**Binar termangu di dalam kamarnya. Ia ingin sekali keluar dan melihat keadaan Rachel yang sepertinya baru saja pulang dari rumah sakit, namun tidak memiliki keberanian untuk itu.Perempuan itu hanya bisa berjalan hilir mudik di dalam kamarnya, menajamkan pendengaran dan menunggu William turun. “Haruskah aku keluar dan menemui Tuan William?” gumamnya seorang diri. “Tapi bagaimana kalau Mbak Rachel nggak mau ketemu sama aku? Aku benar-benar punya perasaan kalau Mbak Rachel nggak mau ngomong sama aku.”Binar tertunduk lesu. Merasa serba salah di dalam rumah ini. Satu sisi ia khawatir dan ingin mencoba memperbaiki hubungan dengan sang nyonya rumah. Namun di sisi lain, Binar tidak tahan jika ia harus menelan kekecewaan karena terus-terusan diabaikan.Nah, namun terus berdiam diri seperti itu, nyatanya juga tidak membantu apapun. Ia akhirnya memutuskan keluar kamar untuk memeriksa keadaan saja.Namun, yang ia temukan hanyalah para maid rumah yang sedang menyiapkan makan malam.“Apakah Tu
**William menepuk-nepuk pelan pundak Rachel. Ia melirik dari ekor mata, sang istri pertama sudah terlelap dalam pelukannya. Maka sebisa mungkin pria itu menggeser posisi tanpa mengusik tidur Rachel. Memastikan napas perempuan itu tetap teratur sampai ia sepenuhnya memisahkan diri.“Syukurlah.” William menghela napas lega kala Rachel sama sekali tidak terusik dan tetap memejamkan mata dengan damai. Pria rupawan itu lantas beringsut dari atas ranjang dan bergerak pelan keluar dari kamar.William mengayun langkah menuruni tangga dengan agak tergesa. Sampai ia terkejut sendiri begitu menyadari degup jantungnya tidak setenang biasanya. Bahkan ketika bertemu klien dari belahan dunia lain dan harus mempresentasikan profil perusahaannya, ia tidak pernah segugup ini.Pria itu sampai di depan pintu kamar istri keduanya. Lagi-lagi ia terkejut sebab tidak sadar sudah berada di tempat tersebut. Ia seperti melayang dari lantai dua menuju ke sini.“Bi-Binar?” panggilnya pelan. Ia mengetuk pintu be
**“Baiklah, kalau maumu begitu. Kamu yang menantang, maka aku nggak akan keberatan menanggapimu. Justru dengan senang hati. Kamu yang menyulut api, Willy. Jadi jangan menyesal kalau sekarang kamu terbakar.”Rachel menyeringai dingin dengan sepasang obsidian memicing tajam, memandang ke arah sepasang insan yang tengah saling mendekap di dalam kamar itu. Ada kobaran api yang menyala pada kedua manik gelapnya.“Kamu nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Binar.”Ia membalikkan badan, lantas kembali menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.Tadinya Rachel memang hanya berpura-pura tidur lelap. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan sang suami sebab sedari pagi pria itu terlihat gelisah. Dan ya, ternyata perasaan itu terbukti. William meninggalkannya diam-diam untuk menemui istri keduanya –yang di mata Rachel luar biasa menyebalkan.“Aku nggak akan menggunakan empati lagi sekarang, Binar. Karena aku sudah melakukannya, tapi kamu mengabaikanku.”Rachel meraih ponselnya yang teronggo
**Seluruh tubuh Binar mendadak tremor begitu ia melihat darah yang pekat menetes di atas lantai, di sela-sela kakinya. Air mata turut luruh membasahi pipi, ia menangis tanpa suara.“Tu-Tuan William ….” bisiknya dengan suara yang tercekat di tenggorokan. Jangankan berteriak, berkata-kata saja ia tidak sanggup. Perempuan yang sebentar lagi akan berusia dua puluh enam tahun ia berusaha membawa tubuh gemetarnya bergerak. Bagaimanapun ia harus mencari pertolongan.Setengahnya Binar tak habis pikir, mengapa suasana rumah sepi sekali saat ini.“T-tolong aku ….” Binar menyeret langkah, membawa tubuhnya menuju arah ruang belakang, yang mana para maid biasanya berada di sana. Sembari meringis kesakitan dan tertatih-tatih nyaris jatuh, ia terus melangkah.“Ya Tuhan … tolong, siapapun, tolong aku ….”Hingga ketika Binar rasa tidak lagi bisa bertahan sebab rasa sakit pada perut bagian bawahnya kian intens serta pandangan matanya berkunang-kunang, suara seruan tertahan menggema dari arah pintu m
**Gio menggenggam ponselnya erat-erat, tak peduli jika nantinya benda itu akan remuk sebab cengkeraman yang terlampau erat. Panggilan telepon dengan Rachel masih tersambung, namun pria itu tetap terdiam di tempat. Ia menoleh pelan kepada Binar yang masih tertidur lelap, memutuskan menjauh dari sana agar tidak mengganggu.“Apa maksudmu, keparat?” geramnya penuh amarah saat sudah keluar dari kamar perawatan Binar. “Apa yang kamu lakukan kepada Binar? Dasar perempuan jahat!”Tawa sumbang Rachel terdengar menggema dari seberang. Gio mendesis sembari menggigit bibir. Ingin rasanya ia membanting ponselnya, namun akal sehat masih menahan. Akhirnya pria itu hanya menghempaskan tubuhnya di atas kursi sementara menarik rambutnya sendiri.“Aku sudah mengatakannya berulang-ulang kali kepadamu, Gio. Kalau kamu terlambat mengamankan Binar, maka aku akan bertindak sendiri.”Suara itu kedengaran begitu bengis. “Kamu lihat sendiri, aku nggak pernah main-main dengan ucapanku. Aku serius.”“Aku tidak a
**“Kalau kamu tidak melakukan apapun saat ini, aku tidak yakin apakah perempuan itu akan baik-baik saja saat dia kembali datang di rumahku nanti.”Hati Gio terasa mencelos ketika sebaris pesan virtual itu terbaca pada layar ponselnya. Ia mengulum bibir, merasa frustasi dengan kenekatan Rachel yang semakin hari semakin tidak bisa dikondisikan.“Apa-apaan perempuan ini?” desis Gio geram sekali. Ia memilih mengabaikan pesan itu dan menganggapnya hanya gertakan semata, namun detik berikutnya ponselnya kembali berdering lagi. Ada pesan masuk yang kedua.Rachel mengirimkan gambar sebilah pisau yang tampak tajam dan berkilau. Membuat Gio berjengit kaget.Di bawah gambar itu, tersemat caption ‘Coming Soon’.Rachel memang tidak waras.“Sialan!” Gio berseru sendirian. Mendadak saja otaknya yang biasanya cemerlang tidak bisa ia gunakan untuk berpikir. “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak bisa lihat perempuan itu menyakiti Binar. Aku jelas nggak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya
**Tiga hari Binar dirawat di rumah sakit, ini adalah hari terakhir. Akhirnya perempuan itu sudah boleh pulang hari ini. Seharusnya orang tidak senang ketika harus sakit, namun untuk Binar, ini adalah pengecualian. Beberapa hari ini William menjadi sangat perhatian kepadanya, dan rasanya Binar rela sakit terus agar bisa bersama lebih lama dengan suaminya itu.William sudah memasukkan barang-barang Binar ke dalam travel bag dan bersiap bertolak dari rumah sakit, ketika salah seorang perawat datang memanggilnya.“Ada sesuatu yang harus dokter bicarakan dengan Tuan,” tutur perawat muda itu.William mengangguk. Tidak masalah baginya, sebab belakangan perawatan Binar sudah kembali diambil alih oleh Dokter Ardi. Jadi pria itu pikir, kali ini pun Dokter Ardi yang akan ia temui.Di tengah jalan, ternyata gadis perawat itu berkata lain.“Dokter Gio menunggu anda di ruangannya, Tuan. Silahkan masuk, ruangannya ada di sebelah sini.” Gadis perawat itu membukakan pintu yang berada di dekatnya, dan
**William sama sekali tidak tahu, mimpi buruk apa yang sedang ia dengar ini. Pria rupawan itu hanya bisa diam tertegun dengan amarah menggelegak, terpancar dari sepasang obsidian bening yang kini nyalang dan memerah.“Kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan apa yang kau katakan ini, sial!” desis William. Ia berkata demikian kendati hatinya sudah seperti ditikam dengan pedang tajam. Ia sama sekali tidak mengenal Binar sebelum ini, jadi bagaimana ia bisa seratus persen percaya dengan perempuan itu?Walaupun Binar adalah perempuan yang kini dicintainya. Walaupun status Binar adalah istrinya yang sah. Namun jika ada berita seperti ini, bagaimana kepercayaan William tidak goyah? TIdak mungkin.Hanya karena mempertahankan harga diri, William masih tampak angkuh dan tegak. Padahal dalam hatinya, ia sedang jatuh tersungkur ditikam kenyataan yang Gio sodorkan.“Aku tidak butuh kepercayaanmu.” Gio melanjutkan dengan jumawa. Pria itu tahu, ada getar dalam sorot mata sang presdir. Dan kare