**
“Pindah ke rumah lama? Apa maksudmu?”
William mengerutkan alis. Wajahnya menyiratkan rasa tidak setuju saat mendengar usulan dari Binar.
“Saya hanya nggak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya sama Mbak Rachel.”
“Apa yang bisa disalahpahami sama Rachel? Aku nggak ngerti apa maksudmu.”
Bagaimana Binar menjelaskannya? Padahal ia pikir sikap dingin Rachel kepadanya sangat kentara. Mengapa William tidak paham juga?
Perempuan itu kembali menunduk sembari mempermainkan garpu yang ia pegang. “Yah, saya hanya nggak ingin Mbak Rachel terganggu dengan perhatian yang anda berikan kepada saya, Tuan.”
“Perhatian?” Seperti baru saja menyadari hal ini, wajah William mendadak agak merona. “Yah … aku pikir itu hal yang wajar. Aku dengar trimester pertama kehamilan itu masa yang berat. Aku hanya ingin membantu.”
Wah, Binar sedikit kagum. Bahkan William mengerti hal-hal seperti ini. Rupanya pria ini sudah sangat siap menjadi seorang ayah. William adalah sosok yang tampan rupawan, berpendidikan, bergelimang harta, serta beristrikan perempuan mempesona seperti Rachel Aluna. Namun ternyata tetap ada satu sisi ketidakberuntungan yang ia miliki, yakni perihal keturunan. Tuhan memang maha adil, kan?
“Katakan saja kepadaku kalau kamu merasa kesulitan. Entah kamu sedang tidak enak badan, atau sedang menginginkan sesuatu, kamu bilang saja. Jangan salah paham Binar, bukannya bagaimana, tapi aku hanya lakukan ini agar proses kehamilanmu lancar.”
Nah, satu hal yang benar-benar bisa Binar percaya dari perubahan sikap William belakangan ini, adalah kalimatnya yang terakhir.
William melakukannya hanya demi anak yang sangat ia inginkan, bukan karena apapun.
“Bagaimana kalau saya ingin pindah saja ke rumah lama, biar nggak mengganggu Mbak Rachel di sini, Tuan William?”
Kedua alis pria itu sontak bertaut. “Maaf, Binar. Untuk yang satu ini, aku nggak bisa. Kamu harus tetap berada di sekitarku, agar aku lebih mudah memantau keadaanmu.”
Kedua bahu kecil Binar sontak merosot turun.
*
Binar berdiam diri di halaman samping rumah megah William Aarav senja hari ini. Sama seperti mansion yang sempat ia tinggali sebelumnya, halaman ini dipenuhi bunga beraneka warna. Binar setengah tidak percaya bahwa William yang sangat manly dan berwibawa itu menyukai bunga. Ah, ataukah Rachel yang demikian? Justru tidak mungkin, karena Rachel sepertinya acuh kepada segala hal di rumah ini selain pekerjaannya sendiri.
“Nyonya Binar, ini sudah sore. Anda harus masuk.” Seorang pegawai rumah berujar dari ambang pintu rumah. Binar menoleh, berusaha tersenyum saat perempuan berseragam itu menunduk dengan hormat kepadanya. “Anda nanti bisa masuk angin kalau terus berada di luar sampai sore.”
“Iya, terima kasih. Aku akan masuk.” Binar menjawab dengan bibir menyungging senyum. Ia beranjak dari bangku taman. “Apakah Tuan William sudah datang?”
Perempuan muda itu menggeleng. “Belum. Mungkin sebentar lagi. Kalau Nyonya Rachel, beliau saja baru datang.”
Binar mengangguk sembari masuk rumah. Ia berpikir-pikir, haruskah datang menyapa istri pertama suaminya? Ataukah tidak usah saja sebab takut mengganggu?
Ini adalah rumah Rachel, dan Binar sadar dirinya menumpang di sini. Maka, ia memutuskan pilihan yang pertama.
“Boleh nggak kalau aku bawakan teh atau sesuatu buat Mbak Rachel?” Perempuan itu bertanya kepada pegawai rumah yang masih berada di belakangnya, yang kemudian ditanggapi dengan senyum lebar.
“Kebetulan sekali, biasanya Nyonya Rachel memang suka minum teh sepulang bekerja. Tunggu sebentar, biar saya siapkan, ya.”
Binar mengangguk senang. Ia pikir jalannya untuk mendekatkan diri kepada nyonya rumah yang asli bisa ia mulai dari hal-hal kecil seperti ini.
Maka beberapa saat kemudian, perempuan itu sudah datang ke meja makan dengan membawa nampan kecil berisi teko kaca dan beberapa gelas. Kebetulan sekali, Rachel sedang berada di sana. Binar mengayun langkah mendekatinya.
“Mbak?” sapanya dengan senyum merekah. “Mau minum teh bersama? Mbak baru pulang, kan?”
Rachel yang sedang menggulir layar ponsel menoleh mendengar panggilan itu. Pada awalnya, mimik mukanya tampak penuh cela saat melihat Binar. Namun kemudian setelah diam sesaat, perempuan cantik itu mengedikkan dagu.
“Boleh. Sini, kemarikan tehnya.”
Dengan senang hati Binar mengulurkan nampan berisi teko kaca itu kepada yang lebih tua. Ia pikir gayung bersambut, ia bisa memperbaiki hubungan dengan perempuan menawan itu. Namun apa yang terjadi?
PRANG!
Nampan itu jatuh terbanting ke atas lantai marmer. Isinya pecah berkeping-keping, dengan air teh panas yang tumpah ke mana-mana, termasuk mengenai telapak kaki Rachel. Seketika teriakan kesakitan menggema nyaring, memenuhi ruang makan yang lengan dan mewah itu. Binar terkesiap, seketika seluruh tubuhnya mendingin, melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan olehnya.
“Astaga, Mbak Rachel! Mbak, Mbak nggak apa-apa? Astaga, gimana bisa–”
“Apa yang kamu lakukan?” hardik Rachel sembari masih mendesis kesakitan dan memegangi telapak kakinya yang tersiram teh. “Binar, kamu sengaja melakukan ini sama aku?”
“Saya nggak sengaja. Mbak, saya benar-benar nggak sengaja. Saya pikir Mbak sudah pegang nampannya–”
“Apa kamu nggak tahu apa profesiku? Kalau sampai kakiku kenapa-kenapa, gimana dengan karirku?”
“Mbak, saya–”
“Ada apa ini? Rachel, ada apa?”
Belum sempat Binar melanjutkan kata-katanya saat William datang. Pria itu mendekat dengan langkah berderap dari pintu depan, tampak terbelalak melihat kekacauan yang terjadi di ruang makan.
“Rachel, Binar, kenapa ini?”
“Saya–”
“Willy, tolong! Binar sengaja jatuhin teko berisi air panas ke kakiku. Tolong, ini sakit banget. Kakiku kebakar rasanya,” tuduh Rachel tiba-tiba.
William mengerutkan keningnya. “Binar?”
***
**“Binar, kenapa kamu lakukan itu? Kamu tahu itu berbahaya!” William menegur dengan nada sedikit tinggi, membuat istri keduanya terkesiap.“Saya nggak sengaja, Tuan. Saya nggak bermaksud–”“Kamu sengaja!”Binar terhenyak kaget saat Rachel berseru kepadanya dengan suara keras. Perempuan itu masih merintih kesakitan saat William mendekat kepadanya. Saat Binar melihat telapak kaki Rachel, ruam kemerahan terlihat di sana.“Kamu sengaja jatuhkan nampannya biar kaki aku kena air panas, iya kan?”“Mbak, saya benar-benar nggak sengaja ….”“Bohong!”“Rachel, kita ke rumah sakit saja sekarang, ya?” William yang tampak bingung menghadapi kedua istrinya, berusaha menengahi. “Kita ke dokter sekarang biar kaki kamu lekas dapat penanganan. Sini, biar aku bantu.” Pria 35 tahun itu membantu sang istri pertama untuk berdiri dan memapahnya berjalan. “A-apakah saya boleh ikut ke dokter?” Binar menyela, berkata pelan penuh harap.“Mau ngapain ikut? Mau ngetawain aku, iya?” sahut Rachel penuh emosi, yan
**“Hanya luka seperti ini nggak perlu ke dokter segala kok, Tuan. Saya kan bukan seorang model seperti Mbak Rachel. Nggak masalah kalau saya punya sedikit bekas luka.”William mengernyit. Tampak tidak setuju, namun tidak berkata apapun. Arah pandangnya kembali jatuh kepada kaki Binar. Menatap ruam kemerahan yang menodai permukaan kulit putih itu.“Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Karena kamu sekarang nggak hidup sendirian.”“Ah ….” Binar menelan saliva. Ia merasa tertampar dengan kalimat terakhir suaminya itu. Benar sekali, yang William khawatirkan sebenarnya adalah calon bayi dalam perutnya, bukannya Binar sendiri. “Jangan khawatir. Dia terlindungi dengan sempurna di dalam sini, Tuan.”William mengangguk sembari bangun dan menegakkan tubuh. Pandangannya yang kembali datar bahkan cenderung dingin, sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu. “Ya sudah kalau kamu baik-baik saja. Tolong lebih hati-hati lain kali. Seperti yang kamu ketahui, penampilan memang sangat pent
**“Nyonya! Nyonya Binar pingsan di ruang tengah!”Rachel baru saja menyeruput Earl Grey Tea dari cangkirnya saat seorang perempuan muda pegawai rumah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Pingsan?” Dahi Rachel berkerut. “Tapi dia baru saja mengucapkan selamat pagi kepadaku.”“Kami menemukannya di ruang tengah. Apakah harus panggil dokter, Nyonya? Ataukah harus menunggu Tuan datang?”Rachel terhenyak, sadar bahwa tidak akan bagus jika William melihat keadaan ini. Ia menggeleng sesaat. “Kalian bawa ke mana dia?”“Ke kamar, Nyonya. Haruskah menelepon dokter sekarang?”“Biar aku sajalah yang telepon dokter. Kamu bisa kembali ke belakang, aku akan lihat dia ke kamar.”Pegawai perempuan itu mengangguk dengan hormat sebelum undur diri kembali ke belakang. Meninggalkan Rachel sendirian yang berdecih kesal sembari berdiri dengan malas. “Kenapa lagi sih itu orang? Drama banget perasaan. Baru juga hamil, sudah bikin gara-gara saja kerjaannya.”Perempuan rupawan itu menyeret langkah malas-malas
**“Binar? Kamu apa kabar, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?”Mendengar pertanyaan seperti itu, Binar justru hampir menangis lagi. Tentu saja ia tidak baik-baik saja saat ini. Tapi apakah ia bisa mengatakan semua itu kepada ayah yang sangat disayanginya? Tentu saja tidak, sebab sudah pasti sang ayah akan khawatir.“Aku baik-baik saja, Ayah ….” Sembari menghela napas, Binar menjawab. “Aku kangen, pengen ketemu Ayah. Aku akan minta izin sama Tuan William untuk pulang sebentar ke rumah buat ketemu sama Ayah hari ini.”Hening sejenak, Binar menyeka air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Ia menahan diri sekuat tenaga agar isak tangisnya tidak sampai lolos dan terdengar hingga ke seberang. Namun agaknya sang Ayah tetap bisa merasakan hal itu.“Kamu yakin baik-baik saja? Jangan memaksa pergi kalau suami kamu nggak kasih izin, ya?”“Dia akan mengizinkanku, Ayah tenang saja.”Binar diam lagi. Sejujurnya ia juga tidak tahu apakah sang suami akan mengizinkannya keluar atau tidak. Namun me
**Sampai juga, akhirnya.Rumah itu masih sama seperti dua bulan yang lalu, ketika Binar meninggalkannya untuk menikah dan hidup sebagai istri kedua seorang bos muda tampan yang sudah menyelamatkan hidup keluarganya dari kebangkrutan.Terpaksa menerima keadaan, meski kala itu semalaman penuh Binar menangis, bahkan berniat kabur dari rumah –walau akhirnya tidak jadi ia lakukan. Statusnya sebagai anak tiri di rumah ini mengharuskannya mengalah dengan semua keputusan kedua orang tuanya, termasuk menjadi pengantin kedua putra satu-satunya keluarga Aarav. William Aarav diharuskan memiliki penerus yang tidak bisa diberikan oleh Rachel Aluna, maka kedua orang tua Binar yang notabene memiliki banyak hutang budi kepada keluarga Aarav, menyerahkan putri sulung mereka untuk membantu.“Kamu melamun lagi? Sebenarnya memang benar-benar mau ketemu ayahmu atau nggak, sih?”Terkesiap, Binar buru-buru menoleh kepada sang suami. Ia terkejut sendiri saat menyadari bahwa mobil William sudah berhenti dari
**Pukul sembilan malam tepat, mobil hitam William kembali berhenti di halaman rumah orang tua Binar. Binar yang sebelumnya menghabiskan waktu sembari bercengkerama bersama ayahnya, beranjak dengan berat hati. Ia tidak ingin meninggalkan rumah, sesungguhnya. Namun, mana bisa begitu, kan?“Aku pulang dulu, Ayah,” pamitnya sembari mencium punggung tangan Rudy. Yang bersangkutan pun tampak berat melepas putrinya kembali, namun seperti halnya Binar, Rudy juga tidak bisa melakukan apapun.“Tuan William, apakah nggak mau masuk dulu?” Di luar dugaan, Vidia melesat keluar dari kamarnya dan menyapa William dengan gembira kala melihat pria itu datang. “Tuan William sudah makan malam? Mari, masuk dulu.”William mengangguk kecil, kentara sekali terpaksa mengulas senyum. “Sudah, terima kasih. Saya hanya akan menjemput Binar kembali.”“Ah, saya harap dia nggak merepotkan anda di sana, Tuan. Binar tuh kan banyak maunya, ya. Nggak kebayang kalau sedang hamil seperti ini, pastinya ngidam ini itu juga.
**“Oh, kamu sudah menikah, ternyata?” Gio bertanya dengan heran. Raut wajahnya berubah setelah mendengar penuturan dari William barusan. “Kenapa aku sama sekali nggak mendengar kabarnya, Binar? Kamu nggak kasih aku undangan?”“Binar memang nggak ingin memberitahu siapapun. Apakah itu sangat mengganggumu?” sahut William dingin, membuat Gio terperangah.“Bukan begitu. Maksudnya–”“Mas Gio, saya harus pergi sekarang karena ini sudah malam. Sampai ketemu lagi ya, Mas.” Terburu-buru Binar memotong sebab merasa atmosfir di sekitar sana menjadi kurang nyaman. Ia agak menarik lengan William untuk masuk ke dalam mobil, agar pria itu tidak terus-terusan bersitatap tajam dengan satu yang lain di hadapannya.Binar sedikitnya menyesal, mengapa harus bertemu dengan Giorgino Gautama, teman sejak kecilnya, pada waktu yang tidak sesuai seperti itu.Mobil kembali melaju, kemudian. Dan masih seperti yang tadi, keheningan melanda dalam kabin. Namun kali ini keheningan itu terasa agak lain, karenanya Bin
**“Ugh!”Rachel seketika melayangkan pandangan tajam ke seberang meja makan pagi ini saat ia sedang sarapan. Kedua alis presisinya menukik tajam, mengawasi perempuan di seberangnya yang sedang menutup mulut dengan telapak tangan.“Kenapa kamu malah diam di situ? Apa kamu nggak lihat, aku sedang sarapan?” Perempuan cantik itu berujar dengan suara penuh amarah. “Nunggu apa? Sana pergi ke toilet! Sial!”Binar bukannya benar-benar muntah. Ia hanya mual karena aroma masakan yang terhidang di atas meja makan pagi ini. Namun dengan kesadaran penuh Binar mengakui, ia sudah menyinggung Rachel karenanya.Perempuan itu terburu-buru berlari ke wastafel di bawah tangga dan membasuh mulut dan wajah di sana. Disaksikan dengan alis terangkat oleh sang suami dari lantai atas.“Kamu baik-baik saja?” William bergegas turun untuk memeriksa keadaan Binar. “Kamu muntah-muntah, ya?”“Ah, nggak kok, Tuan. Saya nggak apa-apa, saya hanya mual.”“Ayo kita kembali ke meja makan dan duduk dulu.”Binar menggeleng