**Lima hari berlalu.Binar masih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangisi William yang sama sekali tidak ingin bertemu atau berbicara dengan dirinya sejak hari itu. Jadi Binar terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, membawa rasa malu yang mendalam. Tidak ada yang berpihak kepadanya di dalam rumah itu, kecuali mungkin sang ayah yang walaupun begitu kecewa namun masih memiliki simpati. Selebihnya, ia hanya menerima cibiran dan sikap sarkas yang menyakitkan dari ibu dan adik tirinya.Terlebih-lebih lagi, Gio datang menemuinya setiap kali memiliki waktu luang. Menghibur, menyemangati, dan berusaha memenuhi kebutuhan apapun yang Binar perlukan.“Jangan datang lagi,” tutur perempuan itu hari ini, saat Gio untuk ke sekian kali datang menemuinya di rumah. “Aku nggak ingin melihatmu lagi, Mas.”“Aku akan tetap datang walaupun kamu nggak mau melihatku, Binar.” Gio memandangi perempuan ayu itu, yang sedang termangu di tepi jendela. Ingin rasa hati memeluknya hingga rasa sedihnya mer
**“Kamu yakin akan membawa dia ketemu sama William?” Rudy Gunawan berujar dengan ragu kepada Gio, yang siang itu meminta izin kepadanya untuk mengantarkan Binar menemui pria yang masih berstatus sebagai suaminya. “Ayah khawatir Binar akan semakin sedih karena mendapatkan perlakuan yang tidak baik di sana.”“Ada aku,” tukas Gio dengan senyum samar. “Aku nggak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu yang akan menyakiti Binar, Ayah.”Rudy menghela napas. Ia tidak yakin, namun tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi kala ia lihat sang putri yang sudah duduk tenang di dalam mobil, kendati Gio masih berada di dalam rumah.“Sepertinya Binar sungguh-sungguh mencintai William. Ayah nggak mengira ini akan terjadi, sebab perjanjian awalnya adalah, Binar dibebaskan pergi setelah melahirkan keturunan yang akan ia serahkan kepada William.”Gio menunduk lesu. “Ini kesalahanku. Aku yang membuat semuanya jadi berantakan seperti ini.”Membuat yang lebih tua turut mengalihkan pandang kepadanya. Gio
**“T-Tuan ….” Binar bergumam dengan suara tercekat. Tanpa sadar ia mengambil langkah mundur, sebab raut wajah sang suami tampak begitu mengancam saat itu.“Aku tanya, mau apa lagi kau datang ke sini?”“T-Tuan, dengarkan penjelasan saya dulu. Saya–”“Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu. Laporan tes DNA itu sudah sangat jelas!”“Demi Tuhan, Tuan William! Ini adalah anak anda, yang sedang saya kandung!”“Aku bilang pergi dari sini! Pergi sekarang, atau kau menunggu aku lempar keluar?”Binar tersentak kaget, tidak mengira sang tuan akan berkata sekasar itu.Selama ini William memang bukanlah orang yang lemah lembut, namun ia juga tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti ini. Betapa kagetnya Binar saat ia mendengarnya sendiri keluar dari bibir pria itu –dan dialamatkan kepadanya– saat ini.Kendati demikian, perempuan itu masih bersikukuh mencoba menjelaskan.“Tuan, saya mohon, dengarkan saya dulu! Gio berbohong! Dia berbohong mengatakan semua ini untuk menjauhkan saya dari a
**Surat cerai itu benar-benar dialamatkan William ke rumah orang tua Binar selang satu minggu setelah kedatangan Binar terakhir kali ke kediaman Tuan Muda Aarav. Sebab hubungan keduanya –kendati sudah didasari oleh rasa cinta– masih terlalu lemah dan mudah goyah.Hati Binar hancur sehancur-hancurnya. Ia memang sudah seringkali memikirkan perihal perpisahan dengan sang tuan, namun tak pernah ia kira akan terjadi secepat ini, pun dengan cara yang demikian buruk seperti ini. Binar sungguh berduka dan merasa kehilangan karenanya.Hingga berminggu-minggu kemudian, Binar terus tenggelam dalam duka. Membuat Gio turut resah, karena bagaimanapun, ia yang bertanggung jawab atas semua bencana ini.“Kasihan bayi kamu kalau kamu seperti ini, Binar. Seenggaknya kamu harus makan sesuatu biar ada asupan buat dia,” bujuk Gio. “Kamu dari kemarin nggak makan apapun, Binar.”Hari ini dokter muda itu datang berkunjung seperti biasa di sela-sela kesibukannya di rumah sakit. Dan apa yang Gio dapati ketika
**Makhluk mungil itu sedang tertidur lelap dalam kain bedong hangat yang membalut tubuhnya. Sepasang matanya tertutup rapat, membentuk seleret garis indah dibingkai wajah bagai boneka dengan dua belah pipi gembil yang putih kemerahan.Binar memandangnya lekat-lekat dengan gemuruh perasaan memenuhi dada.Sedih, bahagia, dan terharu.Bayi mungil yang tampan ini lahir tanpa kehadiran ayahnya. Ia terpaksa melihat dunia untuk pertama kalinya tanpa dekap orang tua yang lengkap.Hati Binar terasa bagai disayat kala mengingat ini. Namun saat ia memandang wajah sang putra yang terus memejamkan mata dalam damai dengan senyum tipis menghiasi bibir mungil itu, segala dukanya musnah sudah.“Kenapa kamu masih belum tidur jam segini? Kamu harus istirahat, Binar. Bayi kamu tenang sekali, kok. Jadi nggak perlu kamu tungguin seperti itu.”Sebuah vokal baritone menerpa rungu seiring pintu ruangan yang berderit terbuka. Binar mengalihkan pandang sekilas, mendapati Gio yang memasuki ruangan masih dengan
**William Aarav mendadak menghentikan langkah begitu ia melihat Binar berdiri di hadapannya dengan air mata berderai-derai. Sepasang manik gelap itu bergetar sesaat. Ia tampak begitu terkejut, selama satu detik raut wajahnya tampak seakan hendak meraih Binar ke dalam pelukan. Namun detik berikutnya, pria itu tersadar dan kembali berubah dingin.“Tuan William … putra kita sudah lahir. Apakah … apakah anda tidak ingin melihatnya? Dia sangat mirip dengan anda, Tuan. Dia–”“Kamu masih punya muka untuk menemui William setelah segala yang kamu lakukan?”Binar tersentak. Ia terlalu fokus kepada sang tuan sehingga tidak menyadari ada seseorang yang sedang bergelayut manja di lengan pria itu. Pelan-pelan pandangan Binar bergulir ke arahnya. Ke arah sang nyonya muda yang kini tengah menatap angkuh, sebab kedamaian hidupnya mendadak terusik.“Kamu masih punya muka untuk menemui Willy?” ulang Rachel murka. “Dasar perempuan nggak tahu malu!”“Sa-saya hanya ingin Tuan William melihat putranya, Mba
**Tangan Binar gemetar saat ia menggendong bayinya dan membawanya pulang ke rumah hari ini. Bayi tampan yang masih merah itu tertidur pulas dalam balutan selimut di pelukan Binar. Dengan diantar Gio, ia melangkah pelan hendak memasuki rumah.Namun apa yang terjadi?“Siapa yang bilang kamu bisa tetap tinggal di sini?”Langkah Binar seketika terhenti begitu ia sampai di ambang pintu. Vidia, sang ibu tiri, berdiri menyambut dengan raut keruh. Pandangan mata wanita itu menyipit, menatap buntalan selimut dalam pelukan Binar.“I-Ibu ….”“Kamu pikir rumah ini masih bisa menampung beban keluarga sepertimu? Kamu sudah bikin malu keluarga dengan perbuatanmu itu, Binar. Jadi sebaiknya kamu jangan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”Binar tersentak. Sama sekali tidak mengira sambutan yang ia terima bahkan saat luka melahirkan masih nyeri adalah seperti ini. Selama beberapa detik, perempuan itu hanya bisa tertegun di ambang pintu.“Bu Vidia, Binar baru saja pulang dari rumah sakit. Kenapa anda
**Dua Tahun.William Aarav bertopang dagu di atas meja kerjanya, menatap kosong kepada hamparan pemandangan kota di luar dinding kaca ruangannya yang megah.Kegiatan yang seperti sudah menjadi kebiasaan pria itu selama dua tahun belakangan ini jika ia sedang tidak begitu sibuk ; melamun.Dua tahun sejak ia berpisah dengan istri kecilnya. Saat ini, William sama sekali tidak mengetahui di mana Binar berada. Juga putra perempuan itu, yang hingga detik ini sama sekali tidak pernah William ketahui seperti apa wajahnya.Pria itu menghela napas. Ia beranjak dari kursi kebesaran dan mengayun langkah keluar dari kantor Diamond Group, tempat kebanggaannya selama ini.William rasa ia butuh penyegaran otak. Seharian duduk di balik layar laptop membuatnya merasa sakit kepala.Sang tuan yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun itu akhirnya memilih mengemudi memutari kota dan menghentikan kendaraannya di sebuah taman yang tampak damai.Sesuatu yang William tidak pernah lakukan sebelumnya. Mau apa m