Pertanyaan pria itu membuat Almeera semakin bingung. Entah mengapa ia malah bertanya balik seolah-olah dia adalah pemilik mansion ini. Namun bila dipikir lagi, rasanya mustahil bila ada seorang penyusup yang masuk, sebab gerbang mansion dijaga ketat oleh security.“Berjanjilah untuk tidak berteriak, maka aku akan melepaskanmu,” kata pria itu. Almeera mengangguk pelan. Lebih baik, ia menurut dulu kepada pria ini supaya dibebaskan. Setelahnya, ia akan mencari tahu identitas dari lelaki misterius ini. Begitu pria tersebut melepaskan tangannya, Almeera langsung meraup oksigen sebanyak mungkin. Mencoba untuk meredakan denyut panik di dalam dadanya. Sesudah berhasil mengatur napas, gadis itu menjawab dengan gemetar, “Saya … Almeera.”Pria tersebut masih menatap Almeera tak berkedip. Dengan tangannya yang kokoh, ia menahan pinggang ramping Almeera. Sementara kedua alisnya tertaut, seolah mempertanyakan nama gadis itu. “Almeera?” ulangnya dengan ragu. “Kenapa aku tidak pernah mendengar ten
Di rumah sakit, Kaisar sedang berdiri di sisi brankar, menatap sang istri yang masih tergolek lemah. Dokter baru saja menjadwalkan sejumlah terapi dan pemeriksaan laboratorium untuk Karenina besok pagi. Ia tahu bahwa semua prosedur itu tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi bagi seseorang yang baru tersadar dari koma.Usai dokter dan perawat pergi, Karenina kembali memohon pada Kaisar dengan mata berkaca-kaca. Terlihat jelas bahwa wanita itu enggan untuk berada terlalu lama di rumah sakit.“Tolong, bawa aku pulang sekarang, Kaisar. Aku merasa lebih nyaman di rumah.”Rasa iba menyeruak di relung hati Kaisar, tetapi dia tetap menggeleng dengan tegas. Toh, ini semua harus dilakukan demi kesembuhan Karenina.“Di rumah sakit perawatanmu lebih terjamin. Bersabarlah sedikit, Nina.”Melihat Kaisar belum mengabulkan permintaannya, Karenina merengek dengan suara lirih. “Kalau begitu kamu harus menjaga aku di sini. Jangan tinggalkan aku sendirian.”“Aku perlu bekerja, tidak mungkin bisa selalu m
Beberapa kali, Almeera menggeliat ke kanan dan ke kiri. Meski kamar sang adik sangat tenang dan kasurnya terasa nyaman, ia tidak bisa terlelap. Pikiran gadis itu malah berputar-putar mengenai kata-kata Reval tentang kacamatanya. Ia khawatir Reval akan membongkar penyamarannya di depan Kaisar. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Almeera memutuskan untuk keluar dari kamar. Mencari tahu apakah Reval masih terjaga atau sudah tertidur. Langkahnya ringan melintasi lorong yang tenang, menyelinap di antara bayang-bayang yang terpantul dari cahaya remang di koridor. Namun mendadak ia berhenti, merasa bingung yang mana kamar dari adik Kaisar itu.Di kala Almeera sedang berpikir, ia terkejut melihat Reval keluar dari kamar, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Rambutnya masih basah, menandakan bahwa lelaki itu baru saja selesai mandi. Cahaya lembut dari koridor menerangi tubuhnya yang tinggi dan atletis.“Tuan Reval!” desis Almeera. Ia merasa malu karena kepergok oleh Reval. Saudara l
Untuk beberapa saat Kaisar terdiam, bingung mencari jawaban yang tepat. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya harus terburu-buru pulang ke mansion. Mungkinkah pikiran dan hatinya saat ini mulai tidak sinkron?“Aku ingin bicara dengan Reval. Kami sudah lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada suara yang tidak meyakinkan. Baru sekali ini, Kaisar merasa canggung saat berbicara.Almeera pun memandang sang suami dengan tatapan rumit. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Kaisar sudah mengambil alih kendali percakapan. Jangan sampai Almeera melemparkan pertanyaan lain, yang akan mengusik gengsinya sebagai laki-laki.“Tidurlah, jangan keluar lagi dari kamar. Aku akan menemui Reval,” tegas Kaisar dengan suara yang lebih lembut. Pria itu bergegas membuka pintu dan meninggalkan Almeera sendirian di kamar. Almeera termenung sejenak di tempat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sikap Kaisar yang otoriter dan gemar berprasangka buruk, membuatnya bingung dan terluka. Namun, ia mem
Usai percakapan dengan topik yang berat, Reval mencoba mencairkan suasana. Ia merasa perlu menceritakan tentang rencananya untuk berpindah tempat tinggal. Tidaklah pantas bila ia tinggal satu atap bersama dengan dua orang istri kakaknya.“Besok, aku akan mencari apartemen. Sudah waktunya bagiku untuk hidup mandiri, Kak,” ujar Reval. Kaisar langsung mengangguk paham. “Keputusanmu itu benar, Reval. Kamu pasti butuh ruang untuk hidup mandiri, apalagi kamu sudah terbiasa tinggal di apartemen.”“Iya, Kak, secepatnya aku akan pindah. Aku sudah dapat beberapa referensi apartemen, yang fasilitasnya sesuai dengan keinginanku. Aku akan berkunjung ke sana untuk melihat-lihat.”Reval lantas berdiri dari sofa sembari merentangkan kedua lengannya. Kedua netranya menyipit, pertanda ia sudah ingin merebahkan diri di tempat tidur. Seluruh tubuhnya juga terasa letih, akibat terlalu lama berada di dalam pesawat.“Aku ke kamar dulu, Kak. Aku butuh tidur sekarang.”“Istirahatlah, besok kita berangkat ber
Dengan diantar oleh sopir pribadi Kaisar, Almeera dan Rifki tiba di sekolah internasional yang ditunjuk oleh Kaisar. Bangunan sekolah tersebut megah dan modern, dikelilingi taman hijau yang terawat dengan baik. Almeera merasa kagum dengan fasilitas yang ada, tetapi perasaan cemasnya mulai muncul saat mereka memasuki area administrasi sekolah.Selama berbicara dengan staf administrasi, Almeera menyadari bahwa seluruh proses pembelajaran di sekolah tersebut menggunakan bahasa Inggris. Dia menoleh ke arah Rifki yang terlihat bingung dan sedikit gugup. Hal ini wajar terjadi, sebab di sekolahnya yang lama Rifki tidak memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.“Dek, apakah kamu mengerti apa yang mereka katakan tadi?” tanya Almeera lembut.Rifki menggeleng pelan, matanya menunjukkan kebingungan. “Tidak, Mbak Meera, aku hanya mengerti sedikit,” jawab bocah lelaki itu dengan suara pelan.Almeera menghela napas, merasa khawatir. Dia tidak ingin Rifki merasa kesulitan di sekolah, apala
Senyum terukir di wajah Almeera tatkala keluar dari ruang periksa dokter. Pasalnya, sang dokter mengatakan bahwa Rifki sudah diizinkan beraktivitas di sekolah. Kini, tak ada lagi keraguan pada diri Almeera untuk mendaftarkan adiknya ke sekolah berasrama.Karena tidak memiliki ponsel, gadis itu meminta tolong kepada sopir Kaisar untuk mencarikan informasi tentang sekolah berasrama di internet. Dihadapkan pada beberapa pilihan, Almeera menemukan sebuah sekolah yang tampak ideal untuk Rifki. Sekolah tersebut memiliki reputasi pendidikan yang baik, dan menawarkan fasilitas asrama yang lengkap. Selain itu, pendidikan di sana menawarkan konsep alam, sehingga Rifki akan merasa dekat dengan kampung halamannya.Almeera segera menghubungi sekolah tersebut untuk membuat janji temu. Siapa sangka ia justru diundang untuk datang sekarang. Tanpa menunda, ia dan Rifki berkunjung ke sekolah yang dikelilingi oleh pepohonan hijau dan danau buatan. Setibanya di sana, Almeera dan Rifki disambut oleh staf
Enggan berdebat dengan ibu tirinya, Kaisar lantas keluar dari kamar rawat Karenina. Hana pun ingin menyusul langkah Kaisar, tetapi Reval segera mencegahnya. Ia meminta sang ibu untuk bersabar menunggu hasil pembicaraan antara Kaisar dengan dokter yang menangani Karenina. “Dokter, bagaimana kondisi istri saya?” tanya Kaisar sesudah masuk ke ruang konsultasi. “Kondisi organ vital Nyonya Karenina berfungsi dengan normal. Hanya saja, kita perlu menunggu hasil dari MRI, Tuan,” katanya sambil menatap Kaisar. Dokter menghela napas pelan, lalu menjelaskan dengan hati-hati, “Nyonya Karenina juga harus menjalani terapi rutin untuk kaki dan tangannya. Sementara ini, dia harus duduk di atas kursi roda dan membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.”Sembari mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi Karenina, Kaisar merasa ada satu pertanyaan penting yang harus diajukan. “Saya mengerti, Dok. Tapi, apakah Nina diperbolehkan pulang? Sepertinya, dia merasa bosan jika harus me
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe