Almeera terbangun setelah huru-hara yang terjadi kemarin. Semalaman, ia berpikir dan menunggu balasan dari Kaisar yang tak kunjung datang. Dengan mata yang masih sedikit bengkak akibat menangis, Almeera bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. ‘Kenapa Tuan Kaisar masih belum membalas pesanku? Apa dia sibuk?’ gumam Almeera melihat ponselnya yang tidak ada notifikasi pesan dari Kaisar.Almeera berusaha mengabaikan pertanyaan yang muncul di pikirannya. Ia memilih untuk mandi dan bersiap-siap ke kantor. Ketika sarapan pagi, suasana di meja makan terasa canggung. Karenina duduk di seberang Almeera, dengan ekspresi yang begitu tenang. “Bagaimana pesta semalam, Almeera? Apakah semuanya berjalan lancar?” tanyanya dengan bola mata membulat. Di akhir ucapannya, Karenina sempat tersenyum miring saat Almeera tak melihat. “Semuanya berjalan lancar. Nona Clara sangat baik kepada saya,” ucap Almeera. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan kekacauan yang menimpa dirinya pada pesta tersebut. Kareni
Setelah Kaisar duduk, Pak Jefri mengangguk dengan sopan dan menyapa Kaisar terlebih dahulu.“Selamat pagi, Tuan Kaisar,” katanya penuh hormat. Kemudian, ia beralih kepada Reval, “Selamat pagi, Pak Reval.”“Selamat pagi,” balas Kaisar dengan anggukan singkat.Pak Jefri segera memulai presentasi, mengingat semua orang sudah lengkap berada di ruangan itu. “Baiklah, mari kita mulai. Hari ini kita akan membahas proyek ‘Perhiasan Sang Dewi’. Desain yang telah kami siapkan meliputi anting, cincin, gelang, dan kalung. Rencana produksi akan dimulai bulan depan, jika budget yang kami ajukan telah disetujui.”Lelaki itu menampilkan beberapa slide yang memperlihatkan desain perhiasan. Anting yang elegan dengan berlian berbentuk tear-drop, cincin, gelang dan kalung dengan liontin berbentuk sayap. “Mengenai detail rancangan, akan saya serahkan pada Bu Wendi selaku desainer.”Wendi berdiri menggantikan Pak Jefri dengan percaya diri. “Sesuai dengan namanya, desain perhiasan ini saya buat agar seti
Duduk berhadapan langsung dengan Kaisar terasa mencekam. Padahal, sebelumnya Almeera menunggu balasan pesan dari pria itu. Namun, saat berhadapan langsung rasanya ada yang janggal dan berbeda dari Kaisar.“Kenapa kamu kelihatan seperti orang ketakutan, Almeera? Apakah kamu sudah melakukan kesalahan?” tanya Kaisar, suaranya terdengar dingin dan serasa menusuk hingga ke tulang. Almeera hanya bisa menggeleng pelan. Kaisar membuka laporan tersebut sejenak, matanya meneliti setiap halaman dengan teliti. Lalu dirinya meletakkan kertas-kertas itu ke atas meja sambil menyandarkan tubuh di kursi. Kedua matanya menatap Almeera yang tidak berani mengangkat wajahnya.“Kapan kamu mengerjakan laporan ini? Apakah sebelum atau sesudah kamu berdansa mesra dengan Reval?” sindir Kaisar.‘Jadi ini alasannya dia memanggilku? Dari mana dia tahu mengenai kepergianku ke pesta itu?’ batin Almeera ketakutan. Mau tak mau, Almeera memberanikan diri dan mengangkat wajahnya. Mata gadis itu berkaca-kaca ketika be
Almeera menatap cermin di toilet, menyeka air mata yang tersisa dan merapikan kemejanya yang kusut. Dengan tangan gemetar, dia menyisir rambutnya yang berantakan dan berusaha menenangkan diri. Meski hatinya masih terasa sakit, dia harus kembali ke ruang kerja dan bersikap biasa agar tidak menarik perhatian rekan kerjanya.Ketika Almeera keluar dari toilet, dia menekan tombol lift dan menunggu dengan cemas. Pintu lift terbuka, dan dia masuk, menekan tombol lantai tiga. Perasaan gugup dan kesedihan masih menyelimuti, tetapi dia berusaha menutupi semuanya dengan wajah tenang. Sehancur apa pun perasaannya saat ini, ia masih punya tanggung jawab untuk bekerja. Ia memang tak ahli dalam menyembunyikan perasaan, tapi kali ini Almeera berkamuflase dengan baik. Ia berlagak semuanya baik-baik saja, walau matanya masih berair dan bibirnya bengkak.Setibanya di ruang kerjanya, Almeera duduk di mejanya dan membuka laptop, berpura-pura sibuk. Dia merasakan tatapan rekan-rekannya, tetapi berusaha te
“Kenyang sekali rasanya,” gumam Almeera memegangi perutnya.Kepala Almeera menoleh ke kiri dan kanan, memantau pengunjung warung ini. Ketika ia selesai membayar makanan, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. “Kenapa tiba-tiba kepalaku sakit?” lirihnya sambil memejamkan mata sesaat menahan sakit. “Mungkin aku harus menghirup udara segar,” lanjutnya melihat banyaknya orang yang berada di tempat ini.Almeera memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar kompleks ruko agar rasa pusingnya berkurang. Di sepanjang jalan, pikirannya terus berputar mengenai segala hal yang telah diucapkan dan diperbuat oleh Kaisar. Dengan langkah gontai, Almeera memasuki minimarket terdekat untuk membeli minuman dan obat sakit kepala. Tanpa disadarinya, seorang preman yang bernama Tejo telah membuntutinya sejak dari tenda ayam bakar.Setelah mengambil obat sakit kepala di etalase yang terpajang, Almeera segera menuju ke kasir. “Ada lagi yang mau dibeli, Mbak?” tanya sang kasir.“Tidak ada.” Almeera mengeluarkan u
Almeera tersentak bangun, kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Saat matanya mulai fokus, ia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah ruangan kotor yang mirip gudang. Dindingnya berlumut, lantainya berdebu, dan bau apek memenuhi udara. Ia mencoba bergerak, namun merasakan tangan dan kakinya terikat erat. Kepanikan mulai merayap ke dalam dirinya.“Di mana aku? Apa yang terjadi?” gumam Almeera bermonolog. Tiba-tiba, kesadarannya pulih sepenuhnya. Ia ingat bagaimana Tejo mengajaknya mencari kos, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap. “Apakah aku diculik?” pikirnya, ketakutan menguasai.Almeera menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuat tenaga, “Tolong! Tolong aku! Siapa pun, tolong!” Suaranya bergema di dalam ruangan yang sunyi, tetapi tak ada jawaban.“Tolong! Tolong!” teriaknya terus menerus sampai tenggorokannya terasa kering.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Tiga sosok masuk, membuat jantung Almeera berdegup kencang. Tejo masuk lebih dulu, diikuti ole
Kaisar tiba di depan gudang yang tampak usang dan kotor. Suara gemeretak dari gerbang besi tua itu menggema ketika mobil berhenti. Dari kejauhan, ia bisa melihat dua preman yang duduk di depan gudang, merokok dengan santai. Sementara seorang pria paruh baya sedang berbicara dengan mereka. Kaisar menebak pria itu sebagai Kasman, ayah tiri Almeera.Pak Wahyu yang mengemudikan mobil langsung berbisik dengan cemas, “Tuan, apakah kita akan menunggu Pak Willy dan para bodyguard dulu?”“Tidak ada waktu selama itu, Almeera bisa saja dalam bahaya saat ini,” jawab Kaisar. “Tapi, akan sangat berbahaya jika Tuan masuk ke sana tanpa bantuan.” Pak Wahyu mulai cemas dengan keberanian Kaisar.Namun, Kaisar tidak bisa menahan dirinya lagi. Setiap detik yang berlalu terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membayangkan Almeera yang mungkin sedang menderita di dalam gudang itu. “Aku harus menyelamatkan Almeera sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama,” jawabnya tegas.Kaisar keluar dari mobil. Ia sud
Mobil melaju meninggalkan tempat Almeera diculik Kasman. Sepanjang jalan, tangan Almeera tidak dibiarkan lepas dari genggaman Kaisar. Bahkan duduk saja, Almeera disuruh mendekat. Sesekali, Kaisar melirik ke arah Almeera yang tampak masih shock akibat kejadian tadi. Namun, saat matanya tertuju pada wajah Almeera, ia menyadari sesuatu yang berbeda.“Almeera, tompel di pipimu ... Kenapa tidak ada?” Kaisar bertanya dengan nada lembut, tangannya mengelus pipi Almeera yang kini bersih tanpa tanda hitam itu. “Apakah selama ini tompel itu palsu?”Almeera terkejut mendengar pertanyaan Kaisar, air matanya mulai menggenang. Dengan ragu, ia mengangguk. “Iya, Tuan. Maafkan saya,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Selama ini, saya terpaksa berbohong. Tompel itu palsu. Mata saya juga sebenarnya juga normal, saya tidak butuh kacamata. Saya terpaksa melakukannya demi keselamatanku.”Kaisar mulai memahami Almeera, setelah melihat apa yang terjadi pada wanita itu. Jika Almeera bicara sebelum kejadian i