**Makhluk mungil itu sedang tertidur lelap dalam kain bedong hangat yang membalut tubuhnya. Sepasang matanya tertutup rapat, membentuk seleret garis indah dibingkai wajah bagai boneka dengan dua belah pipi gembil yang putih kemerahan.Binar memandangnya lekat-lekat dengan gemuruh perasaan memenuhi dada.Sedih, bahagia, dan terharu.Bayi mungil yang tampan ini lahir tanpa kehadiran ayahnya. Ia terpaksa melihat dunia untuk pertama kalinya tanpa dekap orang tua yang lengkap.Hati Binar terasa bagai disayat kala mengingat ini. Namun saat ia memandang wajah sang putra yang terus memejamkan mata dalam damai dengan senyum tipis menghiasi bibir mungil itu, segala dukanya musnah sudah.“Kenapa kamu masih belum tidur jam segini? Kamu harus istirahat, Binar. Bayi kamu tenang sekali, kok. Jadi nggak perlu kamu tungguin seperti itu.”Sebuah vokal baritone menerpa rungu seiring pintu ruangan yang berderit terbuka. Binar mengalihkan pandang sekilas, mendapati Gio yang memasuki ruangan masih dengan
**William Aarav mendadak menghentikan langkah begitu ia melihat Binar berdiri di hadapannya dengan air mata berderai-derai. Sepasang manik gelap itu bergetar sesaat. Ia tampak begitu terkejut, selama satu detik raut wajahnya tampak seakan hendak meraih Binar ke dalam pelukan. Namun detik berikutnya, pria itu tersadar dan kembali berubah dingin.“Tuan William … putra kita sudah lahir. Apakah … apakah anda tidak ingin melihatnya? Dia sangat mirip dengan anda, Tuan. Dia–”“Kamu masih punya muka untuk menemui William setelah segala yang kamu lakukan?”Binar tersentak. Ia terlalu fokus kepada sang tuan sehingga tidak menyadari ada seseorang yang sedang bergelayut manja di lengan pria itu. Pelan-pelan pandangan Binar bergulir ke arahnya. Ke arah sang nyonya muda yang kini tengah menatap angkuh, sebab kedamaian hidupnya mendadak terusik.“Kamu masih punya muka untuk menemui Willy?” ulang Rachel murka. “Dasar perempuan nggak tahu malu!”“Sa-saya hanya ingin Tuan William melihat putranya, Mba
**Tangan Binar gemetar saat ia menggendong bayinya dan membawanya pulang ke rumah hari ini. Bayi tampan yang masih merah itu tertidur pulas dalam balutan selimut di pelukan Binar. Dengan diantar Gio, ia melangkah pelan hendak memasuki rumah.Namun apa yang terjadi?“Siapa yang bilang kamu bisa tetap tinggal di sini?”Langkah Binar seketika terhenti begitu ia sampai di ambang pintu. Vidia, sang ibu tiri, berdiri menyambut dengan raut keruh. Pandangan mata wanita itu menyipit, menatap buntalan selimut dalam pelukan Binar.“I-Ibu ….”“Kamu pikir rumah ini masih bisa menampung beban keluarga sepertimu? Kamu sudah bikin malu keluarga dengan perbuatanmu itu, Binar. Jadi sebaiknya kamu jangan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”Binar tersentak. Sama sekali tidak mengira sambutan yang ia terima bahkan saat luka melahirkan masih nyeri adalah seperti ini. Selama beberapa detik, perempuan itu hanya bisa tertegun di ambang pintu.“Bu Vidia, Binar baru saja pulang dari rumah sakit. Kenapa anda
**Dua Tahun.William Aarav bertopang dagu di atas meja kerjanya, menatap kosong kepada hamparan pemandangan kota di luar dinding kaca ruangannya yang megah.Kegiatan yang seperti sudah menjadi kebiasaan pria itu selama dua tahun belakangan ini jika ia sedang tidak begitu sibuk ; melamun.Dua tahun sejak ia berpisah dengan istri kecilnya. Saat ini, William sama sekali tidak mengetahui di mana Binar berada. Juga putra perempuan itu, yang hingga detik ini sama sekali tidak pernah William ketahui seperti apa wajahnya.Pria itu menghela napas. Ia beranjak dari kursi kebesaran dan mengayun langkah keluar dari kantor Diamond Group, tempat kebanggaannya selama ini.William rasa ia butuh penyegaran otak. Seharian duduk di balik layar laptop membuatnya merasa sakit kepala.Sang tuan yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun itu akhirnya memilih mengemudi memutari kota dan menghentikan kendaraannya di sebuah taman yang tampak damai.Sesuatu yang William tidak pernah lakukan sebelumnya. Mau apa m
**William tidak bisa berhenti memikirkannya.Paras itu, sosok mungil yang berlari-lari riang di dalam kepalanya sejak siang tadi.Hingga lebih dari tengah malam, William masih termangu di tepi balkon ruang tengah rumah megahnya. Merenung dengan batang nikotin terselip di antara jemari. Sekali-sekali celah bibirnya menghembuskan asap sepekat benaknya kala itu.William tidak akan sadar bahwa saat itu sudah tengah malam, kalau saja ia tidak menengok sebab mendengar langkah-langkah kaki datang dari arah tangga.“Rachel?” Ia menyebut reflek saat mendapati sang istri baru saja pulang. Masih dengan penampilan glamor full make up. Yang bersangkutan tertegun sesaat saat melihat suaminya memandang sengit dari kejauhan. “Ini hampir jam setengah dua dini hari, Rachel. Bagaimana mungkin kamu baru pulang jam segini?”William bertanya, sebab sebelum ini sang istri setidaknya sudah di rumah paling lambat jam dua belas malam. Kalaupun terlambat dan terpaksa pulang larut, ia pasti mengabari terlebih
**Binar masih separuh tertidur saat ponselnya berdering.Ia bangun dan duduk, lantas meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, perempuan itu menggulir layar untuk menerima panggilan teleponnya. Ia pikir mungkin itu adalah Gio.“Halo?” sapanya dengan suara mengantuk. Binar bahkan tidak sempat melihat saat itu jam berapa. Ia hanya ingat melirik Noah yang tengah lelap di atas ranjang. Memastikan sang putra baik-baik saja, kemudian baru bisa fokus kepada ponselnya lagi.“Halo?” Binar mengulangi.Tidak ada suara jawaban dari seberang. Binar memutuskan itu adalah semacam telepon iseng dan berniat mematikan panggilan saja, namun suara dalam yang pelan membuatnya mengurungkan niat.“Binar?”Binar mengernyit. Ingat, ia masih setengah mengantuk jadi tidak bisa seratus persen fokus. Kendati demikian, alam bawah sadarnya mengenal suara itu dengan sangat familiar.“Ya, halo?”“Binar, kamu belum tidur?”Kerutan halus menghiasi kening Binar. Sekali lagi ia me
Resepsi pernikahan kedua dari Presdir Diamond Group sedang dihelat secara private. Para tamu yang hadir tampak menikmati pesta di mansion mewah itu, kecuali satu orang--Binar Azaleya. Pengantin wanita dari Tuan William itu bahkan memilih undur diri ke kamar kala waktu masih menunjukkan pukul 22.00.Klak!Lampu kamar mansion mewah itu menyala otomatis begitu Binar masuk. Segera ia menuju kamar mandi untuk melepaskan gaun pengantin mewah yang masih melekat pada tubuh rampingnya. Sayangnya, berkali-kali dia mencoba, resleting yang terletak di bagian punggung itu tak mau turun. Gadis itu sampai kembali ke area kamar untuk mencari sesuatu yang dapat membantunya. “Biar kubantu!” Suara bariton dari belakang membuat Binar tersentak. Pasalnya, ia tidak mendengar seseorang masuk ke dalam kamar.“Tuan William? Kenapa Anda ada di sini?” Ragu, Binar bertanya.“Aku juga lelah. Semua tamu sudah pulang.” Pria tampan itu hanya menyahut pendek seraya membantu membuka resleting bagian belakang gaun p
**Betapa anehnya kalimat William barusan, seakan pria itu ingin menegaskan bahwa Binar bukanlah istri sungguhan.Kendati demikian, perempuan itu hanya mengangguk tanpa kata-kata. Ia meraih bathrobe untuk menutupi tubuh sebelum melangkah ke kamar mandi dan meninggalkan sang suami.Tak menyadari jika William tengah menatap noda merah kecoklatan di atas seprai.Pria itu menarik napas panjang. “Aku tidak pernah mengira akan melakukan ini. Aku harap Rachel akan mengerti. Aku melakukannya untuk kebaikan bersama dan sama sekali tidak berniat untuk mengkhianatinya.”Satu jam kemudian, Binar dan William sudah duduk di atas kursi meja makan di lantai bawah, bersama seorang perempuan cantik mempesona, Rachel Aluna.Istri pertama William yang berusia 29 tahun itu berprofesi sebagai foto model terkenal.Seketika, Binar merasa begitu insecure dengan keberadaan Rachel yang berkilauan.Rasanya, ia sungguh tak layak menyandang status istri William, walau hanya yang kedua.“Binar, ini adalah Rachel, i