknya bahagia, pikirnya. Dengan langkah pelan, Keira turun ke lantai bawah, mengikuti suara ceria yang memenuhi rumah.Di ruang tengah yang merupakan ruang keluarga, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya menghangat. Arka duduk di lantai, dikelilingi oleh Aurora dan Sabiru yang tampak sangat gembira. Mereka sedang bermain dengan mainan baru yang Arka belikan kemarin."Pagi, Kei," sapa Arka dengan senyum lembut saat melihat Keira. "Tidur nyenyak semalam?"Keira mengangguk, meski ada sedikit kebohongan dalam gesturnya. Sebenarnya, ia menghabiskan sebagian
"Om," Keira berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Maaf kalau keputusan saya membuat Om marah. Tapi saya sudah menjelaskan alasannya di telepon semalam.""Alasan?!" Om Bara mendengus. "Alasan apa yang bisa membenarkan tindakanmu membawa kabur anak-anak Om?!""Saya tidak membawa kabur mereka, Om."Keira menarik napas dalam, seelum pada akhirnya menjawab tegas. "Saya ibu mereka, dan saya punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik bagi anak-anak saya. Toh saya juga sudah menjelaskan kalau alasan saya membawa anak-anak ke sini karena mereka butuh lingkungan yang lebih baik.""Dan lingkungan yang lebih baik itu termasuk Arka?" sindir Bara, seolah menusuk pedang tajam ke mata Arka dengan tatapannya.Arka, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, kini angkat bicara. "Pa
Keira terbangun dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa lemah. Cahaya matahari yang menembus celah gorden membuatnya meringis. Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar hotel yang asing. Seketika, ingatan-ingatan semalam menyerbu pikirannya seperti badai yang tak terkendali. Ia ingat keramaian klub malam, tarian, tawa, dan minuman yang membuatnya merasa aneh.Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah sentuhan Om Bara, desahan lirihnya, dan perasaan yang mengaduk-aduk di dalam dirinya. Ia merasa jijik dan marah pada dirinya sendiri. Rasa bersalah menghantamnya seketika."Bagaimana bisa aku melakukan ini?" batinnya, menutup wajah dengan tangan untuk menahan tangis yang mulai menggenang di matanya. Ia tidak bisa menghadapi kenyataan ini, tidak bisa menerima bahwa ia telah memohon pada Om Bara untuk menyentuhnya.Dengan hati-hati, ia melirik ke arah tempat tidur. Om Bara masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah. Keira merasa semakin terhimpit oleh rasa bersalah dan
Tiga minggu telah berlalu sejak malam bersama Om Bara waktu itu. Malam yang membuat Keira merasa seperti gadis paling hina di dunia. Bisa-bisanya malam itu, ia seperti jalang murahan yang begitu mendamba sebuah sentuhan.Namun, Keira tetap bertekad untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan kejadian tersebut masih menghantuinya.Bagaimanapun, ia masih memiliki janji kepada Papanya yang sudah tiada. Janji untuk menyelesaikan kuliahnya dan membantu mengelola perusahaan peninggalan Mahesa.Hal itu menjadi alasan utama mengapa Keira tetap tegar menjalani rutinitasnya dan melanjutkan kuliah di tengah duka kehilangan sang Papa.Meski begitu, Keira memutuskan menghindar agar tak bertemu dengan Om Bara lagi. Keira merasa begitu malu untuk bertemu pandang lagi dengan Om Bara. Ia segan untuk bertemu dengan lelaki yang pernah menjamah tubuhnya. Parahnya ia lah yang meminta dan menghendakinya.Pagi itu, Keira duduk di bangku perpustakaan kampus, matanya menerawang jauh, pikirannya melayang ke
“Keira harus gimana, Pa?” desah Keira dengan lesu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.Setelah mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Keira merasa dunianya runtuh. Segala semangat hidupnya seolah lenyap seketika. Janji yang telah ia buat pada mendiang Papanya, kini tak mampu lagi menggerakkannya untuk bangun dan berangkat kuliah. Bagaimana mungkin di usianya yang baru 20 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiga tahun memasuki dunia perkuliahan, dan kini harus mengandung di tengah perjalanan itu.Keira mengurung dirinya di kamar. Sudah hampir seminggu ini ia absen dari perkuliahan. Setiap hari, ia hanya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, memandang hampa ke arah jendela.Keira takut kehamilannya diketahui orang lain, yang pada akhirnya bisa mencoreng nama baik almarhum Papanya. Ketakutan dan rasa malu itu begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya. Terkadang ia teringat kembali malam itu. Semua rasa bersalah yang bercampur
"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya
Di tengah histeria yang dialami oleh Keira, Tangis gadis itu juga pecah, menghantam ruangan dengan gemuruh kesedihan dan putus asa. Bara terus menahan Keira dengan segala kekuatannya. Merengkuh tubuh rapuh Keira ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Keira sekaligus melindungi anak yang tak bersalah di dalam rahim gadis itu.Tak peduli jika Keira terus memberontak. Yang penting, ia bisa menghentikan tindakan Keira menyakiti diri dan juga menenangkan kehisterisan gadis itu.Hingga, lama-lama tak ada perlawanan dari Keira. Bukan karena gadis itu tak mampu atau tak ingin melakukannya, tetapi saking hensetrisnya malah membuat Keira lemas dan akhirnya kembali pingsan.Mendapati betapa histeris dan syoknya Keira, membuat Bara yang awalnya dipenuhi keraguan dan kebimbangan, akhirnya terpaksa menentukan sebuah keputusan yang sebenarnya teramat berat untuk ia ambil.Namun, sepertinya Bara tak punya pilihan lain. Ia memang harus mengambil keputusan sulit ini. Demi menjaga Keira. Juga memasti