Di ruangannya, Kaisar sedang berdiri menghadap jendela kaca, melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Banyak hal yang dia pikirkan hari ini, terutama masalah keluarganya yang seolah tak pernah habis. Entah mengapa ia terpikir tentang kondisi Almeera pasca kepulangan Karenina ke mansion. Pasti gadis itu merasa serba salah, bila berhadapan dengan Karenina dan Hana sekaligus.Dalam kerumitan pikirannya, Kaisar mendengar pintu ruangannya terbuka perlahan. Tak lama, Akbar masuk dengan membawa sejumlah dokumen. Kaisar sudah tahu apa yang hendak dibicarakan oleh asistennya itu.“Selamat pagi, Tuan. Ini laporan dari pabrik dan pengajuan budget dari divisi marketing. Pak Jerico juga sudah menunggu di depan, ingin bertemu Anda.”“Suruh dia masuk, kamu bisa kembali ke ruanganmu, Akbar,” pungkas Kaisar sembari duduk di kursi kebesarannya. Ini adalah hari pertama Jerico kembali menjabat sebagai wakil CEO, karena itu Kaisar bersedia menemuinya.Akbar meletakkan dokumen di atas me
Dengan jantung yang berdebar kencang, Almeera berjalan di belakang perawat yang mendorong kursi roda Karenina. Hingga akhirnya, gerakan roda itu berhenti di depan kamar Karenina. Almeera berhenti sejenak di depan pintu kayu, merasa was-was untuk masuk. “Masuk saja, Almeera. Aku yang mengundangmu ke kamarku,” kata Karenina sembari menoleh ke belakang.Bunyi detik jam dinding yang terdengar, seolah ikut mengiringi langkah-langkah cemas Almeera. Ketika pintu terbuka, gadis itu bisa melihat perubahan total pada dekorasi kamar Karenina. Kini ruangan tersebut tak lagi seperti tempat perawatan orang sakit, melainkan berubah menjadi kamar yang mencerminkan keanggunan pemiliknya. Tempat tidur Karenina sudah diganti dengan ranjang baru berukuran king-size. Sementara tirai jendela, seprai, dan bantal semuanya bernuansa serba ungu. Di atas nakas juga terdapat bunga anggrek segar, yang memberikan sentuhan kehidupan dan keharuman yang menenangkan.Dengan bantuan sang perawat, Karenina berpindah k
Daripada pikiran dan perasaannya semakin kacau, Almeera memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia tahu tidak lama lagi Kaisar pasti akan malam bersama dengan Karenina, Hana, dan mungkin juga Reval. Karenanya, ia harus sadar diri. Sebagai orang luar, tidaklah pantas bila ia bergabung dengan anggota keluarga Syailendra di meja makan. Ketika Almeera berbalik pergi, Kaisar sempat melirik bayangan gadis itu. Namun Kaisar tidak berkata apa-apa karena di depannya ada Karenina. “Kenapa kamu tidak beristirahat di kamar?” tanya Kaisar sembari menarik tangannya perlahan dari genggaman Karenina.Perempuan itu nampak terkejut dengan perilaku Kaisar yang seakan menolak untuk disentuh. Namun, Karenina berusaha tetap tenang. Ini hanyalah sebuah permulaan. Nanti juga Kaisar akan terbiasa menerima dirinya lagi sebagai istri. Apalagi, kondisinya yang belum sehat akan membuat hati Kaisar lebih mudah luluh. “Aku bosan di kamar terus, Hubby. Sudah lama aku tidak bisa melakukan tugas sebagai seorang istri. S
Mendengar sindiran tajam itu, Almeera mengerti bahwa yang dimaksud oleh Kaisar adalah dirinya. Merasa tak enak hati, gadis itu memutuskan untuk turun ke bawah. Ini semua dia lakukan supaya Kaisar bersedia bergabung di meja makan dengan keluarganya. “Tuan, tiba-tiba perut saya lapar. Saya akan mengambil makanan di bawah,” ujar Almeera sembari meletakkan ponsel pemberian Kaisar di atas nakas.Mendengar ucapan Almeera, Kaisar beranjak dari tempat tidur. Tanpa banyak bicara, pria itu membuka pintu dan berjalan keluar dari kamar. Mau tak mau, Almeera mengekori langkah Kaisar. Ketika tiba di ujung tangga, Almeera sengaja memperlambat langkahnya agar Kaisar lebih dulu sampai di meja makan.“Kaisar, kenapa kamu lama sekali? Nina sudah menunggu dari tadi,” tegur Hana.“Tidak apa-apa, Tante. Kaisar tadi bilang ingin istirahat sebentar,” sahut Karenina berpura-pura tampil sebagai istri yang pengertian.Kaisar tidak menjawab pertanyaan Hana dan langsung duduk di kursi. Almeera pun bermaksud hend
“Apa yang akan kamu lakukan, Nina? Bagaimana caranya kamu membuat Almeera dipecat?” tanya Hana sembari membantu Karenina berbaring di tempat tidur. Karenina memiringkan bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Hana. “Apa Tante ingat supervisor divisi desain yang bernama Wendi? Dia adalah sepupu dari temanku, Tasya. Wendi pasti mau menjadi tangan kanan sekaligus mata-mataku, karena aku yang memberinya pekerjaan di PT. Tunjung Biru,” tandas Karenina.Paras Hana yang semula dipenuhi kekhawatiran, seketika berubah menjadi cerah. Ia tidak menyangka Karenina akan mendapatkan gagasan secemerlang itu.“Idemu sangat bagus, Nina. Hanya saja, Reval akan menjadi direktur divisi desain. Bisa jadi dia akan marah kalau tahu kamu bekerja sama dengan Wendi,” ujar Hana.“Reval tidak akan tahu, Tante. Aku jamin itu. Aku akan menyuruh Wendi bertindak serapi mungkin untuk mencari celah menjatuhkan Almeera,” tandas Karenina.Sementara itu, di kamar Almeera berusaha mengutak-atik ponsel pemberian Kaisar. Seben
Di kampung, Gayatri sedang gelisah memikirkan bagaimana nasib Almeera. Pasalnya, hingga saat ini dia belum mendapat kabar dari Mirza sama sekali. Perempuan tua itu berharap agar Mirza berhasil menemukan Almeera dan memastikan seperti apa sosok lelaki yang telah menjadi suami sang cucu. Daripada terus gelisah, Gayatri memutuskan untuk berbelanja bahan makanan di pasar. Namun ketika melangkahkan kaki di halaman, perempuan tua itu terkejut melihat kedatangan Mirza. Dengan wajah gembira, Gayatri menyambut lelaki muda itu. Hanya saja, harapannya langsung pupus ketika mendapati Mirza datang tanpa Almeera. Apalagi, wajah lelaki itu terlihat lesu seperti kehilangan semangat. “Mirza, kamu sudah kembali dari Jakarta? Apa kamu bertemu Meera?” tanya Gayatri tidak sabar. “Kita bicara di dalam saja, Nek. Saya akan menceritakan semuanya.”Gayatri pun mengurungkan niatnya untuk berbelanja dan mengajak Mirza masuk ke rumah. Sesudah lelaki muda itu duduk, ia menghujani Mirza dengan pertanyaan yang s
Meski masih bingung dengan apa yang terjadi, Almeera menuruti perkataan Bi Yuli. Sesudah berpamitan kepada Karenina, Almeera bergegas keluar dari mansion. Di halaman, ia benar-benar melihat Reval sudah menantinya di dalam mobil. Pagi ini, Reval terlihat lebih berkharisma karena memakai setelan jas slimfit berwarna abu-abu tua. “Almeera, cepat masuk supaya kita tidak terlambat ke kantor. Aku akan mengadakan meeting jam sembilan,” kata Reval sembari membuka pintu mobil.Almeera cukup terkejut mendengar perkataan Reval. Namun, ia tetap masuk ke mobil sesuai dengan perintah pria itu. Ketika duduk di kursi, ia tidak dapat menahan diri untuk bertanya mengapa Reval sampai menjemputnya. “Tuan, saya akan naik ojek saja. Tidak enak kalau dilihat oleh karyawan lain,” kata Almeera.“Ini perintah dari Kak Kaisar. Dia meneleponku semalam dan menyuruhku untuk menjemputmu. Mungkin dia takut kalau kamu akan tersesat,” kata Reval. Setelah berkata demikian, pria itu langsung mengemudikan mobilnya kelu
Tepat jam sembilan, seluruh staf divisi desain membereskan meja kerja mereka. Dengan membawa alat tulis masing-masing, mereka buru-buru pergi ke ruang meeting yang letaknya di ujung lantai tiga. Almeera berjalan paling belakang, mengekori langkah Rindu yang berada di depannya.Pak Jefry, yang pertama kali membuka ruang meeting. Pendingin ruangan telah dinyalakan sejak tadi, begitu pula dengan pengharum ruangan beraroma lavender. Pak Jefri dan Wendi pun mengambil tempat duduk lebih dulu, disusul oleh para staf. Almeera sengaja memilih duduk di dekat pintu, sedangkan di sebelahnya adalah Rindu. Satu-satunya kursi yang kosong adalah yang berada di tengah ruangan. Nampaknya kursi itu akan dipakai untuk sang direktur. Ketika para staf sudah duduk melingkari meja kayu, pintu ruangan itu mendadak terbuka dari luar. Entah mengapa jantung Almeera berdetak lebih kencang dari yang ia harapkan. Ini adalah pertama kalinya ia akan menghadiri meeting dengan seluruh tim, dan ketegangan mulai terasa
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe