**William membukakan pintu untuk Binar dan menunggu hingga perempuan itu duduk dengan baik di tempatnya sebelum menutup kembali pintu mobilnya. Hanya hal kecil, namun entah mengapa Binar merasa tersentuh. Pasalnya, perhatian kecil itu terasa tulus sekali.Ia mengalihkan pandang dari sang suami yang sudah bersiap di balik kemudi, kemudian. Menyembunyikan rona merah yang sama sekali tidak mau pergi dari wajahnya sejak pria itu mengetuk pintu kamarnya beberapa saat yang lalu.“Kamu nggak masalah dengan tujuan kita kan, Binar?” tanya William sementara menginjak pedal gas hingga SUV hitamnya melaju meninggalkan halaman rumah.“Bukankah kita mau makan malam, Tuan? Memangnya kita ada tujuan lain?”“Maksudku, kamu nggak masalah kan, kita makan malam di mana?”“Oh, itu ….” Lagi-lagi Binar tersipu. “Iya, saya nggak masalah, Tuan.”William tersenyum puas. Tanpa pertanyaan lagi, ia mengarahkan mobilnya untuk menyusuri jalanan malam yang agak ramai. Binar benar-benar tidak menanyakan tujuan merek
**Rahang William seketika mengeras ketika mendengar pengakuan Gio. Sepasang alis presisi milik pria itu bertaut, dengan sorot netra tajam mengarah kepada dokter muda nan tampan di hadapannya.“Kenapa Tuan William? Anda kelihatan kaget sekali.” Nah, Gio sendiri justru melontarkan kata-kata yang memperkeruh keadaan. “Saya nggak mengatakan sesuatu yang salah, kok. Saya memang orang yang dekat dengan Binar.”“Ya terlepas dengan apakah anda ini orang yang dekat dengan Binar atau nggak, tapi saat ini Binar adalah istri saya. Apakah pantas mengatakan sesuatu seperti itu kepada saya, yang adalah suaminya?”“Ah, anda mengakui bahwa anda suaminya? Saya pikir anda hanya menjadi suaminya untuk sebab-sebab tertentu.”“Apa maksudnya itu?”Gio kembali melayangkan seringai, membuat William sebal sekali. Presdir Diamond Group itu masih melayangkan pandangan tidak bersahabat hingga beberapa saat kemudian. Ia sudah akan menanyakan lagi apa maksud Gio berkata seperti itu, sampai ia tidak sadar bahwa san
**“Selamat pagi, Binar.”Kedua netra Binar membola seketika. Ia sangat terkejut sebab ketika membuka mata pagi ini, hal pertama yang ia lihat adalah senyum William Aarav yang sanggup membuat hatinya meleleh. Binar sungguh berpikir dirinya masih bermimpi.“T-Tuan? Apa yang Tuan lakukan di dalam kamar saya?”“Hm? Apa kamu lupa? Kita tidur bersama semalam.”Tanpa peringatan apapun, kedua pipi Binar seketika bersemu merah. Perempuan itu reflek menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga sebatas dada. Membuat heran satu yang lain.“Kenapa kamu tutupi segala? Aku juga sudah tahu semuanya, dari ujung rambut hingga ujung kakimu.”Oh, sial sekali. Binar merasa wajahnya benar-benar terbakar. Ia berharap bisa membenamkan diri ke dalam ranjangnya dan tidak muncul lagi hingga minggu depan. Nah, namun ternyata sang tuan justru terkekeh.“Bangunlah, jangan malu-malu begitu. Cuci muka dan sarapan, hm? Aku akan menunggumu di ruang tengah.”“Apakah ini sudah siang, Tuan?”“Setengah sembilan pagi. Kam
**Binar bermaksud menarik dirinya dan menjauh dari William setelah melihat dan mendengar betapa murka sang nyonya rumah saat itu, namun sang suami menahan tubuhnya. Membiarkannya tetap dalam pelukan, meskipun di luar kamar, kini Rachel menatapnya dengan mata terbelalak penuh emosi.“Willy? Kenapa kamu memeluk dia seperti itu? Untuk apa kamu lakukan itu?” Wanita jelita itu terdengar seperti nyaris menangis saat mengatakannya. Ia menghentakkan kaki dengan tidak sabar.“Binar sedang sedih, Rachel. Hanya pelukan nggak ada salahnya, kan?”“Nggak ada salahnya, kamu bilang? Kamu memeluk perempuan lain di depan kedua mataku, dan kamu pikir itu nggak salah?”William sudah hampir kembali melayangkan argumen, namun Binar berhasil menarik dirinya menjauh terlebih dahulu.“Saya nggak apa-apa, Tuan. Tuan bisa meninggalkan saya sekarang–”“Nggak usah sok suci, kamu! Jujur saja, kamu juga senang kan mencuri kesempatan dalam kesempitan seperti itu? Aku tahu, kamu itu perempuan seperti apa!”Binar ter
**Rachel membatalkan niatnya untuk menuju ruang tengah rumah di mana meja makan berada siang ini, setelah ia melihat Binar juga berada di tempat yang sama. Perempuan itu sengaja membalikkan badan tepat di hadapan yang lebih muda, sehingga tampak jelas bahwa ia menghindar. Dan karenanya, Binar merasa begitu bersalah.“Memang itu tujuanku. Biar kamu tahu diri.” Rachel menyeringai di balik bahu sembari melangkah menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. “Aku sungguh muak dengan keberadaanmu di rumah ini.”Perempuan itu lantas meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. Senyum asimetris kembali tersemat menghiasi bibirnya ketika ia melihat pesan masuk di sana.“Kalau ada uang saja mereka bisa bergerak cepat,” gerutunya sementara ia membuka beberapa foto yang dikirimkan oleh orang-orang yang ia bayar untuk ini. Seketika atensinya teralihkan kepada sosok di dalam layar ponsel.“Wah, dia memang salah satu dokter di rumah sakit kepercayaan William.” Nada suara itu mengandung keka
**Gio terbelalak setelah mendengar penuturan Rachel yang blak-blakan tanpa ditutup-tutupi. Dan lebih dari itu, apa yang perempuan itu sudah katakan? Ia bilang Binar merusak rumah tangganya?“Sebenarnya ini bukanlah urusan saya. Tapi sependek yang saya tahu, kalian berdua sudah setuju terkait keputusan William menikahi Binar itu? Kenapa sekarang anda malah menuduh Binar merusak rumah tangga? Aneh sekali.”Rachel merasa informasi terkait Gio yang ia dapatkan dari orang kepercayaannya memang akurat, saat ia melihat bagaimana raut wajah pria ini sekarang. Gio terlihat tidak terima saat Rachel mengatakan hal negatif tentang Binar kepadanya. Gio memang sudah cukup lama menaruh hati kepada istri kedua William Aarav tersebut.Namun, pria rupawan itu belum sempat bergerak terlalu jauh, sebab beberapa waktu terakhir ini Binar menghilang tanpa kabar.Pria itu menggeleng, kemudian. “Maaf, tapi sebenarnya masalah rumah tangga kalian bukanlah urusan saya. Saya permisi.”“Sayang sekali. Kalau mema
**Binar menoleh kepada jam yang menggantung pada dinding ruang tengah. Sekarang masih pukul setengah sembilan pagi, yang berarti ia masih punya waktu sangat panjang sampai nanti malam ketika William kembali pulang ke rumah. “Apakah aku harus menemui Mas Gio, terkait sama permintaannya tempo hari?” Perempuan itu menimbang-nimbang kemungkinan. “Bagaimana kalau Tuan William tahu dan akhirnya memarahiku? Dia sudah pernah bilang kalau aku nggak boleh ketemu sama laki-laki lain. Nah, tapi bagaimana juga kalau Mas Gio mau menyampaikan sesuatu yang penting tentang kehamilanku?”Binar teringat pesan dari Dokter Ardi beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa sang dokter belakangan sedang dalam keadaan kesehatan yang kurang baik. Jadi kemungkinan jadwal check up bulanan akan sering berubah.“Mungkin Dokter Ardi sudah melimpahkan beberapa tanggung jawab sama Mas Gio. Yah, itu bisa saja, kan? Mereka kan rekan sejawat.”Binar berusaha menanamkan pemikiran positif dalam benaknya. Ia menganggu
**Apa alasan Binar selalu menolak Gio?Perempuan itu menggeleng sembari berusaha tersenyum. Benaknya mendadak dipenuhi bayangan tentang sang adik tiri, Mutia.Mutia yang jelas-jelas juga menyukai Gio, semenjak mereka bertiga beranjak remaja. Seperti sebuah keharusan dalam keluarganya, Binar wajib mengalah atas segala sesuatu kepada Mutia.“Nggak ada, Mas. Aku menolakmu karena aku nggak memiliki rasa kepadamu. Bukankah jahat kalau aku nggak suka denganmu, tapi aku paksakan menerima pernyataan kamu?”“Nggak, kamu bohong! Aku sangat tahu, kamu juga memiliki perasaan yang sama kepadaku.” Gio bersikeras. Wajahnya terlihat keruh ketika menatap lekat kepada perempuan di hadapannya. “Aku mengenalmu, Binar. Aku tahu kamu memiliki perasaan kepadaku sejak kita masih remaja dulu. Aku nggak mungkin salah.”“Baiklah, baiklah.” Binar memilih mengalah untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, pada akhirnya. “Katakanlah aku memang memiliki perasaan sama kamu. Tapi itu sudah bertahun-tahun yan