**
Binar tertegun memandang perempuan cantik di hadapannya. Selama beberapa saat ia hanya terdiam di tempat, sama sekali tidak mengerti mengapa Rachel bisa berkata seperti itu.
“Mbak? Bagaimana mungkin saya menipu Tuan William? Dokter sendiri yang menyatakan saya hamil setelah dilakukan pemeriksaan.”
“Bisa saja kamu sudah merencanakan semua ini dari awal. Kamu sudah hamil sebelum menikah dengan suamiku, mungkin?”
“Mbak, astaga! Saya nggak seperti itu!”
Binar benar-benar kaget dengan tuduhan Rachel yang tidak berdasar itu. Ini sangat tidak masuk akal, mengingat yang menginginkan kehamilan ini adalah William dan Rachel sendiri, bukan Binar. Bahkan pernikahan itu akan segera berakhir setelah Binar melahirkan. Jadi bagaimana bisa Rachel menuduhnya demikian?
“Aku hanya berjaga-jaga,” pungkas Rachel akhirnya. “Aku hanya memastikan bahwa benih itu benar-benar milik suamiku. Hanya keturunan suamiku yang akan menjadi pewaris Diamond Group.”
Sementara Binar tetap terpaku di tempat dengan kerutan menghiasi keningnya. Ia bahkan masih mengingat rasa sakit saat malam pertamanya dengan William kala itu, bagaimana mungkin ia melakukannya dengan orang lain seperti yang Rachel tuduhkan?
“Jangan khawatir, saya nggak akan mengkhianati kalian. Ini benar-benar anak Tuan William.” Binar berujar dengan sakit hati. Ia menunduk sampai langkah-langkah kaki Rachel terdengar meninggalkan kamarnya.
Belum sampai satu jam Binar menginjakkan kaki di rumah ini, ia sudah mendapatkan perlakuan demikian dari istri pertama suaminya. Bagaimana ia bisa bertahan hingga sembilan bulan ke depan, sampai bayi yang dikandungnya lahir?
“Sepertinya benar-benar bukan ide bagus Tuan William membawaku pindah ke sini. Besok aku akan bicara lagi sama beliau, siapa tahu aku diizinkan kembali lagi ke rumah lama.”
Binar kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia berbaring, memandang nyalang langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak menentu. Merasa demikian terpuruk hingga tertidur tanpa sadar.
*
“Binar, kamu sudah bangun?”
Binar terlonjak kaget saat pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Ia sedang berada di depan cermin rias pagi itu.
“Ah, maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud mengagetkanmu. Aku lupa nggak ketuk pintu dulu.” William yang masih berada di ambang pintu menyadari bahwa perbuatannya membuat kaget yang lebih muda.
“Nggak apa-apa, Tuan. Saya sudah bangun dari tadi kok.” Binar mengulas senyum tipis. Ia berusaha tidak banyak memandang William yang pagi itu sudah rapi dengan kemeja dan celana kantornya.
“Oke, bisakah kamu keluar dan sarapan bersama? Rachel sudah menunggu.”
Mendadak saja selera makan Binar lenyap ketika nama Rachel disebut. Ia sangat ingin menghindari berada dalam satu area dengan perempuan cantik itu, tapi bagaimana bisa?
“Binar? Kenapa kamu malah melamun? Aku bilang, ayo keluar dan sarapan.”
“Oh, baiklah.”
Tidak bisa. Kalimat penolakan itu tersendat di tenggorokan, dan Binar tak bisa menyuarakannya. Akhirnya ia berakhir melangkah keluar kamar, mengikuti Willliam menuju meja makan.
Benar saja, kedatangannya disambut dengan lirikan enggan dari sang istri pertama.
“Se-selamat pagi, Mbak Rachel,” sapa Binar berbasa-basi. Satu yang lain hanya menjawab dengan anggukan kecil. Itu agak menyakitkan.
“Kamu mau makan apa? Menu ini nggak apa-apa, kan?” Lagi-lagi, William tidak sadar dengan sikap istri pertamanya. Pria itu malah mendekatkan piring menu kepada Binar dan berujar dengan antusias. “Kamu harus makan yang banyak, Binar. Sekarang kamu kan makan buat dua orang. Kamu mau makan apa?”
“Ah? Oh, saya makan apa saja nggak masalah, kok.” Binar menelan saliva. Ia merasa tidak enak saat William menambahkan ini dan itu ke dalam piringnya.
“Dokter bilang kamu boleh makan apa saja selama nggak berlebihan. Bilang saja kalau misalnya kamu mau sesuatu. Apa itu istilahnya, mengidam, eh?”
Senyum kecil tersemat pada bibir William saat ia mengatakannya. Secara reflek Binar memandang kepada Rachel, dan ia bisa melihat betapa horor wajah perempuan itu.
“Tu-Tuan William, sudah cukup. Saya nggak akan bisa menghabiskannya kalau terlalu banyak.” Binar segera menarik piringnya menjauh. Sebisa mungkin meminimalisir interaksi dengan pria itu, sebab tidak ingin semakin menambah kecanggungan pada meja makan yang mewah ini.
“Oh ya, Binar, nanti jangan lupa minum vitamin yang dikasih dokter kemarin. Dan juga–”
Kata-kata William terputus oleh suara dentang keras yang berasal dari sampingnya. Rachel menjatuhkan garpunya dengan sengaja.
“Aku harus berangkat sekarang, Will. Hari ini aku pemotretan pagi,” ujarnya kepada William tanpa sedikitpun memandang ke arah Binar.
William yang merasa Rachel menjadi agak tersinggung dengan perhatiannya kepada Binar, mendadak agak menjauh. Pria itu berdehem dengan salah tingkah. “Rachel, kamu juga harus sarapan dulu. Kamu punya gerd, kan? Jadi, kamu juga nggak bisa skip sarapan.”
“Kamu tahu, aku harus menjaga berat badan. Penampilan penting untukku.”
“Tapi, Rachel–”
“It’s okay. Aku berangkat dulu.”
Perempuan cantik semampai itu meninggalkan meja makan diiringi pandangan dalam dari sang suami. Sementara Binar hanya bisa membisu sembari menundukkan pandangan. Ini benar-benar terasa tidak nyaman. Betapa Binar merasa ia telah merebut perhatian sang suami dari istri pertamanya, padahal ia sama sekali tidak memiliki maksud seperti itu.
Sepeninggalnya, saat hanya tinggal Binar berdua dengan William di meja makan, perempuan itu berdehem lirih. Ia berusaha menenangkan diri sebelum berucap.
“Tuan William?”
Sang tuan memandangnya. “Ya?”
“Apakah … tidak sebaiknya saya kembali lagi saja ke rumah yang lama itu? Bolehkah saya pindah ke sana lagi?”
***
** “Pindah ke rumah lama? Apa maksudmu?” William mengerutkan alis. Wajahnya menyiratkan rasa tidak setuju saat mendengar usulan dari Binar. “Saya hanya nggak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya sama Mbak Rachel.” “Apa yang bisa disalahpahami sama Rachel? Aku nggak ngerti apa maksudmu.” Bagaimana Binar menjelaskannya? Padahal ia pikir sikap dingin Rachel kepadanya sangat kentara. Mengapa William tidak paham juga? Perempuan itu kembali menunduk sembari mempermainkan garpu yang ia pegang. “Yah, saya hanya nggak ingin Mbak Rachel terganggu dengan perhatian yang anda berikan kepada saya, Tuan.” “Perhatian?” Seperti baru saja menyadari hal ini, wajah William mendadak agak merona. “Yah … aku pikir itu hal yang wajar. Aku dengar trimester pertama kehamilan itu masa yang berat. Aku hanya ingin membantu.” Wah, Binar sedikit kagum. Bahkan William mengerti hal-hal seperti ini. Rupanya pria ini sudah sangat siap menjadi seorang ayah. William adalah sosok yang tampan rupawan, berpendid
**“Binar, kenapa kamu lakukan itu? Kamu tahu itu berbahaya!” William menegur dengan nada sedikit tinggi, membuat istri keduanya terkesiap.“Saya nggak sengaja, Tuan. Saya nggak bermaksud–”“Kamu sengaja!”Binar terhenyak kaget saat Rachel berseru kepadanya dengan suara keras. Perempuan itu masih merintih kesakitan saat William mendekat kepadanya. Saat Binar melihat telapak kaki Rachel, ruam kemerahan terlihat di sana.“Kamu sengaja jatuhkan nampannya biar kaki aku kena air panas, iya kan?”“Mbak, saya benar-benar nggak sengaja ….”“Bohong!”“Rachel, kita ke rumah sakit saja sekarang, ya?” William yang tampak bingung menghadapi kedua istrinya, berusaha menengahi. “Kita ke dokter sekarang biar kaki kamu lekas dapat penanganan. Sini, biar aku bantu.” Pria 35 tahun itu membantu sang istri pertama untuk berdiri dan memapahnya berjalan. “A-apakah saya boleh ikut ke dokter?” Binar menyela, berkata pelan penuh harap.“Mau ngapain ikut? Mau ngetawain aku, iya?” sahut Rachel penuh emosi, yan
**“Hanya luka seperti ini nggak perlu ke dokter segala kok, Tuan. Saya kan bukan seorang model seperti Mbak Rachel. Nggak masalah kalau saya punya sedikit bekas luka.”William mengernyit. Tampak tidak setuju, namun tidak berkata apapun. Arah pandangnya kembali jatuh kepada kaki Binar. Menatap ruam kemerahan yang menodai permukaan kulit putih itu.“Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Karena kamu sekarang nggak hidup sendirian.”“Ah ….” Binar menelan saliva. Ia merasa tertampar dengan kalimat terakhir suaminya itu. Benar sekali, yang William khawatirkan sebenarnya adalah calon bayi dalam perutnya, bukannya Binar sendiri. “Jangan khawatir. Dia terlindungi dengan sempurna di dalam sini, Tuan.”William mengangguk sembari bangun dan menegakkan tubuh. Pandangannya yang kembali datar bahkan cenderung dingin, sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu. “Ya sudah kalau kamu baik-baik saja. Tolong lebih hati-hati lain kali. Seperti yang kamu ketahui, penampilan memang sangat pent
**“Nyonya! Nyonya Binar pingsan di ruang tengah!”Rachel baru saja menyeruput Earl Grey Tea dari cangkirnya saat seorang perempuan muda pegawai rumah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Pingsan?” Dahi Rachel berkerut. “Tapi dia baru saja mengucapkan selamat pagi kepadaku.”“Kami menemukannya di ruang tengah. Apakah harus panggil dokter, Nyonya? Ataukah harus menunggu Tuan datang?”Rachel terhenyak, sadar bahwa tidak akan bagus jika William melihat keadaan ini. Ia menggeleng sesaat. “Kalian bawa ke mana dia?”“Ke kamar, Nyonya. Haruskah menelepon dokter sekarang?”“Biar aku sajalah yang telepon dokter. Kamu bisa kembali ke belakang, aku akan lihat dia ke kamar.”Pegawai perempuan itu mengangguk dengan hormat sebelum undur diri kembali ke belakang. Meninggalkan Rachel sendirian yang berdecih kesal sembari berdiri dengan malas. “Kenapa lagi sih itu orang? Drama banget perasaan. Baru juga hamil, sudah bikin gara-gara saja kerjaannya.”Perempuan rupawan itu menyeret langkah malas-malas
**“Binar? Kamu apa kabar, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?”Mendengar pertanyaan seperti itu, Binar justru hampir menangis lagi. Tentu saja ia tidak baik-baik saja saat ini. Tapi apakah ia bisa mengatakan semua itu kepada ayah yang sangat disayanginya? Tentu saja tidak, sebab sudah pasti sang ayah akan khawatir.“Aku baik-baik saja, Ayah ….” Sembari menghela napas, Binar menjawab. “Aku kangen, pengen ketemu Ayah. Aku akan minta izin sama Tuan William untuk pulang sebentar ke rumah buat ketemu sama Ayah hari ini.”Hening sejenak, Binar menyeka air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Ia menahan diri sekuat tenaga agar isak tangisnya tidak sampai lolos dan terdengar hingga ke seberang. Namun agaknya sang Ayah tetap bisa merasakan hal itu.“Kamu yakin baik-baik saja? Jangan memaksa pergi kalau suami kamu nggak kasih izin, ya?”“Dia akan mengizinkanku, Ayah tenang saja.”Binar diam lagi. Sejujurnya ia juga tidak tahu apakah sang suami akan mengizinkannya keluar atau tidak. Namun me
**Sampai juga, akhirnya.Rumah itu masih sama seperti dua bulan yang lalu, ketika Binar meninggalkannya untuk menikah dan hidup sebagai istri kedua seorang bos muda tampan yang sudah menyelamatkan hidup keluarganya dari kebangkrutan.Terpaksa menerima keadaan, meski kala itu semalaman penuh Binar menangis, bahkan berniat kabur dari rumah –walau akhirnya tidak jadi ia lakukan. Statusnya sebagai anak tiri di rumah ini mengharuskannya mengalah dengan semua keputusan kedua orang tuanya, termasuk menjadi pengantin kedua putra satu-satunya keluarga Aarav. William Aarav diharuskan memiliki penerus yang tidak bisa diberikan oleh Rachel Aluna, maka kedua orang tua Binar yang notabene memiliki banyak hutang budi kepada keluarga Aarav, menyerahkan putri sulung mereka untuk membantu.“Kamu melamun lagi? Sebenarnya memang benar-benar mau ketemu ayahmu atau nggak, sih?”Terkesiap, Binar buru-buru menoleh kepada sang suami. Ia terkejut sendiri saat menyadari bahwa mobil William sudah berhenti dari
**Pukul sembilan malam tepat, mobil hitam William kembali berhenti di halaman rumah orang tua Binar. Binar yang sebelumnya menghabiskan waktu sembari bercengkerama bersama ayahnya, beranjak dengan berat hati. Ia tidak ingin meninggalkan rumah, sesungguhnya. Namun, mana bisa begitu, kan?“Aku pulang dulu, Ayah,” pamitnya sembari mencium punggung tangan Rudy. Yang bersangkutan pun tampak berat melepas putrinya kembali, namun seperti halnya Binar, Rudy juga tidak bisa melakukan apapun.“Tuan William, apakah nggak mau masuk dulu?” Di luar dugaan, Vidia melesat keluar dari kamarnya dan menyapa William dengan gembira kala melihat pria itu datang. “Tuan William sudah makan malam? Mari, masuk dulu.”William mengangguk kecil, kentara sekali terpaksa mengulas senyum. “Sudah, terima kasih. Saya hanya akan menjemput Binar kembali.”“Ah, saya harap dia nggak merepotkan anda di sana, Tuan. Binar tuh kan banyak maunya, ya. Nggak kebayang kalau sedang hamil seperti ini, pastinya ngidam ini itu juga.
**“Oh, kamu sudah menikah, ternyata?” Gio bertanya dengan heran. Raut wajahnya berubah setelah mendengar penuturan dari William barusan. “Kenapa aku sama sekali nggak mendengar kabarnya, Binar? Kamu nggak kasih aku undangan?”“Binar memang nggak ingin memberitahu siapapun. Apakah itu sangat mengganggumu?” sahut William dingin, membuat Gio terperangah.“Bukan begitu. Maksudnya–”“Mas Gio, saya harus pergi sekarang karena ini sudah malam. Sampai ketemu lagi ya, Mas.” Terburu-buru Binar memotong sebab merasa atmosfir di sekitar sana menjadi kurang nyaman. Ia agak menarik lengan William untuk masuk ke dalam mobil, agar pria itu tidak terus-terusan bersitatap tajam dengan satu yang lain di hadapannya.Binar sedikitnya menyesal, mengapa harus bertemu dengan Giorgino Gautama, teman sejak kecilnya, pada waktu yang tidak sesuai seperti itu.Mobil kembali melaju, kemudian. Dan masih seperti yang tadi, keheningan melanda dalam kabin. Namun kali ini keheningan itu terasa agak lain, karenanya Bin
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang