Duduk berhadapan langsung dengan Kaisar terasa mencekam. Padahal, sebelumnya Almeera menunggu balasan pesan dari pria itu. Namun, saat berhadapan langsung rasanya ada yang janggal dan berbeda dari Kaisar.“Kenapa kamu kelihatan seperti orang ketakutan, Almeera? Apakah kamu sudah melakukan kesalahan?” tanya Kaisar, suaranya terdengar dingin dan serasa menusuk hingga ke tulang. Almeera hanya bisa menggeleng pelan. Kaisar membuka laporan tersebut sejenak, matanya meneliti setiap halaman dengan teliti. Lalu dirinya meletakkan kertas-kertas itu ke atas meja sambil menyandarkan tubuh di kursi. Kedua matanya menatap Almeera yang tidak berani mengangkat wajahnya.“Kapan kamu mengerjakan laporan ini? Apakah sebelum atau sesudah kamu berdansa mesra dengan Reval?” sindir Kaisar.‘Jadi ini alasannya dia memanggilku? Dari mana dia tahu mengenai kepergianku ke pesta itu?’ batin Almeera ketakutan. Mau tak mau, Almeera memberanikan diri dan mengangkat wajahnya. Mata gadis itu berkaca-kaca ketika be
Almeera menatap cermin di toilet, menyeka air mata yang tersisa dan merapikan kemejanya yang kusut. Dengan tangan gemetar, dia menyisir rambutnya yang berantakan dan berusaha menenangkan diri. Meski hatinya masih terasa sakit, dia harus kembali ke ruang kerja dan bersikap biasa agar tidak menarik perhatian rekan kerjanya.Ketika Almeera keluar dari toilet, dia menekan tombol lift dan menunggu dengan cemas. Pintu lift terbuka, dan dia masuk, menekan tombol lantai tiga. Perasaan gugup dan kesedihan masih menyelimuti, tetapi dia berusaha menutupi semuanya dengan wajah tenang. Sehancur apa pun perasaannya saat ini, ia masih punya tanggung jawab untuk bekerja. Ia memang tak ahli dalam menyembunyikan perasaan, tapi kali ini Almeera berkamuflase dengan baik. Ia berlagak semuanya baik-baik saja, walau matanya masih berair dan bibirnya bengkak.Setibanya di ruang kerjanya, Almeera duduk di mejanya dan membuka laptop, berpura-pura sibuk. Dia merasakan tatapan rekan-rekannya, tetapi berusaha te
“Kenyang sekali rasanya,” gumam Almeera memegangi perutnya.Kepala Almeera menoleh ke kiri dan kanan, memantau pengunjung warung ini. Ketika ia selesai membayar makanan, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. “Kenapa tiba-tiba kepalaku sakit?” lirihnya sambil memejamkan mata sesaat menahan sakit. “Mungkin aku harus menghirup udara segar,” lanjutnya melihat banyaknya orang yang berada di tempat ini.Almeera memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar kompleks ruko agar rasa pusingnya berkurang. Di sepanjang jalan, pikirannya terus berputar mengenai segala hal yang telah diucapkan dan diperbuat oleh Kaisar. Dengan langkah gontai, Almeera memasuki minimarket terdekat untuk membeli minuman dan obat sakit kepala. Tanpa disadarinya, seorang preman yang bernama Tejo telah membuntutinya sejak dari tenda ayam bakar.Setelah mengambil obat sakit kepala di etalase yang terpajang, Almeera segera menuju ke kasir. “Ada lagi yang mau dibeli, Mbak?” tanya sang kasir.“Tidak ada.” Almeera mengeluarkan u
Almeera tersentak bangun, kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Saat matanya mulai fokus, ia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah ruangan kotor yang mirip gudang. Dindingnya berlumut, lantainya berdebu, dan bau apek memenuhi udara. Ia mencoba bergerak, namun merasakan tangan dan kakinya terikat erat. Kepanikan mulai merayap ke dalam dirinya.“Di mana aku? Apa yang terjadi?” gumam Almeera bermonolog. Tiba-tiba, kesadarannya pulih sepenuhnya. Ia ingat bagaimana Tejo mengajaknya mencari kos, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap. “Apakah aku diculik?” pikirnya, ketakutan menguasai.Almeera menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuat tenaga, “Tolong! Tolong aku! Siapa pun, tolong!” Suaranya bergema di dalam ruangan yang sunyi, tetapi tak ada jawaban.“Tolong! Tolong!” teriaknya terus menerus sampai tenggorokannya terasa kering.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan keras. Tiga sosok masuk, membuat jantung Almeera berdegup kencang. Tejo masuk lebih dulu, diikuti ole
Kaisar tiba di depan gudang yang tampak usang dan kotor. Suara gemeretak dari gerbang besi tua itu menggema ketika mobil berhenti. Dari kejauhan, ia bisa melihat dua preman yang duduk di depan gudang, merokok dengan santai. Sementara seorang pria paruh baya sedang berbicara dengan mereka. Kaisar menebak pria itu sebagai Kasman, ayah tiri Almeera.Pak Wahyu yang mengemudikan mobil langsung berbisik dengan cemas, “Tuan, apakah kita akan menunggu Pak Willy dan para bodyguard dulu?”“Tidak ada waktu selama itu, Almeera bisa saja dalam bahaya saat ini,” jawab Kaisar. “Tapi, akan sangat berbahaya jika Tuan masuk ke sana tanpa bantuan.” Pak Wahyu mulai cemas dengan keberanian Kaisar.Namun, Kaisar tidak bisa menahan dirinya lagi. Setiap detik yang berlalu terasa seperti duri yang menusuk hatinya, membayangkan Almeera yang mungkin sedang menderita di dalam gudang itu. “Aku harus menyelamatkan Almeera sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama,” jawabnya tegas.Kaisar keluar dari mobil. Ia sud
Mobil melaju meninggalkan tempat Almeera diculik Kasman. Sepanjang jalan, tangan Almeera tidak dibiarkan lepas dari genggaman Kaisar. Bahkan duduk saja, Almeera disuruh mendekat. Sesekali, Kaisar melirik ke arah Almeera yang tampak masih shock akibat kejadian tadi. Namun, saat matanya tertuju pada wajah Almeera, ia menyadari sesuatu yang berbeda.“Almeera, tompel di pipimu ... Kenapa tidak ada?” Kaisar bertanya dengan nada lembut, tangannya mengelus pipi Almeera yang kini bersih tanpa tanda hitam itu. “Apakah selama ini tompel itu palsu?”Almeera terkejut mendengar pertanyaan Kaisar, air matanya mulai menggenang. Dengan ragu, ia mengangguk. “Iya, Tuan. Maafkan saya,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Selama ini, saya terpaksa berbohong. Tompel itu palsu. Mata saya juga sebenarnya juga normal, saya tidak butuh kacamata. Saya terpaksa melakukannya demi keselamatanku.”Kaisar mulai memahami Almeera, setelah melihat apa yang terjadi pada wanita itu. Jika Almeera bicara sebelum kejadian i
Setelah mengambil obat, Kaisar menggandeng tangan Almeera menuju ke mobil. Almeera merasa sedikit canggung tetapi juga bahagia. Saat mereka tiba di apartemen Kaisar, yang terletak di lantai tujuh sebuah gedung mewah, Almeera tertegun melihat kemewahan yang ada di depan matanya. Apartemen itu begitu elegan dengan dekorasi modern, perabotan mahal, dan pemandangan kota yang menakjubkan dari jendela besar yang menghiasi ruang tamu.“Tuan, apakah benar ini isinya apartemen? Sangat mewah,” bisik Almeera kagum.“Kamu suka apartemen ini?”“Suka, sangat bagus,” puji Almeera.“Baguslah, kamu boleh merubah apa pun jika kamu mau.”Kepala Almeera spontan menoleh. “Bukankah kita hanya tiga hari? Lagian, ini terlalu sempurna untuk saya. Jadi, rasanya tidak ada yang perlu diubah lagi.”Kaisar menuntun Almeera melewati ruang tamu menuju kamar utama. Kamar itu luas, dengan dinding berwarna netral yang menenangkan dan seprai putih bersih yang terpasang rapi di ranjang king size. Perabotannya pun terliha
Almeera masih belum bisa bernapas dengan leluasa setelah mendengar pernyataan Kaisar barusan. Rasanya ini tidak nyata dan angan saja bagi Almeera. Pada akhirnya, Almeera mengangguk dengan wajah merona, menatap Kaisar dengan mata yang penuh kejujuran. “Aku bersedia benar-benar menjadi istrimu mulai sekarang, Tuan. Karena sebenarnya, aku memang mencintaimu,” katanya dengan suara lembut namun penuh keyakinan.“Aku sudah menduganya,” ucap Kaisar ditambah dengan senyum manis yang mampu mengalihkan dunia Almeera saat ini juga.Kaisar merasa hatinya meluap dengan kebahagiaan mendengar pengakuan Almeera. Tanpa ragu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Almeera dan mencium bibirnya dengan lembut. Ciuman itu awalnya penuh kelembutan, perlahan berubah menjadi lebih dalam dan penuh gairah. Almeera merespons dengan penuh perasaan, merasa hatinya berdebar kencang. Ciuman mereka seakan menghapus segala keraguan dan ketakutan yang pernah ada, menyatukan dua hati yang saling mencintai.Ketika Kaisar akhir
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe