**Sepuluh hari setelah kejadian itu.Ini adalah pertama kalinya Juliana Aarav melihat sang putra setelah acara pernikahan yang berlangsung kurang lebih tujuh bulan silam. Wanita yang menderita kelumpuhan kaki akibat stroke itu tersenyum tatkala William datang di penthouse-nya yang berada di Singapura. Bukan tanpa alasan orang tua William tinggal di luar negeri. Selain untuk mengurus bisnis mereka yang kebetulan memang berbasis di sana, juga agar lebih mudah untuk mendapatkan pengobatan. Selama setahun belakangan, kondisi Juliana Aarav tidak terlalu baik. Wanita yang berusia hampir enam puluh lima tahun itu harus keluar masuk rumah sakit. Sebab sang suami, Rajendra Aarav sudah berpulang tiga tahun silam, Juliana mengurus sendiri bisnis toko perhiasan miliknya. William sudah berkali-kali mengingatkan sang ibu untuk berhenti bekerja, namun wanita itu tidak setuju.“Lihat siapa yang datang.” Juliana menggulir roda kursinya mendekati William yang baru saja membuka pintu kamar, Wanita itu
**Lima hari berlalu.Binar masih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangisi William yang sama sekali tidak ingin bertemu atau berbicara dengan dirinya sejak hari itu. Jadi Binar terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, membawa rasa malu yang mendalam. Tidak ada yang berpihak kepadanya di dalam rumah itu, kecuali mungkin sang ayah yang walaupun begitu kecewa namun masih memiliki simpati. Selebihnya, ia hanya menerima cibiran dan sikap sarkas yang menyakitkan dari ibu dan adik tirinya.Terlebih-lebih lagi, Gio datang menemuinya setiap kali memiliki waktu luang. Menghibur, menyemangati, dan berusaha memenuhi kebutuhan apapun yang Binar perlukan.“Jangan datang lagi,” tutur perempuan itu hari ini, saat Gio untuk ke sekian kali datang menemuinya di rumah. “Aku nggak ingin melihatmu lagi, Mas.”“Aku akan tetap datang walaupun kamu nggak mau melihatku, Binar.” Gio memandangi perempuan ayu itu, yang sedang termangu di tepi jendela. Ingin rasa hati memeluknya hingga rasa sedihnya mer
**“Kamu yakin akan membawa dia ketemu sama William?” Rudy Gunawan berujar dengan ragu kepada Gio, yang siang itu meminta izin kepadanya untuk mengantarkan Binar menemui pria yang masih berstatus sebagai suaminya. “Ayah khawatir Binar akan semakin sedih karena mendapatkan perlakuan yang tidak baik di sana.”“Ada aku,” tukas Gio dengan senyum samar. “Aku nggak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu yang akan menyakiti Binar, Ayah.”Rudy menghela napas. Ia tidak yakin, namun tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi kala ia lihat sang putri yang sudah duduk tenang di dalam mobil, kendati Gio masih berada di dalam rumah.“Sepertinya Binar sungguh-sungguh mencintai William. Ayah nggak mengira ini akan terjadi, sebab perjanjian awalnya adalah, Binar dibebaskan pergi setelah melahirkan keturunan yang akan ia serahkan kepada William.”Gio menunduk lesu. “Ini kesalahanku. Aku yang membuat semuanya jadi berantakan seperti ini.”Membuat yang lebih tua turut mengalihkan pandang kepadanya. Gio
**“T-Tuan ….” Binar bergumam dengan suara tercekat. Tanpa sadar ia mengambil langkah mundur, sebab raut wajah sang suami tampak begitu mengancam saat itu.“Aku tanya, mau apa lagi kau datang ke sini?”“T-Tuan, dengarkan penjelasan saya dulu. Saya–”“Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu. Laporan tes DNA itu sudah sangat jelas!”“Demi Tuhan, Tuan William! Ini adalah anak anda, yang sedang saya kandung!”“Aku bilang pergi dari sini! Pergi sekarang, atau kau menunggu aku lempar keluar?”Binar tersentak kaget, tidak mengira sang tuan akan berkata sekasar itu.Selama ini William memang bukanlah orang yang lemah lembut, namun ia juga tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti ini. Betapa kagetnya Binar saat ia mendengarnya sendiri keluar dari bibir pria itu –dan dialamatkan kepadanya– saat ini.Kendati demikian, perempuan itu masih bersikukuh mencoba menjelaskan.“Tuan, saya mohon, dengarkan saya dulu! Gio berbohong! Dia berbohong mengatakan semua ini untuk menjauhkan saya dari a
**Surat cerai itu benar-benar dialamatkan William ke rumah orang tua Binar selang satu minggu setelah kedatangan Binar terakhir kali ke kediaman Tuan Muda Aarav. Sebab hubungan keduanya –kendati sudah didasari oleh rasa cinta– masih terlalu lemah dan mudah goyah.Hati Binar hancur sehancur-hancurnya. Ia memang sudah seringkali memikirkan perihal perpisahan dengan sang tuan, namun tak pernah ia kira akan terjadi secepat ini, pun dengan cara yang demikian buruk seperti ini. Binar sungguh berduka dan merasa kehilangan karenanya.Hingga berminggu-minggu kemudian, Binar terus tenggelam dalam duka. Membuat Gio turut resah, karena bagaimanapun, ia yang bertanggung jawab atas semua bencana ini.“Kasihan bayi kamu kalau kamu seperti ini, Binar. Seenggaknya kamu harus makan sesuatu biar ada asupan buat dia,” bujuk Gio. “Kamu dari kemarin nggak makan apapun, Binar.”Hari ini dokter muda itu datang berkunjung seperti biasa di sela-sela kesibukannya di rumah sakit. Dan apa yang Gio dapati ketika
**Makhluk mungil itu sedang tertidur lelap dalam kain bedong hangat yang membalut tubuhnya. Sepasang matanya tertutup rapat, membentuk seleret garis indah dibingkai wajah bagai boneka dengan dua belah pipi gembil yang putih kemerahan.Binar memandangnya lekat-lekat dengan gemuruh perasaan memenuhi dada.Sedih, bahagia, dan terharu.Bayi mungil yang tampan ini lahir tanpa kehadiran ayahnya. Ia terpaksa melihat dunia untuk pertama kalinya tanpa dekap orang tua yang lengkap.Hati Binar terasa bagai disayat kala mengingat ini. Namun saat ia memandang wajah sang putra yang terus memejamkan mata dalam damai dengan senyum tipis menghiasi bibir mungil itu, segala dukanya musnah sudah.“Kenapa kamu masih belum tidur jam segini? Kamu harus istirahat, Binar. Bayi kamu tenang sekali, kok. Jadi nggak perlu kamu tungguin seperti itu.”Sebuah vokal baritone menerpa rungu seiring pintu ruangan yang berderit terbuka. Binar mengalihkan pandang sekilas, mendapati Gio yang memasuki ruangan masih dengan
**William Aarav mendadak menghentikan langkah begitu ia melihat Binar berdiri di hadapannya dengan air mata berderai-derai. Sepasang manik gelap itu bergetar sesaat. Ia tampak begitu terkejut, selama satu detik raut wajahnya tampak seakan hendak meraih Binar ke dalam pelukan. Namun detik berikutnya, pria itu tersadar dan kembali berubah dingin.“Tuan William … putra kita sudah lahir. Apakah … apakah anda tidak ingin melihatnya? Dia sangat mirip dengan anda, Tuan. Dia–”“Kamu masih punya muka untuk menemui William setelah segala yang kamu lakukan?”Binar tersentak. Ia terlalu fokus kepada sang tuan sehingga tidak menyadari ada seseorang yang sedang bergelayut manja di lengan pria itu. Pelan-pelan pandangan Binar bergulir ke arahnya. Ke arah sang nyonya muda yang kini tengah menatap angkuh, sebab kedamaian hidupnya mendadak terusik.“Kamu masih punya muka untuk menemui Willy?” ulang Rachel murka. “Dasar perempuan nggak tahu malu!”“Sa-saya hanya ingin Tuan William melihat putranya, Mba
**Tangan Binar gemetar saat ia menggendong bayinya dan membawanya pulang ke rumah hari ini. Bayi tampan yang masih merah itu tertidur pulas dalam balutan selimut di pelukan Binar. Dengan diantar Gio, ia melangkah pelan hendak memasuki rumah.Namun apa yang terjadi?“Siapa yang bilang kamu bisa tetap tinggal di sini?”Langkah Binar seketika terhenti begitu ia sampai di ambang pintu. Vidia, sang ibu tiri, berdiri menyambut dengan raut keruh. Pandangan mata wanita itu menyipit, menatap buntalan selimut dalam pelukan Binar.“I-Ibu ….”“Kamu pikir rumah ini masih bisa menampung beban keluarga sepertimu? Kamu sudah bikin malu keluarga dengan perbuatanmu itu, Binar. Jadi sebaiknya kamu jangan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”Binar tersentak. Sama sekali tidak mengira sambutan yang ia terima bahkan saat luka melahirkan masih nyeri adalah seperti ini. Selama beberapa detik, perempuan itu hanya bisa tertegun di ambang pintu.“Bu Vidia, Binar baru saja pulang dari rumah sakit. Kenapa anda
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang