**“Oh, kamu sudah menikah, ternyata?” Gio bertanya dengan heran. Raut wajahnya berubah setelah mendengar penuturan dari William barusan. “Kenapa aku sama sekali nggak mendengar kabarnya, Binar? Kamu nggak kasih aku undangan?”“Binar memang nggak ingin memberitahu siapapun. Apakah itu sangat mengganggumu?” sahut William dingin, membuat Gio terperangah.“Bukan begitu. Maksudnya–”“Mas Gio, saya harus pergi sekarang karena ini sudah malam. Sampai ketemu lagi ya, Mas.” Terburu-buru Binar memotong sebab merasa atmosfir di sekitar sana menjadi kurang nyaman. Ia agak menarik lengan William untuk masuk ke dalam mobil, agar pria itu tidak terus-terusan bersitatap tajam dengan satu yang lain di hadapannya.Binar sedikitnya menyesal, mengapa harus bertemu dengan Giorgino Gautama, teman sejak kecilnya, pada waktu yang tidak sesuai seperti itu.Mobil kembali melaju, kemudian. Dan masih seperti yang tadi, keheningan melanda dalam kabin. Namun kali ini keheningan itu terasa agak lain, karenanya Bin
**“Ugh!”Rachel seketika melayangkan pandangan tajam ke seberang meja makan pagi ini saat ia sedang sarapan. Kedua alis presisinya menukik tajam, mengawasi perempuan di seberangnya yang sedang menutup mulut dengan telapak tangan.“Kenapa kamu malah diam di situ? Apa kamu nggak lihat, aku sedang sarapan?” Perempuan cantik itu berujar dengan suara penuh amarah. “Nunggu apa? Sana pergi ke toilet! Sial!”Binar bukannya benar-benar muntah. Ia hanya mual karena aroma masakan yang terhidang di atas meja makan pagi ini. Namun dengan kesadaran penuh Binar mengakui, ia sudah menyinggung Rachel karenanya.Perempuan itu terburu-buru berlari ke wastafel di bawah tangga dan membasuh mulut dan wajah di sana. Disaksikan dengan alis terangkat oleh sang suami dari lantai atas.“Kamu baik-baik saja?” William bergegas turun untuk memeriksa keadaan Binar. “Kamu muntah-muntah, ya?”“Ah, nggak kok, Tuan. Saya nggak apa-apa, saya hanya mual.”“Ayo kita kembali ke meja makan dan duduk dulu.”Binar menggeleng
**Tiga orang yang berada di dalam ruangan itu sama-sama terkejut. William, Binar, dan seorang dokter muda yang duduk di balik meja kerja yang ternyata Binar kenal.Giorgino Gautama atau Mas Gio yang semalam.“Binar?” sebut pria itu setelah menyelesaikan keterkejutannya. “Ternyata kamu?”“Mas Gio dokter di sini juga? Kok aku nggak pernah tahu?” Binar bertanya dengan suara penuh kejutan. Pria tampan berjas putih itu tersenyum lebar.“Aku menggantikan dokter Ardi. Biasanya memang jam dinasku malam hari, jadi mungkin kamu nggak pernah lihat. Lagian aku juga masih lumayan baru di sini.”“Ehem ….”Suara deheman mengalihkan fokus Binar dan Gio. William yang bersuara. Wajah pria itu tampak jelas sekali terganggu melihat kedekatan sang istri dengan laki-laki lain.“Apakah kalian mau bernostalgia saja dan nggak jadi periksa?” tanya William tajam.“Ah, maaf, Tuan. Itu karena saya kaget sekali melihat Mas Gio di sini.” Binar menjawab dengan takut-takut, walau ia tidak mengerti mengapa harus takut
**“Ugh! Uhkk ….”Binar berlari menyingkir dari meja makan dengan telapak tangan menutup mulut. Diiringi oleh tatapan tajam dan hardikan keras dari Rachel.“Nggak bisakah kamu membiarkan aku sarapan dengan tenang? Sial! Melihatmu seperti itu sungguh membuat moodku rusak, bahkan sebelum aku memulai hari!”Anggapan Binar tentang morning sickness yang tidak parah itu agaknya keliru. Memasuki bulan ketiga kehamilan, alih-alih membaik, keadaannya justru memburuk. Pada pagi hari, sekarang Binar bukan hanya mual, namun juga muntah-muntah hebat.Hal ini membuat sang nyonya rumah begitu terganggu.“Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja, karena tadi bau susu. Mulai sekarang, saya akan keluar kamar setelah Mbak Rachel selesai sarapan,” ucap Binar dengan wajah sedih.Sang istri pertama hanya mengerutkan alis, kentara sekali menahan emosi. Hanya karena tidak ingin kerutan muncul di wajahnya, Rachel menahan diri untuk tidak marah-marah lebih banyak.Di balik pintu kamar, Binar menghela napas dengan sedih
**“Kenapa kamu nggak menghubungi suami kamu saja, Binar? Aku yakin dia pasti nggak akan keberatan menunda perjalanan bisnisnya. Suami mana memangnya yang nggak khawatir kalau lihat keadaan istrinya seperti ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Gio berujar menyarankan. Pria itu masih setia menunggui Binar yang terbaring di atas ranjang rawat dan belum diperbolehkan pulang.“Aku hanya nggak mau ngerepotin dia, Mas.”“Kalau sudah masalah seperti ini, apakah masih bisa disebut ngerepotin? Ini masalah bukan main-main, lho.”Binar hanya mengulum senyum. Dari dulu, pria di hadapannya ini tidak pernah berubah, selalu baik dan perhatian. Itulah mengapa Binar sempat menaruh hati kepadanya, sekalipun rasa itu tidak pernah bersambut. Kemudian, pintu ruangan perlahan terkuak, membuat dua orang yang berada di dalamnya menoleh. Binar mengangkat alis saat melihat pria setengah baya, supir pribadinya, masuk membawa wajah bimbang.“Ada apa, Pak?” tanya Binar heran.“Mm … itu Nyonya, Nyonya Rach
**“Kamu semalam menghilang entah ke mana, dan saat pulang malah bawa laki-laki seperti ini? Kamu pikir ini pantas, ha?”Binar terkesiap mendengar hardikan seperti itu. Ia membuka mulut hendak bicara dan membela diri, namun raut wajah Rachel yang penuh kemarahan membuatnya seketika menciut.“Willy baru saja meninggalkanmu dua hari, dan kelakuanmu sudah seperti ini? Kamu–”“Maaf, tapi saya adalah dokter kandungan di mana Binar periksa, bukannya ‘laki-laki seperti ini’ seperti yang anda katakan,” potong Gio dengan suara dingin. Pun sorot mata pria itu, yang sekarang sudah turun dari mobilnya dan berjalan memutar untuk membukakan pintu mobil di sisi yang lain. Membiarkan Binar keluar juga.Gio membantu Binar turun dari mobil, tanpa sama sekali mengindahkan kemarahan Rachel.“Binar pingsan di rumah sakit saat periksa sendirian kemarin. Saya heran sekali, mengapa tidak ada seorang pun yang mendampingi dia, padahal dia sedang hamil. Apakah anda tidak tahu betapa seriusnya kondisi Binar saat
**William Aarav tersenyum kecil saat memandang paper bag mungil berwarna pink yang ia letakkan di sampingnya, sementara ia sendiri berada di balik kemudi. Perjalanan pulang dari luar kota saat ini entah mengapa terasa lain, kendati ia sudah puluhan bahkan ratusan kali melakukan perjalanan bisnis seperti ini.Mungkin karena … ia merasa kali ini ada yang menunggunya di rumah. Pria rupawan itu jadi jauh lebih bersemangat.“Dia minta dibawakan makanan manis. Bukankah itu menggemaskan?” gumamnya sendirian. Sekali-sekali melirik paper bag berisi beberapa kudapan manis yang diminta sang istri kedua. "Padahal dia bisa saja meminta lebih dari itu, tapi dia nggak melakukannya."Rasanya ia tidak sabar memberikan benda itu kepada Binar, dan melihat bagaimana ekspresi senangnya nanti.“Aku harap dia baik-baik saja di rumah. Ini pertama kalinya aku meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama sendirian. Walaupun hubungannya dengan Rachel sepertinya baik-baik saja, tapi tetap saja aku khawatir.”Me
**“Siapa yang mengaku dirinya dokter, Binar?”Hati Binar benar-benar mencelos mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk dan meremas-remas jemarinya dengan gelisah. Iris hitamnya berkejaran ke sana kemari, mencoba memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang suami.“Binar, kamu nggak dengar aku tanya apa?”Perempuan dua puluh lima tahun itu tersentak kaget begitu mendapat pertanyaan dengan nada agak keras. Ia kian bergeming ketakutan karenanya.“Binar, jawab!”“Itu … Mas Gio.” Terjawab juga, akhirnya. “Mas Gio yang waktu itu bertemu dengan kita malam-malam di supermarket.”Kerutan dalam menghiasi dahi William. Sekelebat ingatan menyapa benaknya, membuatnya membentuk seraut wajah dalam ingatan. Laki-laki yang menyapa istri keduanya dengan ramah malam itu.“Bagaimana bisa kamu bertemu dengan dia, ha?”“I-itu … Mas Gio adalah dokter yang menggantikan Dokter Ardi. Dokter Ardi pulang lebih cepat karena nggak enak badan, Tuan.”“Dia dokter?”“Saya juga baru tahu kemarin.”“Dan kenapa
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang