**“Siapa yang mengaku dirinya dokter, Binar?”Hati Binar benar-benar mencelos mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk dan meremas-remas jemarinya dengan gelisah. Iris hitamnya berkejaran ke sana kemari, mencoba memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang suami.“Binar, kamu nggak dengar aku tanya apa?”Perempuan dua puluh lima tahun itu tersentak kaget begitu mendapat pertanyaan dengan nada agak keras. Ia kian bergeming ketakutan karenanya.“Binar, jawab!”“Itu … Mas Gio.” Terjawab juga, akhirnya. “Mas Gio yang waktu itu bertemu dengan kita malam-malam di supermarket.”Kerutan dalam menghiasi dahi William. Sekelebat ingatan menyapa benaknya, membuatnya membentuk seraut wajah dalam ingatan. Laki-laki yang menyapa istri keduanya dengan ramah malam itu.“Bagaimana bisa kamu bertemu dengan dia, ha?”“I-itu … Mas Gio adalah dokter yang menggantikan Dokter Ardi. Dokter Ardi pulang lebih cepat karena nggak enak badan, Tuan.”“Dia dokter?”“Saya juga baru tahu kemarin.”“Dan kenapa
**‘Binar, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu baik-baik saja? Kamu nggak datang dalam jadwal check-up rutin kemarin.’Untuk kesekian kalinya, Binar mengabaikan pesan masuk di ponselnya dari nomor yang cukup sering menghubunginya belakangan ini. Dengan tidak nyaman perempuan itu memilih opsi hapus pada pesan yang sengaja tidak ia baca, kemudian berpura-pura tidak pernah menerimanya.Beberapa minggu berlalu, dan Gio sepertinya semakin gencar menunjukkan perhatian kepada perempuan itu. Sekalipun Binar selalu berusaha menampik dan sengaja tidak membalas, tapi usaha dokter muda itu gigih sekali.“Maaf, Mas Gio. Tapi untuk saat ini, aku nggak memiliki kapasitas untuk menjalin hubungan dengan siapapun,” tuturnya lirih. “Meskipun pada akhirnya ini akan berakhir, tapi saat ini aku adalah istri sah Tuan William. Aku nggak mau mengkhianati dia.”Binar ragu-ragu menekan pilihan blokir atau tidak pada nomor Gio itu, sebelum akhirnya memilih membiarkannya saja. Sepertinya agak berlebihan jika ia memi
**PRANG!William dan Binar yang sedang berada di dalam kamar sontak menoleh kala suara keras terdengar dari arah luar. Kedua orang itu terperanjat saat mendapati Rachel duduk bersimpuh di atas lantai sembari memegangi kepalanya. Serpihan kaca bekas pecahan gelas tampak berserakan di sekitarnya.“Mbak Rachel!” seru Binar kaget. “Mbak Rachel nggak apa-apa? Astaga, gelasnya pecah!”“Rachel! Astaga!” William terburu-buru beranjak mendekati sang istri pertama. Ia meraih bahu perempuan itu dan membantunya berdiri, menyingkir dari serpihan kaca. “Ada apa, Rachel?”“Kepalaku pusing,” desis sang nyonya rumah dengan dramatis, sembari memejamkan mata. “Tolong, Willy ….”“Kenapa tiba-tiba begini?”“Aku nggak tahu, kepalaku tiba-tiba saja pusing. Rasanya aku mau pingsan.”William sigap mengangkat tubuh istri pertamanya dan membawanya naik ke lantai atas. Tanpa menoleh sama sekali kepada Binar yang berdiri dengan cemas di belakangnya. Perempuan itu terdiam, menatap nanar kepada dua orang yang seka
**“Apakah kamu nggak enak badan atau sesuatu? Kenapa kamu diam saja, Binar?” William bertanya dengan dahi berkerut saat keduanya sudah berada di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Saya baik-baik saja.” Binar menjawab pendek.“Tapi kamu nggak kelihatan seperti itu.”“Nggak apa-apa, Tuan. Mungkin saya hanya agak lelah.”Di luar dugaan, setelah Binar berujar demikian, William lalu menepikan mobilnya ke bahu jalan dan menghentikannya di sana. Membuat yang lebih muda heran dan sedikit khawatir. Jangan-jangan pria rupawan itu akan menurunkannya begitu saja di pinggir jalan karena ia cemberut sejak tadi. Sungguh kekhawatiran yang konyol.“Tuan, kenapa kita berhenti?”“Sudah aku katakan, kamu nggak kelihatan seperti seseorang yang baik-baik saja.”Binar mengalihkan pandang kepada pria di sampingnya itu. Namun belum sempat ia mengucap kata dan bertanya apa maksud sang suami, pria itu sudah lebih dulu melepas seatbelt, kemudian mendekat dan menarik Binar dalam pelukan.Membuat
**Binar menatap dengan sedih mobil putih yang meluncur menjauhi halaman rumah. Ia menghela napas panjang, lantas menyingkir dari ambang pintu depan dengan nampan yang masih berada di tangan. Sebelumnya, perempuan itu lagi-lagi berinisiatif membawakan sarapan untuk Rachel. Kebetulan sang nyonya rumah sedang berada di kursi beranda depan, tengah bersiap-siap berangkat bekerja. Maka Binar berpikir ingin membawakan roti panggang dan teh untuknya. Namun apa yang terjadi, bukannya menerima, perempuan cantik itu justru berteriak kepada Binar, mengatakan bahwa ia tidak bisa sembarangan makan.“Berapa kali aku katakan kepadamu, tubuhku adalah investasiku! Aku harus menjaganya baik-baik! Kenapa nggak ngerti-ngerti juga?” Rachel berteriak demikian sembari melangkah pergi.“Aku hanya nggak ingin Mbak Rachel telat makan,” desahnya sembari membawa kembali nampan sarapannya dengan putus asa.Di tengah jalan, ia berpapasan dengan sang tuan.“Binar? Mau dibawa ke mana itu?”“Oh, ini ….” Sedikit gugup
**“Ini untukmu, Binar.”Kedua manik hitam Binar seketika melebar kaget saat William meletakkan sebuah kotak mungil di atas meja di hadapannya. Binar yang sedang membaca buku sore itu segera menutup dan meletakkan novelnya, lantas beralih kepada benda yang barusan ditinggalkan sang tuan. Memandanginya dengan excited.“Tuan, apa ini?”“Coba kamu buka sendiri.”Binar mengambil kotak beludru berwarna hitam itu, kemudian membukanya. Untuk kedua kali kedua netranya membola. “Ini anting? Oh, ini cantik sekali!”William tersenyum ketika melihat sang istri tampak senang dengan benda pemberiannya. Itu adalah sepasang anting yang indah dengan detail mutiara putih nan berkilauan. William pikir anting dengan model sederhana itu akan cocok dengan pembawaan Binar yang sederhana pula. Meski tentu saja, harganya sangat amat tidak sederhana.“Ini untuk saya, Tuan? Tapi kenapa?”“Karena aku lihat kamu nggak pakai anting.”Binar tersipu mendengar penuturan suaminya. Tidak mengira bahwa pria itu akan mem
**William membukakan pintu untuk Binar dan menunggu hingga perempuan itu duduk dengan baik di tempatnya sebelum menutup kembali pintu mobilnya. Hanya hal kecil, namun entah mengapa Binar merasa tersentuh. Pasalnya, perhatian kecil itu terasa tulus sekali.Ia mengalihkan pandang dari sang suami yang sudah bersiap di balik kemudi, kemudian. Menyembunyikan rona merah yang sama sekali tidak mau pergi dari wajahnya sejak pria itu mengetuk pintu kamarnya beberapa saat yang lalu.“Kamu nggak masalah dengan tujuan kita kan, Binar?” tanya William sementara menginjak pedal gas hingga SUV hitamnya melaju meninggalkan halaman rumah.“Bukankah kita mau makan malam, Tuan? Memangnya kita ada tujuan lain?”“Maksudku, kamu nggak masalah kan, kita makan malam di mana?”“Oh, itu ….” Lagi-lagi Binar tersipu. “Iya, saya nggak masalah, Tuan.”William tersenyum puas. Tanpa pertanyaan lagi, ia mengarahkan mobilnya untuk menyusuri jalanan malam yang agak ramai. Binar benar-benar tidak menanyakan tujuan merek
**Rahang William seketika mengeras ketika mendengar pengakuan Gio. Sepasang alis presisi milik pria itu bertaut, dengan sorot netra tajam mengarah kepada dokter muda nan tampan di hadapannya.“Kenapa Tuan William? Anda kelihatan kaget sekali.” Nah, Gio sendiri justru melontarkan kata-kata yang memperkeruh keadaan. “Saya nggak mengatakan sesuatu yang salah, kok. Saya memang orang yang dekat dengan Binar.”“Ya terlepas dengan apakah anda ini orang yang dekat dengan Binar atau nggak, tapi saat ini Binar adalah istri saya. Apakah pantas mengatakan sesuatu seperti itu kepada saya, yang adalah suaminya?”“Ah, anda mengakui bahwa anda suaminya? Saya pikir anda hanya menjadi suaminya untuk sebab-sebab tertentu.”“Apa maksudnya itu?”Gio kembali melayangkan seringai, membuat William sebal sekali. Presdir Diamond Group itu masih melayangkan pandangan tidak bersahabat hingga beberapa saat kemudian. Ia sudah akan menanyakan lagi apa maksud Gio berkata seperti itu, sampai ia tidak sadar bahwa san
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang