**Binar menoleh kepada jam yang menggantung pada dinding ruang tengah. Sekarang masih pukul setengah sembilan pagi, yang berarti ia masih punya waktu sangat panjang sampai nanti malam ketika William kembali pulang ke rumah. “Apakah aku harus menemui Mas Gio, terkait sama permintaannya tempo hari?” Perempuan itu menimbang-nimbang kemungkinan. “Bagaimana kalau Tuan William tahu dan akhirnya memarahiku? Dia sudah pernah bilang kalau aku nggak boleh ketemu sama laki-laki lain. Nah, tapi bagaimana juga kalau Mas Gio mau menyampaikan sesuatu yang penting tentang kehamilanku?”Binar teringat pesan dari Dokter Ardi beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa sang dokter belakangan sedang dalam keadaan kesehatan yang kurang baik. Jadi kemungkinan jadwal check up bulanan akan sering berubah.“Mungkin Dokter Ardi sudah melimpahkan beberapa tanggung jawab sama Mas Gio. Yah, itu bisa saja, kan? Mereka kan rekan sejawat.”Binar berusaha menanamkan pemikiran positif dalam benaknya. Ia menganggu
**Apa alasan Binar selalu menolak Gio?Perempuan itu menggeleng sembari berusaha tersenyum. Benaknya mendadak dipenuhi bayangan tentang sang adik tiri, Mutia.Mutia yang jelas-jelas juga menyukai Gio, semenjak mereka bertiga beranjak remaja. Seperti sebuah keharusan dalam keluarganya, Binar wajib mengalah atas segala sesuatu kepada Mutia.“Nggak ada, Mas. Aku menolakmu karena aku nggak memiliki rasa kepadamu. Bukankah jahat kalau aku nggak suka denganmu, tapi aku paksakan menerima pernyataan kamu?”“Nggak, kamu bohong! Aku sangat tahu, kamu juga memiliki perasaan yang sama kepadaku.” Gio bersikeras. Wajahnya terlihat keruh ketika menatap lekat kepada perempuan di hadapannya. “Aku mengenalmu, Binar. Aku tahu kamu memiliki perasaan kepadaku sejak kita masih remaja dulu. Aku nggak mungkin salah.”“Baiklah, baiklah.” Binar memilih mengalah untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, pada akhirnya. “Katakanlah aku memang memiliki perasaan sama kamu. Tapi itu sudah bertahun-tahun yan
**Waktu sudah hampir mendekati jam makan siang ketika William baru sempat menengok ponselnya. Meeting bersama beberapa kolega serta rencana pembangunan hotel baru, membuat waktunya tersita sedemikian rupa seharian ini.Pria itu sekarang duduk bersandar di kursi kerjanya seraya menggulir layar ponsel. hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah menghubungi sang istri kedua.Binar, yang sudah ia rindukan.“Apa yang sedang dia lakukan di rumah?” gumamnya sembari menekan tombol panggil pada layar ponsel. Namun kening presiden direktur Diamond Group itu berkerut saat hanya beberapa kali dengung nada sambung yang terdengar dari seberang sana.“Kenapa dia nggak angkat teleponku? Tumben banget, biasanya dia nggak pernah lama-lama mengangkat telepon.”Setelah mencoba beberapa kali dan hasilnya tetap nihil, pria itu akhirnya menyerah. “Mungkin saja dia lagi tidur. Pagi tadi kan aku memang suruh dia istirahat di rumah saja.”Senyum tersungging pada bibir William saat memikirkan betapa Bina
**William terbelalak di ambang pintu, terlihat tidak mempercayai pandangannya sendiri atas apa yang baru saja dilihatnya. Binar sedang berpelukan dengan Gio di dalam ruangan itu. Lalu ketika pintu menjeblak terbuka dengan tiba-tiba, kedua orang itu tampak saling menjauhkan diri dengan sangat gugup. “Binar!” William menyebut dengan kemarahan dingin pada nada suaranya. “Aku menyuruhmu istirahat di rumah hari ini. Bagaimana bisa kamu berada di sini, bersama laki-laki itu? Jadi seperti ini yang kamu lakukan saat aku sedang tidak berada di rumah?”“T-Tuan William … saya tidak–”“Tidak apa? Tidak mendengarkan kata-kataku?”Binar terlihat nyaris menangis. Ia menggeleng, berusaha turun dari ranjang untuk menyusul sang suami yang masih diam di ambang pintu ruangan, namun Gio menghalanginya.“Jangan bangun dulu, Binar. Tekanan darah kamu sangat rendah, nanti kamu bisa pingsan lagi.”“Tapi, Tuan William–”“Mau apa?” Kembali William menyahut dengan ketus. “Alasan apa yang kamu mau katakan? Aku
**Apa lagi ini?William mengernyit sembari memandang sang istri pertama yang baru saja duduk di sampingnya. Ia tidak tahu bahwa Rachel juga sudah mengetahui masalah tentang Binar. Entah dari mana perempuan itu tahu.“Apa maksudmu? Ada apa dengan bayi yang dikandung BInar?” tanya William datar. Ia tidak bermaksud sengaja bersikap dingin, namun saat ini ia benar-benar sedang berada dalam mood yang buruk.“Dia memiliki hubungan dengan seorang laki-laki lain.”“Maksudmu Gio? Rekan kerja Dokter Ardi itu, kan?”Kedua manik gelap Rachel melebar segera. “Ternyata kamu sudah tahu? Seorang temanku yang memberitahu hal ini. Kebetulan dia adalah salah satu pasien Gio.”“Ya, aku sudah tahu. Mereka hanya kawan lama, kok.” William menjawab sambil lalu, kemudian. Ia tidak berniat untuk membahas masalah ini dengan Rachel, sebab kepalanya terasa pusing sekali. William tidak ingin mengingat apa yang sudah ia lihat di rumah sakit tadi.“Kamu yakin mereka hanya kawan lama?” Namun satu yang lain terus men
**William duduk berhadapan dengan Binar di dalam kamarnya. Sementara sang tuan memandang lurus ke arah istrinya, yang lebih muda menunduk dalam-dalam tanpa bisa mengucap sepatah kata pun.Sepasang suami istri itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya William menjemput Binar dari rumah sakit. Terlihat raut keruh pada wajah pria berusia tiga puluh lima tahun itu, namun kentara sekali ia berusaha menyembunyikannya.“Katakan padaku, bagaimana kamu bisa sampai di rumah sakit itu, Binar?” William membuka suara setelah beberapa saat keduanya hanya saling terdiam. “Aku menyuruh kamu istirahat seharian ini, kan? Kenapa kamu malah berakhir dirawat, terlebih-lebih lagi bersama laki-laki itu?”Binar mengangkat wajah pelan-pelan. Sepasang netra sendunya memandang takut-takut ke arah suaminya yang tampan. Ia bertekad akan bicara jujur saja meskipun rasanya hampir pingsan saking takutnya.“Ma-maafkan saya, Tuan. Saya nggak bermaksud melanggar kata-kata anda. Hanya saja … tadi … tadi ….”“Tad
**Kedua mata Binar melebar, dengan alarm tanda bahaya yang seketika berbunyi keras di dalam kepala. Perempuan itu menelan saliva, merasa takut namun entah bagaimana juga seperti tidak sabar menunggu apa yang akan suaminya lakukan selanjutnya.“Tu-Tuan, saya bilang ini masih sore. Dan ada Mbak Rachel di rumah, kan?”“Ck!”William bangkit dari tempat duduknya di hadapan Binar. Pada awalnya, Binar mengira sang tuan marah dan tidak jadi melanjutkan aktivitas mereka. Namun ternyata pria itu hanya berdiri untuk mengunci pintu kamar. Maka semakin ciut sajalah nyali Binar kini.“Sudah. Pintunya sudah terkunci, jadi nggak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi.”“Maksud saya–”Perempuan itu tidak punya waktu untuk beradu argumen. William sudah kembali datang dan meraihnya lagi ke dalam dekapan. Dalam waktu singkat saja, kamar yang rapi dan harum itu sudah dipenuhi suara decak basah dua bibir yang saling berpagutan.Binar merasa pusing. Entah hanya perasaannya saja, atau sang suami belakangan in
**Rachel hanya bisa menjawab pertanyaan suaminya dengan gelengan lemah. Air mata masih terus meluncur menuruni kedua pipinya, seiring isak yang kini kian keras. Pemandangan di hadapannya ini sungguh membuat dadanya sesak tak terkira.“Padahal aku ada di sini ….” Perempuan jelita itu bergumam tercekat. “Apakah kamu sama sekali nggak bisa menghargaiku sebagai seorang istri?”“Bukan beg–”“Setidaknya tunggulah sampai aku nggak ada di rumah. Apakah terlalu sulit untukmu menahannya? Sehebat itukah dia menggodamu?”Kali ini William yang tercekat. Harus ia akui, memang benar demikian. Ya, Binar memang semenggoda itu belakangan ini. Namun haruskah ia katakan itu kepada Rachel?“Maafkan aku. Aku sama sekali nggak bermaksud begitu.” Pria itu mendekati sang istri pertama. Bermaksud membujuknya agar tidak kian memperpanjang masalah ini.Namun sepertinya Rachel pikir masalah ini tidaklah sesederhana itu. Perempuan itu menolak uluran tangan prianya sebelum kemudian berlalu pergi dari sana, membawa
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang