**Rachel memicingkan mata ke arah pintu ruang rawatnya yang baru saja tertutup. Ia mendesis, lantas mengusap air mata yang masih menyisakan jejak basah pada kedua pipinya.“Memuakkan,” sebutnya lirih. Ia berdecih, memalingkan wajah kemudian. “Aku nggak tahu kenapa harus melakukan ini hanya untuk mengemis perhatianmu, Willy. Sungguh, ini sangat memuakkan.”Perempuan cantik itu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas, di samping brankarnya. Kemudian membuka aplikasi mobile banking dengan bibir masih menggerutu pula.“Begitu saja aku harus membayar sampai berjuta-juta rupiah. Dasar dokter gadungan! Anak balita saja tahu kalau aktingmu payah! Sialan!”Tidak lama kemudian, ponsel Rachel berdering. Ia kembali berdecak muak, namun tetap mengangkat panggilan masuk itu.“Sudah aku transfer ke rekeningmu! Jumlahnya aku kurangi karena aktingmu payah sekali! Mereka semua hampir nggak percaya kalau aku terluka parah!”“Ini tidak sesuai kesepakatan–”“Persetan kesepakatan! Kerjamu mengecewakan
**Binar tercekat. Tubuhnya terasa membeku dalam pelukan pria yang sudah mengambil hatinya itu. Ia ingin menyudahi semua ini dan mendorong William menjauh darinya. Namun yang terjadi adalah, tangannya justru bergerak memeluk balik pria itu.“Maafkan aku ….” William berbisik lirih dari balik bahu Binar.“Untuk apa anda minta maaf? Nggak ada yang salah di sini.”“Aku tetap harus minta maaf.” William mengeratkan pelukannya. Ia memejamkan mata sembari menghirup wangi tubuh yang belakangan seperti candu baginya itu.Selama beberapa saat keduanya tetap pada posisi demikian. Sama-sama tidak rela mengakhiri dekapan hangat itu, namun tak ada yang bisa mereka lakukan untuk mempertahankannya.“Sebaiknya anda pergi.” Binar akhirnya melepaskan diri seraya mendorong pelan dada William. “Mbak Rachel sendirian di rumah sakit, Tuan. Kasihan dia.”“Hm ….” William mengangguk kaku. “Apakah kamu baik-baik saja?”“Saya sangat baik-baik saja. Mbak Rachel yang harus Tuan khawatirkan, bukan saya. Sudah, anda
**“Mas Gio kenapa tertawa? Memangnya ada yang lucu?” Binar bertanya seraya mengerutkan dahi. Serius, tawa kecil itu di telinga Binar terdengar sangat mencurigakan.“Apa nggak boleh? Aku kan hanya tertawa.”“Tapi itu mencurigakan, tahu.”Gio tertawa lagi, namun kali ini nada suaranya terdengar berbeda. Jauh lebih ringan dan ceria, tidak sama dengan tawa sebelumnya. Pria itu kemudian berdehem pelan setelah mengakhiri tawanya. “Sebenarnya nggak baik tidur pada jam sekian.Tapi akan jauh lebih nggak baik kalau kamu kurang tidur. Makanya, sekarang kamu harus tidur, Binar. Tutup saja teleponnya, oke?”“Mas Gio nggak mau bertanya keadaan Mbak Rachel saat ini, kah?”“Hah?”Kerutan dalam kembali menghiasi dahi Binar saat lagi-lagi Gio tertawa di seberang sana.“Kenapa Mas Gio kedengaran senang sekali hari ini, sih? Dikit-dikit ketawa. Gimana aku nggak curiga kalau kamu seperti ini?”“Ya, karena aku memang senang sekali, bukan hanya kedengarannya saja.”“Kenapa senang sekali?”“Katamu si Rachel
**Gio lupa memperhitungkan bahwa akan ada William di rumah sakit tempat Rachel dirawat dan ia pasti bertemu dengan sang tuan. Dokter muda itu harus berdiam diri di balik koridor selama beberapa saat untuk menunggu kesempatan sang presdir meninggalkan istri pertamanya sendirian, sehingga ia bisa masuk.Ia tidak bisa meminta bantuan rekannya yang tadi menelepon, sebab tidak ingin masalah ini diketahui orang lain. Gio pikir, ini adalah urusan pribadinya saja.Maka dari itu, sang dokter harus menunggu selama kurang lebih sepuluh menit penuh untuk bisa menemui Rachel di dalam ruangannya. William terlihat keluar ruangan dengan terburu-buru sebelumnya. Pria itu tampaknya sedang menerima telepon.Maka, Gio segera mengenakan jas dokter yang sengaja ia bawa serta menutup wajah dengan masker sebelum masuk ke dalam ruang rawat VVIP di mana Rachel berada.Tidak ada yang curiga, sebab pada dasarnya Gio kan memang dokter. Yah, walau sebenarnya ia adalah dokter obgyn.“Dokter?” Rachel sedang duduk b
**“Jika kamu bisa membuat sebuah pernyataan untuk meyakinkan William bahwa bayi yang dikandung Binar bukanlah darah daging William, melainkan benihmu, maka aku bersumpah tidak akan pernah menyentuh Binar. Aku akan memberikan materi berupa apapun yang kamu butuhkan, serta menjamin keamananmu.”“Aku tidak butuh materi, sial!” Gio mendesis tak habis pikir. Bagaimana mungkin perempuan di seberang sana itu memiliki pemikiran sadis seperti itu. Membuat pernyataan palsu kepada William bahwa Binar sebenarnya mengandung anaknya? Bahkan pemikiran paling liar Gio sekalipun tidak pernah menyentuh ke arah sana.“Menurutku ini adalah sebuah langkah paling mudah untuk kamu bisa mendapatkan Binar,” lanjut Rachel. Ia mengabaikan sepenuhnya suara decak penolakan dari Gio. “Kamu kan dokter. Mudah saja bagimu untuk melakukan itu. Kamu dokter kandungan, jadi kamu masih menguasai konteksnya.”“Rachel, berhenti mengoceh omong kosong!”“Aku hanya menyumbang solusi. Kalau kau punya rencana lain untuk membuat
**Binar termangu di dalam kamarnya. Ia ingin sekali keluar dan melihat keadaan Rachel yang sepertinya baru saja pulang dari rumah sakit, namun tidak memiliki keberanian untuk itu.Perempuan itu hanya bisa berjalan hilir mudik di dalam kamarnya, menajamkan pendengaran dan menunggu William turun. “Haruskah aku keluar dan menemui Tuan William?” gumamnya seorang diri. “Tapi bagaimana kalau Mbak Rachel nggak mau ketemu sama aku? Aku benar-benar punya perasaan kalau Mbak Rachel nggak mau ngomong sama aku.”Binar tertunduk lesu. Merasa serba salah di dalam rumah ini. Satu sisi ia khawatir dan ingin mencoba memperbaiki hubungan dengan sang nyonya rumah. Namun di sisi lain, Binar tidak tahan jika ia harus menelan kekecewaan karena terus-terusan diabaikan.Nah, namun terus berdiam diri seperti itu, nyatanya juga tidak membantu apapun. Ia akhirnya memutuskan keluar kamar untuk memeriksa keadaan saja.Namun, yang ia temukan hanyalah para maid rumah yang sedang menyiapkan makan malam.“Apakah Tu
**William menepuk-nepuk pelan pundak Rachel. Ia melirik dari ekor mata, sang istri pertama sudah terlelap dalam pelukannya. Maka sebisa mungkin pria itu menggeser posisi tanpa mengusik tidur Rachel. Memastikan napas perempuan itu tetap teratur sampai ia sepenuhnya memisahkan diri.“Syukurlah.” William menghela napas lega kala Rachel sama sekali tidak terusik dan tetap memejamkan mata dengan damai. Pria rupawan itu lantas beringsut dari atas ranjang dan bergerak pelan keluar dari kamar.William mengayun langkah menuruni tangga dengan agak tergesa. Sampai ia terkejut sendiri begitu menyadari degup jantungnya tidak setenang biasanya. Bahkan ketika bertemu klien dari belahan dunia lain dan harus mempresentasikan profil perusahaannya, ia tidak pernah segugup ini.Pria itu sampai di depan pintu kamar istri keduanya. Lagi-lagi ia terkejut sebab tidak sadar sudah berada di tempat tersebut. Ia seperti melayang dari lantai dua menuju ke sini.“Bi-Binar?” panggilnya pelan. Ia mengetuk pintu be
**“Baiklah, kalau maumu begitu. Kamu yang menantang, maka aku nggak akan keberatan menanggapimu. Justru dengan senang hati. Kamu yang menyulut api, Willy. Jadi jangan menyesal kalau sekarang kamu terbakar.”Rachel menyeringai dingin dengan sepasang obsidian memicing tajam, memandang ke arah sepasang insan yang tengah saling mendekap di dalam kamar itu. Ada kobaran api yang menyala pada kedua manik gelapnya.“Kamu nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Binar.”Ia membalikkan badan, lantas kembali menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.Tadinya Rachel memang hanya berpura-pura tidur lelap. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan sang suami sebab sedari pagi pria itu terlihat gelisah. Dan ya, ternyata perasaan itu terbukti. William meninggalkannya diam-diam untuk menemui istri keduanya –yang di mata Rachel luar biasa menyebalkan.“Aku nggak akan menggunakan empati lagi sekarang, Binar. Karena aku sudah melakukannya, tapi kamu mengabaikanku.”Rachel meraih ponselnya yang teronggo
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang