“Opa akan meminta Kaisar untuk membelikanmu ponsel baru, supaya kita lebih mudah berkomunikasi,” ujar Tuan Barata sebelum mengakhiri panggilannya.“Terima kasih, Opa. Semoga Opa cepat sembuh dan segera kembali ke Jakarta,” jawab Almeera.Senyuman masih terukir di bibir gadis itu ketika menutup telepon dari Tuan Barata. Almeera hendak kembali ke taman, tetapi ia terkejut mendengar suara deheman keras di belakangnya. Mengenali siapa pemilik suara itu, Almeera pun berpaling dan beradu pandang dengan Hana. “Duduk, aku ingin bicara denganmu,” titah Hana. Ia mengambil posisi di tengah sofa, dengan gaya duduk bagai seorang ratu penguasa negri. Melihat wajah Hana yang tegang, Almeera dilanda rasa cemas. Ia berpikir bahwa Hana mungkin akan memarahinya lagi entah dengan alasan apa. Meski begitu, ia tidak punya pilihan selain mendengarkan semua perkataan dari ibu tiri Kaisar itu. “Apa saja yang kamu katakan kepada Papa Barata? Kamu mengadukan tentang aku?” tanya Hana dengan nada sinis.“Tida
Masih malu bertemu dengan Kaisar, Almeera tidak berani kembali ke kamar. Gadis itu memilih untuk menemani Rifki di kamarnya. Tak sampai sepuluh menit di tempat tidur, sang adik sudah terlelap. Mungkin karena badannya terlalu lelah setelah seharian bepergian dan bermain basket, Rifki jadi lebih cepat tertidur. Usai membetulkan letak selimut, Almeera berbaring di samping Rifki. Baru saja ia hendak memejamkan mata, terdengar bunyi ketukan di pintu. Mau tak mau, Almeera turun dari tempat tidur untuk membuka pintu.Seketika pipinya memanas tatkala bersitatap dengan Kaisar. Ternyata, usahanya untuk menghindar dari pria itu berakhir sia-sia, karena Kaisar malah mendatangi kamarnya. Dengan sangat terpaksa, Almeera memasang muka tebal dan berpura-pura tidak ada yang terjadi di antara mereka.“Ada apa, Tuan?” tanya Almeera bersikap sewajar mungkin.“Ikut aku ke kamar. Aku ingin bicara.” Seperti biasa lelaki yang irit bicara itu hanya memakai kalimat singkat. Kalau Kaisar sudah bertitah, Almee
Hati Almeera terasa kian terasa berat kala memasuki kawasan sekolah. Waktu perpisahan yang ia takuti akhirnya tiba juga. Meski ingin menahan sang adik agar tetap berada di sisinya, Almeera tahu bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Rifki membutuhkan pendidikan dan lingkungan yang bisa mendukung masa depannya, dan sekolah ini adalah pilihan yang tepat. Sebelum keluar dari mobil, Almeera menghela napas panjang, merasakan udara di sekitar sekolah yang sejuk. Ia menurunkan tas dan koper milik Rifki dari bagasi satu per satu. Sembari berjalan beriringan, Almeera melirik sang adik yang melangkah dengan pelan. Terlihat jelas jika netra bocah lelaki itu menyimpan kegelisahan. Kepala asrama segera mengantarkan mereka dan menunjukkan kamar yang akan ditempati oleh Rifki. Usai menjelaskan sejumlah peraturan yang berlaku, sang kepala asrama meninggalkan Almeera dan Rifki di kamar. Membiarkan kakak beradik itu saling mengucapkan kata perpisahan. "Rifki, kamu harus menjalin hubungan baik deng
Di ruangannya, Kaisar sedang berdiri menghadap jendela kaca, melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Banyak hal yang dia pikirkan hari ini, terutama masalah keluarganya yang seolah tak pernah habis. Entah mengapa ia terpikir tentang kondisi Almeera pasca kepulangan Karenina ke mansion. Pasti gadis itu merasa serba salah, bila berhadapan dengan Karenina dan Hana sekaligus.Dalam kerumitan pikirannya, Kaisar mendengar pintu ruangannya terbuka perlahan. Tak lama, Akbar masuk dengan membawa sejumlah dokumen. Kaisar sudah tahu apa yang hendak dibicarakan oleh asistennya itu.“Selamat pagi, Tuan. Ini laporan dari pabrik dan pengajuan budget dari divisi marketing. Pak Jerico juga sudah menunggu di depan, ingin bertemu Anda.”“Suruh dia masuk, kamu bisa kembali ke ruanganmu, Akbar,” pungkas Kaisar sembari duduk di kursi kebesarannya. Ini adalah hari pertama Jerico kembali menjabat sebagai wakil CEO, karena itu Kaisar bersedia menemuinya.Akbar meletakkan dokumen di atas me
Dengan jantung yang berdebar kencang, Almeera berjalan di belakang perawat yang mendorong kursi roda Karenina. Hingga akhirnya, gerakan roda itu berhenti di depan kamar Karenina. Almeera berhenti sejenak di depan pintu kayu, merasa was-was untuk masuk. “Masuk saja, Almeera. Aku yang mengundangmu ke kamarku,” kata Karenina sembari menoleh ke belakang.Bunyi detik jam dinding yang terdengar, seolah ikut mengiringi langkah-langkah cemas Almeera. Ketika pintu terbuka, gadis itu bisa melihat perubahan total pada dekorasi kamar Karenina. Kini ruangan tersebut tak lagi seperti tempat perawatan orang sakit, melainkan berubah menjadi kamar yang mencerminkan keanggunan pemiliknya. Tempat tidur Karenina sudah diganti dengan ranjang baru berukuran king-size. Sementara tirai jendela, seprai, dan bantal semuanya bernuansa serba ungu. Di atas nakas juga terdapat bunga anggrek segar, yang memberikan sentuhan kehidupan dan keharuman yang menenangkan.Dengan bantuan sang perawat, Karenina berpindah k
Daripada pikiran dan perasaannya semakin kacau, Almeera memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia tahu tidak lama lagi Kaisar pasti akan malam bersama dengan Karenina, Hana, dan mungkin juga Reval. Karenanya, ia harus sadar diri. Sebagai orang luar, tidaklah pantas bila ia bergabung dengan anggota keluarga Syailendra di meja makan. Ketika Almeera berbalik pergi, Kaisar sempat melirik bayangan gadis itu. Namun Kaisar tidak berkata apa-apa karena di depannya ada Karenina. “Kenapa kamu tidak beristirahat di kamar?” tanya Kaisar sembari menarik tangannya perlahan dari genggaman Karenina.Perempuan itu nampak terkejut dengan perilaku Kaisar yang seakan menolak untuk disentuh. Namun, Karenina berusaha tetap tenang. Ini hanyalah sebuah permulaan. Nanti juga Kaisar akan terbiasa menerima dirinya lagi sebagai istri. Apalagi, kondisinya yang belum sehat akan membuat hati Kaisar lebih mudah luluh. “Aku bosan di kamar terus, Hubby. Sudah lama aku tidak bisa melakukan tugas sebagai seorang istri. S
Mendengar sindiran tajam itu, Almeera mengerti bahwa yang dimaksud oleh Kaisar adalah dirinya. Merasa tak enak hati, gadis itu memutuskan untuk turun ke bawah. Ini semua dia lakukan supaya Kaisar bersedia bergabung di meja makan dengan keluarganya. “Tuan, tiba-tiba perut saya lapar. Saya akan mengambil makanan di bawah,” ujar Almeera sembari meletakkan ponsel pemberian Kaisar di atas nakas.Mendengar ucapan Almeera, Kaisar beranjak dari tempat tidur. Tanpa banyak bicara, pria itu membuka pintu dan berjalan keluar dari kamar. Mau tak mau, Almeera mengekori langkah Kaisar. Ketika tiba di ujung tangga, Almeera sengaja memperlambat langkahnya agar Kaisar lebih dulu sampai di meja makan.“Kaisar, kenapa kamu lama sekali? Nina sudah menunggu dari tadi,” tegur Hana.“Tidak apa-apa, Tante. Kaisar tadi bilang ingin istirahat sebentar,” sahut Karenina berpura-pura tampil sebagai istri yang pengertian.Kaisar tidak menjawab pertanyaan Hana dan langsung duduk di kursi. Almeera pun bermaksud hend
“Apa yang akan kamu lakukan, Nina? Bagaimana caranya kamu membuat Almeera dipecat?” tanya Hana sembari membantu Karenina berbaring di tempat tidur. Karenina memiringkan bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Hana. “Apa Tante ingat supervisor divisi desain yang bernama Wendi? Dia adalah sepupu dari temanku, Tasya. Wendi pasti mau menjadi tangan kanan sekaligus mata-mataku, karena aku yang memberinya pekerjaan di PT. Tunjung Biru,” tandas Karenina.Paras Hana yang semula dipenuhi kekhawatiran, seketika berubah menjadi cerah. Ia tidak menyangka Karenina akan mendapatkan gagasan secemerlang itu.“Idemu sangat bagus, Nina. Hanya saja, Reval akan menjadi direktur divisi desain. Bisa jadi dia akan marah kalau tahu kamu bekerja sama dengan Wendi,” ujar Hana.“Reval tidak akan tahu, Tante. Aku jamin itu. Aku akan menyuruh Wendi bertindak serapi mungkin untuk mencari celah menjatuhkan Almeera,” tandas Karenina.Sementara itu, di kamar Almeera berusaha mengutak-atik ponsel pemberian Kaisar. Seben