Di rumah sakit, Kaisar sedang berdiri di sisi brankar, menatap sang istri yang masih tergolek lemah. Dokter baru saja menjadwalkan sejumlah terapi dan pemeriksaan laboratorium untuk Karenina besok pagi. Ia tahu bahwa semua prosedur itu tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi bagi seseorang yang baru tersadar dari koma.Usai dokter dan perawat pergi, Karenina kembali memohon pada Kaisar dengan mata berkaca-kaca. Terlihat jelas bahwa wanita itu enggan untuk berada terlalu lama di rumah sakit.“Tolong, bawa aku pulang sekarang, Kaisar. Aku merasa lebih nyaman di rumah.”Rasa iba menyeruak di relung hati Kaisar, tetapi dia tetap menggeleng dengan tegas. Toh, ini semua harus dilakukan demi kesembuhan Karenina.“Di rumah sakit perawatanmu lebih terjamin. Bersabarlah sedikit, Nina.”Melihat Kaisar belum mengabulkan permintaannya, Karenina merengek dengan suara lirih. “Kalau begitu kamu harus menjaga aku di sini. Jangan tinggalkan aku sendirian.”“Aku perlu bekerja, tidak mungkin bisa selalu m
Beberapa kali, Almeera menggeliat ke kanan dan ke kiri. Meski kamar sang adik sangat tenang dan kasurnya terasa nyaman, ia tidak bisa terlelap. Pikiran gadis itu malah berputar-putar mengenai kata-kata Reval tentang kacamatanya. Ia khawatir Reval akan membongkar penyamarannya di depan Kaisar. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Almeera memutuskan untuk keluar dari kamar. Mencari tahu apakah Reval masih terjaga atau sudah tertidur. Langkahnya ringan melintasi lorong yang tenang, menyelinap di antara bayang-bayang yang terpantul dari cahaya remang di koridor. Namun mendadak ia berhenti, merasa bingung yang mana kamar dari adik Kaisar itu.Di kala Almeera sedang berpikir, ia terkejut melihat Reval keluar dari kamar, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Rambutnya masih basah, menandakan bahwa lelaki itu baru saja selesai mandi. Cahaya lembut dari koridor menerangi tubuhnya yang tinggi dan atletis.“Tuan Reval!” desis Almeera. Ia merasa malu karena kepergok oleh Reval. Saudara l
Untuk beberapa saat Kaisar terdiam, bingung mencari jawaban yang tepat. Ia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya harus terburu-buru pulang ke mansion. Mungkinkah pikiran dan hatinya saat ini mulai tidak sinkron?“Aku ingin bicara dengan Reval. Kami sudah lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada suara yang tidak meyakinkan. Baru sekali ini, Kaisar merasa canggung saat berbicara.Almeera pun memandang sang suami dengan tatapan rumit. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Kaisar sudah mengambil alih kendali percakapan. Jangan sampai Almeera melemparkan pertanyaan lain, yang akan mengusik gengsinya sebagai laki-laki.“Tidurlah, jangan keluar lagi dari kamar. Aku akan menemui Reval,” tegas Kaisar dengan suara yang lebih lembut. Pria itu bergegas membuka pintu dan meninggalkan Almeera sendirian di kamar. Almeera termenung sejenak di tempat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sikap Kaisar yang otoriter dan gemar berprasangka buruk, membuatnya bingung dan terluka. Namun, ia mem
Usai percakapan dengan topik yang berat, Reval mencoba mencairkan suasana. Ia merasa perlu menceritakan tentang rencananya untuk berpindah tempat tinggal. Tidaklah pantas bila ia tinggal satu atap bersama dengan dua orang istri kakaknya.“Besok, aku akan mencari apartemen. Sudah waktunya bagiku untuk hidup mandiri, Kak,” ujar Reval. Kaisar langsung mengangguk paham. “Keputusanmu itu benar, Reval. Kamu pasti butuh ruang untuk hidup mandiri, apalagi kamu sudah terbiasa tinggal di apartemen.”“Iya, Kak, secepatnya aku akan pindah. Aku sudah dapat beberapa referensi apartemen, yang fasilitasnya sesuai dengan keinginanku. Aku akan berkunjung ke sana untuk melihat-lihat.”Reval lantas berdiri dari sofa sembari merentangkan kedua lengannya. Kedua netranya menyipit, pertanda ia sudah ingin merebahkan diri di tempat tidur. Seluruh tubuhnya juga terasa letih, akibat terlalu lama berada di dalam pesawat.“Aku ke kamar dulu, Kak. Aku butuh tidur sekarang.”“Istirahatlah, besok kita berangkat ber
Dengan diantar oleh sopir pribadi Kaisar, Almeera dan Rifki tiba di sekolah internasional yang ditunjuk oleh Kaisar. Bangunan sekolah tersebut megah dan modern, dikelilingi taman hijau yang terawat dengan baik. Almeera merasa kagum dengan fasilitas yang ada, tetapi perasaan cemasnya mulai muncul saat mereka memasuki area administrasi sekolah.Selama berbicara dengan staf administrasi, Almeera menyadari bahwa seluruh proses pembelajaran di sekolah tersebut menggunakan bahasa Inggris. Dia menoleh ke arah Rifki yang terlihat bingung dan sedikit gugup. Hal ini wajar terjadi, sebab di sekolahnya yang lama Rifki tidak memakai bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.“Dek, apakah kamu mengerti apa yang mereka katakan tadi?” tanya Almeera lembut.Rifki menggeleng pelan, matanya menunjukkan kebingungan. “Tidak, Mbak Meera, aku hanya mengerti sedikit,” jawab bocah lelaki itu dengan suara pelan.Almeera menghela napas, merasa khawatir. Dia tidak ingin Rifki merasa kesulitan di sekolah, apala
Senyum terukir di wajah Almeera tatkala keluar dari ruang periksa dokter. Pasalnya, sang dokter mengatakan bahwa Rifki sudah diizinkan beraktivitas di sekolah. Kini, tak ada lagi keraguan pada diri Almeera untuk mendaftarkan adiknya ke sekolah berasrama.Karena tidak memiliki ponsel, gadis itu meminta tolong kepada sopir Kaisar untuk mencarikan informasi tentang sekolah berasrama di internet. Dihadapkan pada beberapa pilihan, Almeera menemukan sebuah sekolah yang tampak ideal untuk Rifki. Sekolah tersebut memiliki reputasi pendidikan yang baik, dan menawarkan fasilitas asrama yang lengkap. Selain itu, pendidikan di sana menawarkan konsep alam, sehingga Rifki akan merasa dekat dengan kampung halamannya.Almeera segera menghubungi sekolah tersebut untuk membuat janji temu. Siapa sangka ia justru diundang untuk datang sekarang. Tanpa menunda, ia dan Rifki berkunjung ke sekolah yang dikelilingi oleh pepohonan hijau dan danau buatan. Setibanya di sana, Almeera dan Rifki disambut oleh staf
Enggan berdebat dengan ibu tirinya, Kaisar lantas keluar dari kamar rawat Karenina. Hana pun ingin menyusul langkah Kaisar, tetapi Reval segera mencegahnya. Ia meminta sang ibu untuk bersabar menunggu hasil pembicaraan antara Kaisar dengan dokter yang menangani Karenina. “Dokter, bagaimana kondisi istri saya?” tanya Kaisar sesudah masuk ke ruang konsultasi. “Kondisi organ vital Nyonya Karenina berfungsi dengan normal. Hanya saja, kita perlu menunggu hasil dari MRI, Tuan,” katanya sambil menatap Kaisar. Dokter menghela napas pelan, lalu menjelaskan dengan hati-hati, “Nyonya Karenina juga harus menjalani terapi rutin untuk kaki dan tangannya. Sementara ini, dia harus duduk di atas kursi roda dan membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.”Sembari mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi Karenina, Kaisar merasa ada satu pertanyaan penting yang harus diajukan. “Saya mengerti, Dok. Tapi, apakah Nina diperbolehkan pulang? Sepertinya, dia merasa bosan jika harus me
“Kak Mirza, tolong lepaskan. Tidak enak dilihat oleh orang-orang,” pinta Almeera.Mendapat teguran dari Almeera, Mirza akhirnya melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah sang gadis pujaan lekat-lekat, sarat akan kerinduan. Namun, alisnya sedikit berkerut saat menyadari bahwa ada yang berubah dari penampilan Almeera. “Aku datang ke Jakarta untuk mencari kamu. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku percaya akan menemukanmu. Beberapa hari lalu ada pria yang bertamu ke rumah Nenek Gayatri, dan bilang bahwa kamu sudah menikah. Apa itu benar, Meera?” tanya Mirza tanpa jeda.Almeera meneguk ludahnya kasar. Tenggorokannya mendadak terasa kering kerontang, hingga sukar untuk mengeluarkan suara. Ia yakin bahwa lelaki yang dimaksud Mirza tersebut adalah Willy, orang kepercayaan Kaisar.Sementara Almeera masih belum memberikan jawaban, Mirza kembali mengamati penampilan gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Dulu, Almeera adalah gadis paling menawan yang ia kenal. Senyum yang manis, ramb