**“Kenapa kamu nggak menghubungi suami kamu saja, Binar? Aku yakin dia pasti nggak akan keberatan menunda perjalanan bisnisnya. Suami mana memangnya yang nggak khawatir kalau lihat keadaan istrinya seperti ini?” Setelah beberapa saat waktu berlalu, Gio berujar menyarankan. Pria itu masih setia menunggui Binar yang terbaring di atas ranjang rawat dan belum diperbolehkan pulang.“Aku hanya nggak mau ngerepotin dia, Mas.”“Kalau sudah masalah seperti ini, apakah masih bisa disebut ngerepotin? Ini masalah bukan main-main, lho.”Binar hanya mengulum senyum. Dari dulu, pria di hadapannya ini tidak pernah berubah, selalu baik dan perhatian. Itulah mengapa Binar sempat menaruh hati kepadanya, sekalipun rasa itu tidak pernah bersambut. Kemudian, pintu ruangan perlahan terkuak, membuat dua orang yang berada di dalamnya menoleh. Binar mengangkat alis saat melihat pria setengah baya, supir pribadinya, masuk membawa wajah bimbang.“Ada apa, Pak?” tanya Binar heran.“Mm … itu Nyonya, Nyonya Rach
**“Kamu semalam menghilang entah ke mana, dan saat pulang malah bawa laki-laki seperti ini? Kamu pikir ini pantas, ha?”Binar terkesiap mendengar hardikan seperti itu. Ia membuka mulut hendak bicara dan membela diri, namun raut wajah Rachel yang penuh kemarahan membuatnya seketika menciut.“Willy baru saja meninggalkanmu dua hari, dan kelakuanmu sudah seperti ini? Kamu–”“Maaf, tapi saya adalah dokter kandungan di mana Binar periksa, bukannya ‘laki-laki seperti ini’ seperti yang anda katakan,” potong Gio dengan suara dingin. Pun sorot mata pria itu, yang sekarang sudah turun dari mobilnya dan berjalan memutar untuk membukakan pintu mobil di sisi yang lain. Membiarkan Binar keluar juga.Gio membantu Binar turun dari mobil, tanpa sama sekali mengindahkan kemarahan Rachel.“Binar pingsan di rumah sakit saat periksa sendirian kemarin. Saya heran sekali, mengapa tidak ada seorang pun yang mendampingi dia, padahal dia sedang hamil. Apakah anda tidak tahu betapa seriusnya kondisi Binar saat
**William Aarav tersenyum kecil saat memandang paper bag mungil berwarna pink yang ia letakkan di sampingnya, sementara ia sendiri berada di balik kemudi. Perjalanan pulang dari luar kota saat ini entah mengapa terasa lain, kendati ia sudah puluhan bahkan ratusan kali melakukan perjalanan bisnis seperti ini.Mungkin karena … ia merasa kali ini ada yang menunggunya di rumah. Pria rupawan itu jadi jauh lebih bersemangat.“Dia minta dibawakan makanan manis. Bukankah itu menggemaskan?” gumamnya sendirian. Sekali-sekali melirik paper bag berisi beberapa kudapan manis yang diminta sang istri kedua. "Padahal dia bisa saja meminta lebih dari itu, tapi dia nggak melakukannya."Rasanya ia tidak sabar memberikan benda itu kepada Binar, dan melihat bagaimana ekspresi senangnya nanti.“Aku harap dia baik-baik saja di rumah. Ini pertama kalinya aku meninggalkannya dalam waktu yang cukup lama sendirian. Walaupun hubungannya dengan Rachel sepertinya baik-baik saja, tapi tetap saja aku khawatir.”Me
**“Siapa yang mengaku dirinya dokter, Binar?”Hati Binar benar-benar mencelos mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk dan meremas-remas jemarinya dengan gelisah. Iris hitamnya berkejaran ke sana kemari, mencoba memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang suami.“Binar, kamu nggak dengar aku tanya apa?”Perempuan dua puluh lima tahun itu tersentak kaget begitu mendapat pertanyaan dengan nada agak keras. Ia kian bergeming ketakutan karenanya.“Binar, jawab!”“Itu … Mas Gio.” Terjawab juga, akhirnya. “Mas Gio yang waktu itu bertemu dengan kita malam-malam di supermarket.”Kerutan dalam menghiasi dahi William. Sekelebat ingatan menyapa benaknya, membuatnya membentuk seraut wajah dalam ingatan. Laki-laki yang menyapa istri keduanya dengan ramah malam itu.“Bagaimana bisa kamu bertemu dengan dia, ha?”“I-itu … Mas Gio adalah dokter yang menggantikan Dokter Ardi. Dokter Ardi pulang lebih cepat karena nggak enak badan, Tuan.”“Dia dokter?”“Saya juga baru tahu kemarin.”“Dan kenapa
**‘Binar, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu baik-baik saja? Kamu nggak datang dalam jadwal check-up rutin kemarin.’Untuk kesekian kalinya, Binar mengabaikan pesan masuk di ponselnya dari nomor yang cukup sering menghubunginya belakangan ini. Dengan tidak nyaman perempuan itu memilih opsi hapus pada pesan yang sengaja tidak ia baca, kemudian berpura-pura tidak pernah menerimanya.Beberapa minggu berlalu, dan Gio sepertinya semakin gencar menunjukkan perhatian kepada perempuan itu. Sekalipun Binar selalu berusaha menampik dan sengaja tidak membalas, tapi usaha dokter muda itu gigih sekali.“Maaf, Mas Gio. Tapi untuk saat ini, aku nggak memiliki kapasitas untuk menjalin hubungan dengan siapapun,” tuturnya lirih. “Meskipun pada akhirnya ini akan berakhir, tapi saat ini aku adalah istri sah Tuan William. Aku nggak mau mengkhianati dia.”Binar ragu-ragu menekan pilihan blokir atau tidak pada nomor Gio itu, sebelum akhirnya memilih membiarkannya saja. Sepertinya agak berlebihan jika ia memi
**PRANG!William dan Binar yang sedang berada di dalam kamar sontak menoleh kala suara keras terdengar dari arah luar. Kedua orang itu terperanjat saat mendapati Rachel duduk bersimpuh di atas lantai sembari memegangi kepalanya. Serpihan kaca bekas pecahan gelas tampak berserakan di sekitarnya.“Mbak Rachel!” seru Binar kaget. “Mbak Rachel nggak apa-apa? Astaga, gelasnya pecah!”“Rachel! Astaga!” William terburu-buru beranjak mendekati sang istri pertama. Ia meraih bahu perempuan itu dan membantunya berdiri, menyingkir dari serpihan kaca. “Ada apa, Rachel?”“Kepalaku pusing,” desis sang nyonya rumah dengan dramatis, sembari memejamkan mata. “Tolong, Willy ….”“Kenapa tiba-tiba begini?”“Aku nggak tahu, kepalaku tiba-tiba saja pusing. Rasanya aku mau pingsan.”William sigap mengangkat tubuh istri pertamanya dan membawanya naik ke lantai atas. Tanpa menoleh sama sekali kepada Binar yang berdiri dengan cemas di belakangnya. Perempuan itu terdiam, menatap nanar kepada dua orang yang seka
**“Apakah kamu nggak enak badan atau sesuatu? Kenapa kamu diam saja, Binar?” William bertanya dengan dahi berkerut saat keduanya sudah berada di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Saya baik-baik saja.” Binar menjawab pendek.“Tapi kamu nggak kelihatan seperti itu.”“Nggak apa-apa, Tuan. Mungkin saya hanya agak lelah.”Di luar dugaan, setelah Binar berujar demikian, William lalu menepikan mobilnya ke bahu jalan dan menghentikannya di sana. Membuat yang lebih muda heran dan sedikit khawatir. Jangan-jangan pria rupawan itu akan menurunkannya begitu saja di pinggir jalan karena ia cemberut sejak tadi. Sungguh kekhawatiran yang konyol.“Tuan, kenapa kita berhenti?”“Sudah aku katakan, kamu nggak kelihatan seperti seseorang yang baik-baik saja.”Binar mengalihkan pandang kepada pria di sampingnya itu. Namun belum sempat ia mengucap kata dan bertanya apa maksud sang suami, pria itu sudah lebih dulu melepas seatbelt, kemudian mendekat dan menarik Binar dalam pelukan.Membuat
**Binar menatap dengan sedih mobil putih yang meluncur menjauhi halaman rumah. Ia menghela napas panjang, lantas menyingkir dari ambang pintu depan dengan nampan yang masih berada di tangan. Sebelumnya, perempuan itu lagi-lagi berinisiatif membawakan sarapan untuk Rachel. Kebetulan sang nyonya rumah sedang berada di kursi beranda depan, tengah bersiap-siap berangkat bekerja. Maka Binar berpikir ingin membawakan roti panggang dan teh untuknya. Namun apa yang terjadi, bukannya menerima, perempuan cantik itu justru berteriak kepada Binar, mengatakan bahwa ia tidak bisa sembarangan makan.“Berapa kali aku katakan kepadamu, tubuhku adalah investasiku! Aku harus menjaganya baik-baik! Kenapa nggak ngerti-ngerti juga?” Rachel berteriak demikian sembari melangkah pergi.“Aku hanya nggak ingin Mbak Rachel telat makan,” desahnya sembari membawa kembali nampan sarapannya dengan putus asa.Di tengah jalan, ia berpapasan dengan sang tuan.“Binar? Mau dibawa ke mana itu?”“Oh, ini ….” Sedikit gugup