**Tangan Binar gemetar saat ia menggendong bayinya dan membawanya pulang ke rumah hari ini. Bayi tampan yang masih merah itu tertidur pulas dalam balutan selimut di pelukan Binar. Dengan diantar Gio, ia melangkah pelan hendak memasuki rumah.Namun apa yang terjadi?“Siapa yang bilang kamu bisa tetap tinggal di sini?”Langkah Binar seketika terhenti begitu ia sampai di ambang pintu. Vidia, sang ibu tiri, berdiri menyambut dengan raut keruh. Pandangan mata wanita itu menyipit, menatap buntalan selimut dalam pelukan Binar.“I-Ibu ….”“Kamu pikir rumah ini masih bisa menampung beban keluarga sepertimu? Kamu sudah bikin malu keluarga dengan perbuatanmu itu, Binar. Jadi sebaiknya kamu jangan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”Binar tersentak. Sama sekali tidak mengira sambutan yang ia terima bahkan saat luka melahirkan masih nyeri adalah seperti ini. Selama beberapa detik, perempuan itu hanya bisa tertegun di ambang pintu.“Bu Vidia, Binar baru saja pulang dari rumah sakit. Kenapa anda
**Dua Tahun.William Aarav bertopang dagu di atas meja kerjanya, menatap kosong kepada hamparan pemandangan kota di luar dinding kaca ruangannya yang megah.Kegiatan yang seperti sudah menjadi kebiasaan pria itu selama dua tahun belakangan ini jika ia sedang tidak begitu sibuk ; melamun.Dua tahun sejak ia berpisah dengan istri kecilnya. Saat ini, William sama sekali tidak mengetahui di mana Binar berada. Juga putra perempuan itu, yang hingga detik ini sama sekali tidak pernah William ketahui seperti apa wajahnya.Pria itu menghela napas. Ia beranjak dari kursi kebesaran dan mengayun langkah keluar dari kantor Diamond Group, tempat kebanggaannya selama ini.William rasa ia butuh penyegaran otak. Seharian duduk di balik layar laptop membuatnya merasa sakit kepala.Sang tuan yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun itu akhirnya memilih mengemudi memutari kota dan menghentikan kendaraannya di sebuah taman yang tampak damai.Sesuatu yang William tidak pernah lakukan sebelumnya. Mau apa m
**William tidak bisa berhenti memikirkannya.Paras itu, sosok mungil yang berlari-lari riang di dalam kepalanya sejak siang tadi.Hingga lebih dari tengah malam, William masih termangu di tepi balkon ruang tengah rumah megahnya. Merenung dengan batang nikotin terselip di antara jemari. Sekali-sekali celah bibirnya menghembuskan asap sepekat benaknya kala itu.William tidak akan sadar bahwa saat itu sudah tengah malam, kalau saja ia tidak menengok sebab mendengar langkah-langkah kaki datang dari arah tangga.“Rachel?” Ia menyebut reflek saat mendapati sang istri baru saja pulang. Masih dengan penampilan glamor full make up. Yang bersangkutan tertegun sesaat saat melihat suaminya memandang sengit dari kejauhan. “Ini hampir jam setengah dua dini hari, Rachel. Bagaimana mungkin kamu baru pulang jam segini?”William bertanya, sebab sebelum ini sang istri setidaknya sudah di rumah paling lambat jam dua belas malam. Kalaupun terlambat dan terpaksa pulang larut, ia pasti mengabari terlebih
**Binar masih separuh tertidur saat ponselnya berdering.Ia bangun dan duduk, lantas meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, perempuan itu menggulir layar untuk menerima panggilan teleponnya. Ia pikir mungkin itu adalah Gio.“Halo?” sapanya dengan suara mengantuk. Binar bahkan tidak sempat melihat saat itu jam berapa. Ia hanya ingat melirik Noah yang tengah lelap di atas ranjang. Memastikan sang putra baik-baik saja, kemudian baru bisa fokus kepada ponselnya lagi.“Halo?” Binar mengulangi.Tidak ada suara jawaban dari seberang. Binar memutuskan itu adalah semacam telepon iseng dan berniat mematikan panggilan saja, namun suara dalam yang pelan membuatnya mengurungkan niat.“Binar?”Binar mengernyit. Ingat, ia masih setengah mengantuk jadi tidak bisa seratus persen fokus. Kendati demikian, alam bawah sadarnya mengenal suara itu dengan sangat familiar.“Ya, halo?”“Binar, kamu belum tidur?”Kerutan halus menghiasi kening Binar. Sekali lagi ia me
**Ini sungguh menyebalkan, namun William tidak bisa menolong dirinya sendiri.Seluruh benaknya dipenuhi bayangan tentang Binar setelah pria itu nekat menelepon sang mantan istri kedua semalam. Hingga hari berganti pagi, ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Terbayang-bayang paras lembut yang sempat membuat hatinya bergetar saat-saat lampau dulu.Akhirnya sekitar pukul sembilan pagi, sang presdir membawa wajah kuyunya keluar kamar. Menyeret langkah malas menuju meja makan untuk bersiap berangkat ke kantor.Tak ia temukan sang istri di sana. Membuat kernyitan dalam tercetak pada kening pria rupawan meski usianya sudah hampir kepala empat itu.“Ke mana Rachel? Apa dia belum bangun?” tanyanya kepada perempuan pegawai rumah yang sedang menyiapkan meja makan.Perempuan itu tampak sedikit gugup menerima pertanyaan demikian dari sang tuan. Ia mundur beberapa langkah dan menunduk dalam-dalam sementara menjawab.“Nyonya … Nyonya sudah berangkat sekitar satu jam yang lalu, Tuan.
**Dua orang itu terperanjat. Terutama si pria di samping Rachel yang segera menjauhkan tubuh dengan canggung. Ia berdehem pelan untuk menutupi salah tingkah, sementara itu Rachel sendiri terlihat gelagapan walau setelahnya bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.“William? Kamu ngapain di sini?”Sang tuan melangkah mendekat dengan pandangan keruh. “Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu? Sedang apa kamu berada di sini pada hari sepagi ini?”“Aku kerja, Willy!”“Pekerjaan macam apa? Aku nggak melihat apapun yang tampak seperti pekerjaan. Kecuali kalau berpegangan tangan dengan laki-laki asing menurutmu termasuk pekerjaan?”Pria rupawan itu menjatuhkan pandangan tajam kepada pria di samping Rachel yang ternyata membalas tatapannya dengan berani.“Willy–”“Dan haruskah di tempat seperti ini? Apakah kamu bisa memberikan penjelasan yang masuk akal kepadaku?”Rachel sungguh gagal menyembunyikan rasa gugupnya. Ia mengalihkan pandangan dari sang suami yang masih berdiri di tempat deng
**“Sial, hampir saja ketahuan. Gimana bisa sih, William tahu kita ada di mana? Jangan-jangan dia pakai pelacak lagi.”Rachel mendesis kepada pria di sampingnya yang sedari tadi tak henti-henti memaki. Pandangan tajamnya membuat pria tampan itu terpaksa menutup mulut.“Kamu nggak hati-hati, Rachel. Coba periksa ponselmu, apakah ada aplikasi pelacak di sana.”“Apa kamu lupa William itu siapa, Abian?” tukas Rachel tak kalah kesal. “Pelacak dia hidup dan tersebar di manapun dia inginkan. Bahkan mungkin saat ini mata-matanya sedang menguntit kita berdua.”Pria bernama Abian itu sekali lagi mengumpat, sebelum ia beranjak mendekati jendela besar di seberang ruangan. Abian mencoba menengok keluar jendela itu untuk memeriksa apakah ada seseorang yang mencurigakan di luar sana. Agak konyol, sebab kedua insan itu saat ini sedang berada di ketinggian lantai sembilan sebuah hotel megah.“Rachel, memangnya sampai kapan kita akan seperti ini?” Abian bertanya sembari membalikkan badan dari tepi jend
**Rachel tidak mau turun dan berniat menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan saja. Namun setitik hati nurani yang ternyata masih tersisa di sudut hatinya itu memaksanya untuk tetap tinggal. Lagipula ketika ia mengintip melalui kaca spion, sepertinya seseorang yang ia serempet tadi tidak bangkit, berdiri atau menghampirinya.“Apakah separah itu sampai dia nggak bisa bangun? Tapi mobilku hanya menyenggolnya saja, kok! Astaga, sialan sekali sih!”Meski mengomel dan agak panik, wanita itu akhirnya turun dari sedan hitamnya. Ia melangkah pelan-pelan ke arah belakang mobil untuk memeriksa apa yang terjadi.Sampai akhirnya lagi-lagi kenyataan tak menyenangkan menyerangnya seperti anak panah beracun.“Mbak Rachel?” Perempuan yang Rachel serempet itu berdiri setelah mengibaskan debu yang mengotori bajunya. Benar, ia sempat jatuh tersungkur di tepi jalanan sepi.“B-Binar?” sebut Rachel dengan suara bergetar. Seribu kutukan ia lontarkan dalam hati. Mengapa dari sekian juta manusia yang