**Gio hanya bisa tertegun di tempat, tidak tahu harus melakukan apa untuk membujuk Binar. Perempuan itu sama sekali tidak bisa didekati. Ia hanya terus menangis dan meratap, menyebut nama William.Sampai pada titik ini, Gio akhirnya menyesali perbuatan bodohnya yang memaksa salah satu rekan laboratorium untuk menerbitkan laporan palsu. Gio bisa saja dijebloskan ke dalam penjara jika perbuatannya terungkap. Dalam hal ini pria muda itu mensyukuri sikap William yang percaya begitu saja tanpa menelusuri kebenarannya terlebih dahulu.“Tuan William … aku akan pulang dan membuktikan bahwa ini benar-benar bayinya.”Gio tersentak kaget tatkala Binar tiba-tiba beranjak dari lantai. Tergesa-gesa perempuan itu mengayun langkah keluar ruangan.“Binar, tunggu dulu! Kamu masih lemah, jadi jangan melangkah cepat-cepat seperti itu!”“Apa pedulimu, ha? Apa pedulimu, sial!”“Binar! Sebentar ….” Gio berusaha mengejar dan meraih pergelangan tangan perempuan bersurai panjang yang pucat pasi itu. Bisa saja
**Sepuluh hari setelah kejadian itu.Ini adalah pertama kalinya Juliana Aarav melihat sang putra setelah acara pernikahan yang berlangsung kurang lebih tujuh bulan silam. Wanita yang menderita kelumpuhan kaki akibat stroke itu tersenyum tatkala William datang di penthouse-nya yang berada di Singapura. Bukan tanpa alasan orang tua William tinggal di luar negeri. Selain untuk mengurus bisnis mereka yang kebetulan memang berbasis di sana, juga agar lebih mudah untuk mendapatkan pengobatan. Selama setahun belakangan, kondisi Juliana Aarav tidak terlalu baik. Wanita yang berusia hampir enam puluh lima tahun itu harus keluar masuk rumah sakit. Sebab sang suami, Rajendra Aarav sudah berpulang tiga tahun silam, Juliana mengurus sendiri bisnis toko perhiasan miliknya. William sudah berkali-kali mengingatkan sang ibu untuk berhenti bekerja, namun wanita itu tidak setuju.“Lihat siapa yang datang.” Juliana menggulir roda kursinya mendekati William yang baru saja membuka pintu kamar, Wanita itu
**Lima hari berlalu.Binar masih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangisi William yang sama sekali tidak ingin bertemu atau berbicara dengan dirinya sejak hari itu. Jadi Binar terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, membawa rasa malu yang mendalam. Tidak ada yang berpihak kepadanya di dalam rumah itu, kecuali mungkin sang ayah yang walaupun begitu kecewa namun masih memiliki simpati. Selebihnya, ia hanya menerima cibiran dan sikap sarkas yang menyakitkan dari ibu dan adik tirinya.Terlebih-lebih lagi, Gio datang menemuinya setiap kali memiliki waktu luang. Menghibur, menyemangati, dan berusaha memenuhi kebutuhan apapun yang Binar perlukan.“Jangan datang lagi,” tutur perempuan itu hari ini, saat Gio untuk ke sekian kali datang menemuinya di rumah. “Aku nggak ingin melihatmu lagi, Mas.”“Aku akan tetap datang walaupun kamu nggak mau melihatku, Binar.” Gio memandangi perempuan ayu itu, yang sedang termangu di tepi jendela. Ingin rasa hati memeluknya hingga rasa sedihnya mer
**“Kamu yakin akan membawa dia ketemu sama William?” Rudy Gunawan berujar dengan ragu kepada Gio, yang siang itu meminta izin kepadanya untuk mengantarkan Binar menemui pria yang masih berstatus sebagai suaminya. “Ayah khawatir Binar akan semakin sedih karena mendapatkan perlakuan yang tidak baik di sana.”“Ada aku,” tukas Gio dengan senyum samar. “Aku nggak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu yang akan menyakiti Binar, Ayah.”Rudy menghela napas. Ia tidak yakin, namun tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi kala ia lihat sang putri yang sudah duduk tenang di dalam mobil, kendati Gio masih berada di dalam rumah.“Sepertinya Binar sungguh-sungguh mencintai William. Ayah nggak mengira ini akan terjadi, sebab perjanjian awalnya adalah, Binar dibebaskan pergi setelah melahirkan keturunan yang akan ia serahkan kepada William.”Gio menunduk lesu. “Ini kesalahanku. Aku yang membuat semuanya jadi berantakan seperti ini.”Membuat yang lebih tua turut mengalihkan pandang kepadanya. Gio
**“T-Tuan ….” Binar bergumam dengan suara tercekat. Tanpa sadar ia mengambil langkah mundur, sebab raut wajah sang suami tampak begitu mengancam saat itu.“Aku tanya, mau apa lagi kau datang ke sini?”“T-Tuan, dengarkan penjelasan saya dulu. Saya–”“Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu. Laporan tes DNA itu sudah sangat jelas!”“Demi Tuhan, Tuan William! Ini adalah anak anda, yang sedang saya kandung!”“Aku bilang pergi dari sini! Pergi sekarang, atau kau menunggu aku lempar keluar?”Binar tersentak kaget, tidak mengira sang tuan akan berkata sekasar itu.Selama ini William memang bukanlah orang yang lemah lembut, namun ia juga tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti ini. Betapa kagetnya Binar saat ia mendengarnya sendiri keluar dari bibir pria itu –dan dialamatkan kepadanya– saat ini.Kendati demikian, perempuan itu masih bersikukuh mencoba menjelaskan.“Tuan, saya mohon, dengarkan saya dulu! Gio berbohong! Dia berbohong mengatakan semua ini untuk menjauhkan saya dari a
**Surat cerai itu benar-benar dialamatkan William ke rumah orang tua Binar selang satu minggu setelah kedatangan Binar terakhir kali ke kediaman Tuan Muda Aarav. Sebab hubungan keduanya –kendati sudah didasari oleh rasa cinta– masih terlalu lemah dan mudah goyah.Hati Binar hancur sehancur-hancurnya. Ia memang sudah seringkali memikirkan perihal perpisahan dengan sang tuan, namun tak pernah ia kira akan terjadi secepat ini, pun dengan cara yang demikian buruk seperti ini. Binar sungguh berduka dan merasa kehilangan karenanya.Hingga berminggu-minggu kemudian, Binar terus tenggelam dalam duka. Membuat Gio turut resah, karena bagaimanapun, ia yang bertanggung jawab atas semua bencana ini.“Kasihan bayi kamu kalau kamu seperti ini, Binar. Seenggaknya kamu harus makan sesuatu biar ada asupan buat dia,” bujuk Gio. “Kamu dari kemarin nggak makan apapun, Binar.”Hari ini dokter muda itu datang berkunjung seperti biasa di sela-sela kesibukannya di rumah sakit. Dan apa yang Gio dapati ketika
**Makhluk mungil itu sedang tertidur lelap dalam kain bedong hangat yang membalut tubuhnya. Sepasang matanya tertutup rapat, membentuk seleret garis indah dibingkai wajah bagai boneka dengan dua belah pipi gembil yang putih kemerahan.Binar memandangnya lekat-lekat dengan gemuruh perasaan memenuhi dada.Sedih, bahagia, dan terharu.Bayi mungil yang tampan ini lahir tanpa kehadiran ayahnya. Ia terpaksa melihat dunia untuk pertama kalinya tanpa dekap orang tua yang lengkap.Hati Binar terasa bagai disayat kala mengingat ini. Namun saat ia memandang wajah sang putra yang terus memejamkan mata dalam damai dengan senyum tipis menghiasi bibir mungil itu, segala dukanya musnah sudah.“Kenapa kamu masih belum tidur jam segini? Kamu harus istirahat, Binar. Bayi kamu tenang sekali, kok. Jadi nggak perlu kamu tungguin seperti itu.”Sebuah vokal baritone menerpa rungu seiring pintu ruangan yang berderit terbuka. Binar mengalihkan pandang sekilas, mendapati Gio yang memasuki ruangan masih dengan
**William Aarav mendadak menghentikan langkah begitu ia melihat Binar berdiri di hadapannya dengan air mata berderai-derai. Sepasang manik gelap itu bergetar sesaat. Ia tampak begitu terkejut, selama satu detik raut wajahnya tampak seakan hendak meraih Binar ke dalam pelukan. Namun detik berikutnya, pria itu tersadar dan kembali berubah dingin.“Tuan William … putra kita sudah lahir. Apakah … apakah anda tidak ingin melihatnya? Dia sangat mirip dengan anda, Tuan. Dia–”“Kamu masih punya muka untuk menemui William setelah segala yang kamu lakukan?”Binar tersentak. Ia terlalu fokus kepada sang tuan sehingga tidak menyadari ada seseorang yang sedang bergelayut manja di lengan pria itu. Pelan-pelan pandangan Binar bergulir ke arahnya. Ke arah sang nyonya muda yang kini tengah menatap angkuh, sebab kedamaian hidupnya mendadak terusik.“Kamu masih punya muka untuk menemui Willy?” ulang Rachel murka. “Dasar perempuan nggak tahu malu!”“Sa-saya hanya ingin Tuan William melihat putranya, Mba