**Apa lagi ini?William mengernyit sembari memandang sang istri pertama yang baru saja duduk di sampingnya. Ia tidak tahu bahwa Rachel juga sudah mengetahui masalah tentang Binar. Entah dari mana perempuan itu tahu.“Apa maksudmu? Ada apa dengan bayi yang dikandung BInar?” tanya William datar. Ia tidak bermaksud sengaja bersikap dingin, namun saat ini ia benar-benar sedang berada dalam mood yang buruk.“Dia memiliki hubungan dengan seorang laki-laki lain.”“Maksudmu Gio? Rekan kerja Dokter Ardi itu, kan?”Kedua manik gelap Rachel melebar segera. “Ternyata kamu sudah tahu? Seorang temanku yang memberitahu hal ini. Kebetulan dia adalah salah satu pasien Gio.”“Ya, aku sudah tahu. Mereka hanya kawan lama, kok.” William menjawab sambil lalu, kemudian. Ia tidak berniat untuk membahas masalah ini dengan Rachel, sebab kepalanya terasa pusing sekali. William tidak ingin mengingat apa yang sudah ia lihat di rumah sakit tadi.“Kamu yakin mereka hanya kawan lama?” Namun satu yang lain terus men
**William duduk berhadapan dengan Binar di dalam kamarnya. Sementara sang tuan memandang lurus ke arah istrinya, yang lebih muda menunduk dalam-dalam tanpa bisa mengucap sepatah kata pun.Sepasang suami istri itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya William menjemput Binar dari rumah sakit. Terlihat raut keruh pada wajah pria berusia tiga puluh lima tahun itu, namun kentara sekali ia berusaha menyembunyikannya.“Katakan padaku, bagaimana kamu bisa sampai di rumah sakit itu, Binar?” William membuka suara setelah beberapa saat keduanya hanya saling terdiam. “Aku menyuruh kamu istirahat seharian ini, kan? Kenapa kamu malah berakhir dirawat, terlebih-lebih lagi bersama laki-laki itu?”Binar mengangkat wajah pelan-pelan. Sepasang netra sendunya memandang takut-takut ke arah suaminya yang tampan. Ia bertekad akan bicara jujur saja meskipun rasanya hampir pingsan saking takutnya.“Ma-maafkan saya, Tuan. Saya nggak bermaksud melanggar kata-kata anda. Hanya saja … tadi … tadi ….”“Tad
**Kedua mata Binar melebar, dengan alarm tanda bahaya yang seketika berbunyi keras di dalam kepala. Perempuan itu menelan saliva, merasa takut namun entah bagaimana juga seperti tidak sabar menunggu apa yang akan suaminya lakukan selanjutnya.“Tu-Tuan, saya bilang ini masih sore. Dan ada Mbak Rachel di rumah, kan?”“Ck!”William bangkit dari tempat duduknya di hadapan Binar. Pada awalnya, Binar mengira sang tuan marah dan tidak jadi melanjutkan aktivitas mereka. Namun ternyata pria itu hanya berdiri untuk mengunci pintu kamar. Maka semakin ciut sajalah nyali Binar kini.“Sudah. Pintunya sudah terkunci, jadi nggak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi.”“Maksud saya–”Perempuan itu tidak punya waktu untuk beradu argumen. William sudah kembali datang dan meraihnya lagi ke dalam dekapan. Dalam waktu singkat saja, kamar yang rapi dan harum itu sudah dipenuhi suara decak basah dua bibir yang saling berpagutan.Binar merasa pusing. Entah hanya perasaannya saja, atau sang suami belakangan in
**Rachel hanya bisa menjawab pertanyaan suaminya dengan gelengan lemah. Air mata masih terus meluncur menuruni kedua pipinya, seiring isak yang kini kian keras. Pemandangan di hadapannya ini sungguh membuat dadanya sesak tak terkira.“Padahal aku ada di sini ….” Perempuan jelita itu bergumam tercekat. “Apakah kamu sama sekali nggak bisa menghargaiku sebagai seorang istri?”“Bukan beg–”“Setidaknya tunggulah sampai aku nggak ada di rumah. Apakah terlalu sulit untukmu menahannya? Sehebat itukah dia menggodamu?”Kali ini William yang tercekat. Harus ia akui, memang benar demikian. Ya, Binar memang semenggoda itu belakangan ini. Namun haruskah ia katakan itu kepada Rachel?“Maafkan aku. Aku sama sekali nggak bermaksud begitu.” Pria itu mendekati sang istri pertama. Bermaksud membujuknya agar tidak kian memperpanjang masalah ini.Namun sepertinya Rachel pikir masalah ini tidaklah sesederhana itu. Perempuan itu menolak uluran tangan prianya sebelum kemudian berlalu pergi dari sana, membawa
***Binar tetap saja tidak bisa tenang.Ia sudah meminta secangkir teh chamomile kepada maid dapur, tapi itu tidak berguna. Tetap saja, pikiran-pikiran buruk itu masih mengganggu benaknya hingga ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Padahal tubuhnya terasa lelah sekali.Saat ini, hari sudah beranjak malam. Beberapa saat yang lalu, Binar sempat mendengar suara mobil Rachel keluar dari garasi rumah, dan hingga kini belum kembali. Perempuan itu galau memutuskan haruskah menyusul William yang berada di lantai atas untuk memastikan keadaannya, ataukah menunggu pria itu turun saja.Tapi ini sudah berjam-jam dan William tidak turun juga. Binar benar-benar takut sesuatu terjadi kepada suaminya itu.“Apakah Tuan William tidur? Tapi dia kan nggak pernah tidur pada jam-jam segini. Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi antara dia sama Mbak Rachel tadi? Apakah mereka bertengkar?”Binar khawatir sekali. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya, sekali lagi bingung memutuskan apakah ia harus menemui
**William sedang berada di tengah-tengah anak tangga ketika ponsel dalam saku celananya berdering nyaring. Sebelumnya, ia hendak mengajak Binar makan malam bersama. Namun gangguan dari suara ponsel itu membuat langkahnya terpaksa terhenti.Ketika pria itu mengangkat panggilan masuk dari nomor tidak dikenal tersebut, kerutan halus mendadak menghiasi keningnya.“Apakah saya sedang berbicara dengan Tuan William Aarav?” Suara di seberang sana kedengaran formal. Mendadak saja perasaan William menjadi tidak nyaman karenanya.“Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?”“Tuan William, kami dari kepolisian resort kota.”Mendadak mencelos rasa hati William setelah mendengar hal tersebut. Selama beberapa saat ia hanya bisa tertegun di tengah anak tangga. Hingga kemudian saat ia sudah menemukan suaranya kembali, ia mendengar suaranya sendiri bertanya kepada seseorang di seberang yang mengaku dirinya polisi itu.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”“Tuan William, istri anda kecelakaan di daerah
**“Dokter!” William segera menyambut pria berjas putih yang masih berdiri di ambang pintu itu. Wajahnya cemas sekali. Ia berusaha mengintip ke dalam ruang UGD, namun sang dokter buru-buru menutup pintunya. “Apakah istri saya baik-baik saja, Dokter?”“Jadi anda suaminya?” Pria paruh baya itu menyipitkan mata, memandang William dengan raut tertarik. “Tuan William Aarav?”“Ya, saya.”“Istri anda hampir tidak bisa diselamatkan, Tuan.”William terhenyak kaget, pun Binar dan komandan kepolisian yang menyimak dari belakang.“Dokter, anda jangan bercanda!” Sang komandan kini turut merangsek maju sebab merasa ucapan dokter agak aneh. “Saya yang mengawal Nona Rachel sampai masuk ke ruang UGD. Beliau baik-baik saja tadi! Anda jangan membuat diagnosis palsu yang hanya akan memperkeruh keadaan, Dokter!”“Pak, tolong tenang–”“Dokter ini mengada-ada!”“Apakah anda tahu apa yang terjadi kepada pasien hanya dengan bermodalkan melihatnya saja? Apakah anda ini cenayang atau semacam itu?”Sang komandan
**Rachel memicingkan mata ke arah pintu ruang rawatnya yang baru saja tertutup. Ia mendesis, lantas mengusap air mata yang masih menyisakan jejak basah pada kedua pipinya.“Memuakkan,” sebutnya lirih. Ia berdecih, memalingkan wajah kemudian. “Aku nggak tahu kenapa harus melakukan ini hanya untuk mengemis perhatianmu, Willy. Sungguh, ini sangat memuakkan.”Perempuan cantik itu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, di samping brankarnya. Kemudian membuka aplikasi mobile banking dengan bibir masih menggerutu pula.“Begitu saja aku harus membayar sampai berjuta-juta rupiah. Dasar dokter gadungan! Anak balita saja tahu kalau aktingmu payah! Sialan!”Tidak lama kemudian, ponsel Rachel berdering. Ia kembali berdecak muak, namun tetap mengangkat panggilan masuk itu.“Sudah aku transfer ke rekeningmu! Jumlahnya aku kurangi karena aktingmu payah sekali! Mereka semua hampir nggak percaya kalau aku terluka parah!”“Ini tidak sesuai kesepakatan–”“Persetan kesepakatan! Kerjamu mengecewakan