Belum genap seminggu sejak kedatangan Om Bara yang penuh ketegangan ke rumahnya, Keira dikejutkan oleh kabar yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak. Aurora, putri kecilnya, terjatuh saat bermain perosotan di sekolah. Kepalanya terbentur dan mengalami pendarahan.
Tanpa pikir panjang, Keira segera melesat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan mengerikan. Ia mengutuk diri sendiri, merasa bersalah karena tidak ada di sana untuk melindungi putrinya. Meski logikanya mengatakan bahwa kecelakaan bisa terjadi kapan saja, hati kecilnya tetap berbisik, menuduhnya sebagai ibu yang lalai.Sesampainya di rumah sakit, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya semakin mencelos. Sabiru, putra kembarnya, tengah menangis tersedu-sedu dalam pelukan seorang wanita yang Keira kenali sebagai Bu Intan, salah satu guru di sekolah anak-anaknya."Bagaimana Aurora, Bu Intan?" tanya Keira, suaranya bergetar menahan tangis.MOm Bara mengangguk pelan, "Baiklah, Keira. Ayo kita bicara."Mereka berdua melangkah keluar ruangan, meninggalkan Sabiru yang tertidur di sofa dan Aurora yang tertidur di ranjang. Di lorong rumah sakit yang sepi, Keira mulai membuka suara.Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Kejadian ini... membuat aku sadar betapa pentingnya kehadiran Om bagi anak-anak. Terutama Aurora. Dia terus memanggil namamu, Om. Bahkan saat aku ada di sampingnya."Ada nada getir dalam suara Keira, membuat Om Bara merasa bersalah. "Keira, kamu tahu itu bukan berarti Aurora tidak menyayangimu. Dia hanya—""Aku tahu, Om," potong Keira lirih. "Aku paham. Justru itulah yang membuatku berpikir ulang tentang keputusanku membawa anak-anak pergi darimu. Jujur, aku...aku mulai ragu dengan keputusanku itu,"Bara tertegun, tidak menyangka Keira akan mengangkat topik ini. Namun, ia hanya diam saja, seolah memberi Keira kesempatan untuk melanjutkan uca
Keira menghela napas panjang, menatap keluar jendela rumah Om Bara. Ia mengira kepulangannya ke sini akan membawa kedamaian, namun ternyata masalah lama masih menghantuinya seperti bayangan yang tak bisa lepas.Apalagi jadwal liburan sekolah anak-anak telah lama berlalu dan Kevin beserta anak istrinya telah kembali ke rumah mereka.Keira kira dengan begitu Kevin beserta anak istrinya mungkin akan jarang datang ke rumah ini sampai liuran berikutnnya. Sehingga, ia bisa bernafas lega karena bisa terlepas semantara dari segala situasi buruk jika ada mereka di rumah ini.Ternyata dugaan Keira salah besar. Kevin masih saja berusaha mendekatinya dengan berbagai dalih. Setiap Minggu, ia datang berkunjung dengan membawa Bella, putri kecilnya, beralasan ingin mengunjungi opa-omanya.
Setelah pembicaraan yang intens dengan Kevin, Keira berjalan pelan menuju bangku kayu favorit Aurora dan duduk disana, memejamkan mata sejenak untuk mencoba menenangkan deru jantungnya yang masih berpacu kencang.Keira merasa lega sekaligus gelisah. Lega karena akhirnya bisa mengungkapkan kebenaran yang selama ini terpendam.Namun, gelisah karena reaksi Kevin yang tiba-tiba pergi tanpa kata membuatnya khawatir. Apakah pengakuannya justru akan memperburuk keadaan?Setelah merasa agak tenang, Keira membuka mata dan menghela napas panjang. Pandangannya menerawang jauh, menembus kegelapan yang mulai merayap di antara pepohonan.Ia berharap pembicaraannya dengan Kevin bisa mengubah sikap pria itu, tetapi Keira juga realistis. Ia tahu bahwa perubahan tidak ak
Keira duduk di balik meja kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu mahoni dengan irama tak beraturan.Pikirannya masih berkecamuk, mengingat kembali percakapannya dengan Kevin di taman belakang rumah Om Bara.Percakapannya dengan Kevin terasa begitu intens, membuka luka lama yang selama ini coba ia kubur dalam-dalam.Setiap kata, setiap ekspresi Kevin, terpatri jelas seperti film yang diulang-ulang dalam benaknyanya. Keira menghela napas panjang, berharap beban berat di dadanya bisa sedikit terangkat.Namun ada setitik harapan yang muncul - mungkinkah Kevin akhirnya bisa melihat kebenaran dan melepaskan obsesinya?Lamunan Keira terganggu oleh suara ketukan pintu yang tiba-tiba. "Masuk," ujar Keira,
Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Keira saat melihat unggahan terbaru Kevin –foto keluarga kecilnya yang sedang berlibur di pantai. Dalam foto itu, Kevin tampak bahagia menggendong Bella di atas bahu, sementara Tasya tersenyum lebar di samping mantan pacarnya itu."Syukurlah," gumam Keira pelan. Separuh beban yang selama ini menghimpit dadanya seolah terangkat.Melihat Kevin yang sudah bisa move on dan menemukan kebahagian dengan keluarga kecilnya sendiri membuat Keira merasa lega. Setidaknya, satu masalah dalam hidupnya sudah selesai.Sepertinya mulai sekarang benar-benar tak akan ada lagi dendam atau obsesi dari Kevin, yang dulu sempat membuatnya was-was.Tepat ketika Keira hendak meletakkan ponselnya, pintu ruangannya diketuk pelan. "Bu Keira," suara asistennya terdengar dari balik pintu, "Pak Arka datang ingin bertemu.""Oh, suruh masuk saja," jawab Keira sambil merapikan dokumen di mejanya.Arka melangkah masuk
Sore itu, setelah seharian penuh bersenang-senang di Dufan, rombongan kecil keluarga itu baru saja tiba di rumah. Aurora dan Sabiru masih bersemangat menceritakan ulang pengalaman mereka naik berbagai wahana, sementara Bara dan Arka sibuk menurunkan tas-tas dan barang bawaan dari mobil.Keira tersenyum melihat kedua anaknya yang masih hiperaktif meski telah lelah seharian bermain. Ia baru saja hendak mengajak mereka mandi ketika dering ponsel Arka memecah keramaian sore itu."Halo?" jawab Arka. Ekspresinya yang semula santai mendadak berubah tegang. "Apa? Kapan? Di mana?"Bara yang menangkap perubahan raut wajah putranya langsung mendekat. "Ada apa?""Ma... Mama kecelakaan, Pa," suara Arka tercekat. "Barusan pihak rumah sakit telepon. Katanya mobil yang ditumpangi Mama bersama supirnya... tabrakan di daerah Kemang."Wajah Bara memucat seketika. "Ya Allah... Vera..." Ia segera merogoh saku untuk mengambil kunci mobil. "Arka, kita ke rumah sakit sekarang.""Aku ikut!" Keira spontan mena
Sudah 24 jam berlalu sejak operasi Vera. Bara dan Arka yang setia menunggu tampak lelah, namun tak ada satu pun dari mereka yang berani meninggalkan rumah sakit sebelum memastikan kondisi Vera benar-benar stabil.Ketika dokter memasuki ruangan untuk melakukan pemeriksaan rutin, Bara dan Arka spontan berdiri. Setelah serangkaian pemeriksaan menyeluruh, dokter menghela napas panjang sebelum menyampaikan diagnosis yang mengejutkan."Maaf, saya harus menyampaikan terdapat cedera serius pada syaraf di area tulang belakang Nyonya Vera," ucap dokter dengan nada prihatin. "Kondisi ini mengakibatkan kelumpuhan pada kedua kakinya. Namun, untuk berapa lamanya, kami masih perlu memantau kondisi Nyonya Vera kedepannya""Tidak... tidak mungkin!" Vera yang baru sadar dari pengaruh obat bius menjerit histeris begitu mendengar vonis dokter. "Dokter pasti bohong! Saya tidak mungkin lumpuh!"Air mata mengalir deras di pipi wanita paruh baya itu. Tangannya gemetar hebat saat ia berusaha menggerakkan kaki
Usai mendapatkan izin dari Om Bara, Keira melangkah mantap memasuki kamar Tente Vera. Begitu ia sampai di dalam, wanita yang terbaring di ranjang menoleh dengan tatapan tajam begitu menyadari kehadirannya."Mau apa kamu ke sini?" desis Vera, suaranya penuh kebencian. Matanya yang sembab memancarkan amarah yang tak terbendung. "Belum puas menghancurkan hidupku?"Keira tidak gentar menghadapi tatapan penuh kebencian itu. Ia justru tersenyum lembut sembari mendekati ranjang dengan langkah perlahan tetapi pasti."Tante, mulai sekarang aku di sini untuk merawat Tante. Izinkan aku melakukannya, sebagai bentuk penebusan atas semua kesalahanku di masa lalu.""Penebusan?" Vera tertawa getir, tawanya terdengar menyakitkan. "Kamu pikir dengan merawatku, semua akan kembali seperti semula? LIHAT AKU!" Suaranya meninggi, bergetar oleh emosi yang meluap. "Aku lumpuh! Dan semua ini gara-gara KAMU!""Ya, aku tahu Tante membenciku. Tante berhak untuk itu," Kei
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di