**“Kalau kamu tidak melakukan apapun saat ini, aku tidak yakin apakah perempuan itu akan baik-baik saja saat dia kembali datang di rumahku nanti.”Hati Gio terasa mencelos ketika sebaris pesan virtual itu terbaca pada layar ponselnya. Ia mengulum bibir, merasa frustasi dengan kenekatan Rachel yang semakin hari semakin tidak bisa dikondisikan.“Apa-apaan perempuan ini?” desis Gio geram sekali. Ia memilih mengabaikan pesan itu dan menganggapnya hanya gertakan semata, namun detik berikutnya ponselnya kembali berdering lagi. Ada pesan masuk yang kedua.Rachel mengirimkan gambar sebilah pisau yang tampak tajam dan berkilau. Membuat Gio berjengit kaget.Di bawah gambar itu, tersemat caption ‘Coming Soon’.Rachel memang tidak waras.“Sialan!” Gio berseru sendirian. Mendadak saja otaknya yang biasanya cemerlang tidak bisa ia gunakan untuk berpikir. “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak bisa lihat perempuan itu menyakiti Binar. Aku jelas nggak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya
**Tiga hari Binar dirawat di rumah sakit, ini adalah hari terakhir. Akhirnya perempuan itu sudah boleh pulang hari ini. Seharusnya orang tidak senang ketika harus sakit, namun untuk Binar, ini adalah pengecualian. Beberapa hari ini William menjadi sangat perhatian kepadanya, dan rasanya Binar rela sakit terus agar bisa bersama lebih lama dengan suaminya itu.William sudah memasukkan barang-barang Binar ke dalam travel bag dan bersiap bertolak dari rumah sakit, ketika salah seorang perawat datang memanggilnya.“Ada sesuatu yang harus dokter bicarakan dengan Tuan,” tutur perawat muda itu.William mengangguk. Tidak masalah baginya, sebab belakangan perawatan Binar sudah kembali diambil alih oleh Dokter Ardi. Jadi pria itu pikir, kali ini pun Dokter Ardi yang akan ia temui.Di tengah jalan, ternyata gadis perawat itu berkata lain.“Dokter Gio menunggu anda di ruangannya, Tuan. Silahkan masuk, ruangannya ada di sebelah sini.” Gadis perawat itu membukakan pintu yang berada di dekatnya, dan
**William sama sekali tidak tahu, mimpi buruk apa yang sedang ia dengar ini. Pria rupawan itu hanya bisa diam tertegun dengan amarah menggelegak, terpancar dari sepasang obsidian bening yang kini nyalang dan memerah.“Kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan apa yang kau katakan ini, sial!” desis William. Ia berkata demikian kendati hatinya sudah seperti ditikam dengan pedang tajam. Ia sama sekali tidak mengenal Binar sebelum ini, jadi bagaimana ia bisa seratus persen percaya dengan perempuan itu?Walaupun Binar adalah perempuan yang kini dicintainya. Walaupun status Binar adalah istrinya yang sah. Namun jika ada berita seperti ini, bagaimana kepercayaan William tidak goyah? TIdak mungkin.Hanya karena mempertahankan harga diri, William masih tampak angkuh dan tegak. Padahal dalam hatinya, ia sedang jatuh tersungkur ditikam kenyataan yang Gio sodorkan.“Aku tidak butuh kepercayaanmu.” Gio melanjutkan dengan jumawa. Pria itu tahu, ada getar dalam sorot mata sang presdir. Dan kare
**Gio hanya bisa tertegun di tempat, tidak tahu harus melakukan apa untuk membujuk Binar. Perempuan itu sama sekali tidak bisa didekati. Ia hanya terus menangis dan meratap, menyebut nama William.Sampai pada titik ini, Gio akhirnya menyesali perbuatan bodohnya yang memaksa salah satu rekan laboratorium untuk menerbitkan laporan palsu. Gio bisa saja dijebloskan ke dalam penjara jika perbuatannya terungkap. Dalam hal ini pria muda itu mensyukuri sikap William yang percaya begitu saja tanpa menelusuri kebenarannya terlebih dahulu.“Tuan William … aku akan pulang dan membuktikan bahwa ini benar-benar bayinya.”Gio tersentak kaget tatkala Binar tiba-tiba beranjak dari lantai. Tergesa-gesa perempuan itu mengayun langkah keluar ruangan.“Binar, tunggu dulu! Kamu masih lemah, jadi jangan melangkah cepat-cepat seperti itu!”“Apa pedulimu, ha? Apa pedulimu, sial!”“Binar! Sebentar ….” Gio berusaha mengejar dan meraih pergelangan tangan perempuan bersurai panjang yang pucat pasi itu. Bisa saja
**Sepuluh hari setelah kejadian itu.Ini adalah pertama kalinya Juliana Aarav melihat sang putra setelah acara pernikahan yang berlangsung kurang lebih tujuh bulan silam. Wanita yang menderita kelumpuhan kaki akibat stroke itu tersenyum tatkala William datang di penthouse-nya yang berada di Singapura. Bukan tanpa alasan orang tua William tinggal di luar negeri. Selain untuk mengurus bisnis mereka yang kebetulan memang berbasis di sana, juga agar lebih mudah untuk mendapatkan pengobatan. Selama setahun belakangan, kondisi Juliana Aarav tidak terlalu baik. Wanita yang berusia hampir enam puluh lima tahun itu harus keluar masuk rumah sakit. Sebab sang suami, Rajendra Aarav sudah berpulang tiga tahun silam, Juliana mengurus sendiri bisnis toko perhiasan miliknya. William sudah berkali-kali mengingatkan sang ibu untuk berhenti bekerja, namun wanita itu tidak setuju.“Lihat siapa yang datang.” Juliana menggulir roda kursinya mendekati William yang baru saja membuka pintu kamar, Wanita itu
**Lima hari berlalu.Binar masih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangisi William yang sama sekali tidak ingin bertemu atau berbicara dengan dirinya sejak hari itu. Jadi Binar terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, membawa rasa malu yang mendalam. Tidak ada yang berpihak kepadanya di dalam rumah itu, kecuali mungkin sang ayah yang walaupun begitu kecewa namun masih memiliki simpati. Selebihnya, ia hanya menerima cibiran dan sikap sarkas yang menyakitkan dari ibu dan adik tirinya.Terlebih-lebih lagi, Gio datang menemuinya setiap kali memiliki waktu luang. Menghibur, menyemangati, dan berusaha memenuhi kebutuhan apapun yang Binar perlukan.“Jangan datang lagi,” tutur perempuan itu hari ini, saat Gio untuk ke sekian kali datang menemuinya di rumah. “Aku nggak ingin melihatmu lagi, Mas.”“Aku akan tetap datang walaupun kamu nggak mau melihatku, Binar.” Gio memandangi perempuan ayu itu, yang sedang termangu di tepi jendela. Ingin rasa hati memeluknya hingga rasa sedihnya mer
**“Kamu yakin akan membawa dia ketemu sama William?” Rudy Gunawan berujar dengan ragu kepada Gio, yang siang itu meminta izin kepadanya untuk mengantarkan Binar menemui pria yang masih berstatus sebagai suaminya. “Ayah khawatir Binar akan semakin sedih karena mendapatkan perlakuan yang tidak baik di sana.”“Ada aku,” tukas Gio dengan senyum samar. “Aku nggak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu yang akan menyakiti Binar, Ayah.”Rudy menghela napas. Ia tidak yakin, namun tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi kala ia lihat sang putri yang sudah duduk tenang di dalam mobil, kendati Gio masih berada di dalam rumah.“Sepertinya Binar sungguh-sungguh mencintai William. Ayah nggak mengira ini akan terjadi, sebab perjanjian awalnya adalah, Binar dibebaskan pergi setelah melahirkan keturunan yang akan ia serahkan kepada William.”Gio menunduk lesu. “Ini kesalahanku. Aku yang membuat semuanya jadi berantakan seperti ini.”Membuat yang lebih tua turut mengalihkan pandang kepadanya. Gio
**“T-Tuan ….” Binar bergumam dengan suara tercekat. Tanpa sadar ia mengambil langkah mundur, sebab raut wajah sang suami tampak begitu mengancam saat itu.“Aku tanya, mau apa lagi kau datang ke sini?”“T-Tuan, dengarkan penjelasan saya dulu. Saya–”“Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu. Laporan tes DNA itu sudah sangat jelas!”“Demi Tuhan, Tuan William! Ini adalah anak anda, yang sedang saya kandung!”“Aku bilang pergi dari sini! Pergi sekarang, atau kau menunggu aku lempar keluar?”Binar tersentak kaget, tidak mengira sang tuan akan berkata sekasar itu.Selama ini William memang bukanlah orang yang lemah lembut, namun ia juga tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti ini. Betapa kagetnya Binar saat ia mendengarnya sendiri keluar dari bibir pria itu –dan dialamatkan kepadanya– saat ini.Kendati demikian, perempuan itu masih bersikukuh mencoba menjelaskan.“Tuan, saya mohon, dengarkan saya dulu! Gio berbohong! Dia berbohong mengatakan semua ini untuk menjauhkan saya dari a