Setelah Hana pergi, Karenina berteriak kencang. Ia merintih dalam kesepian, mengisahkan betapa sulitnya menerima kenyataan bahwa Kaisar, yang selama ini ia anggap miliknya, kini telah berpaling kepada wanita lain. “Aku tidak akan terima ini,” gumam Karenina dengan penuh kemarahan. “Kaisar tidak akan bisa begitu saja meninggalkanku.”Karenina bangkit dan mengambil teleponnya dengan tangan yang bergetar. Ia mencari nama Rico di daftar kontaknya dan menekan tombol panggil. Hatinya dipenuhi oleh dorongan balas dendam, dan pikiran mengenai bagaimana cara merebut kembali Kaisar memenuhi kepalanya.Argh! Kenapa Kaisar? Kenapa kamu milih gadis kampung itu?!” teriak Karenina sambil melempar semua barang yang dapat diraihnya.“Aku tidak bisa menerima ini, apa kurangnya aku? Kenapa kamu malah memilih dia!”Kemarahan Karenina menjadi-jadi karena membayangkan Almeera yang menatapnya sambil mengejek karena berhasil mendapatkan Kaisar. Aliran darah yang terasa begitu cepat dan emosi meluap, membuat
Setelah membeli beberapa baju untuk dirinya sendiri, Almeera melanjutkan aktivitas belanjanya di supermarket. Ia mendorong troli perlahan, mengisi keranjang dengan bahan makanan yang dibutuhkannya untuk memasak di apartemen. Tak lupa, ia memasukkan beberapa bungkus biskuit ke dalam troli, mengingat niatnya untuk menjenguk adiknya, Rifki, di asrama pada akhir pekan nanti.Saat Almeera mendorong troli di lorong supermarket, telepon di ponselnya bergetar. Dia melihat nama Kaisar muncul di layar dan segera menjawabnya dengan senyuman. “Halo, Hubby,” sapanya.Namun, suara Kaisar di ujung telepon terdengar serius dan penuh kekhawatiran. “Almeera, apakah kamu sudah selesai berbelanja? Jika sudah, aku ingin katu langsung pulang dan istirahat. Kamu baru saja mengalami hal yang buruk, dan aku nggak mau kamu kelelahan.”“Aku tidak lelah, By. Baru saja berjalan keluar. Tenang saja, tidak akan terjadi sesuatu. Aku baru saja membeli pakaian. Sisa isi kulkas yang kosong itu.”“Pokoknya setelah sampa
Almeera berdiri di dapur, dikelilingi oleh aroma lezat dari masakan yang baru saja ia selesaikan. Wajahnya berseri-seri dengan senyum puas. Setelah melalui beberapa percobaan dan kesalahan, ia akhirnya berhasil membuat steak ayam yang sempurna, salad segar yang berwarna-warni, dan spaghetti yang menggugah selera. “Semoga rasanya enak,” gumam Almeera melihat makanan yang sudah dimasaknya.“Untung aja nemu resep yang mudah ditiru.” Ia mengikuti resep-resep dari internet dengan cermat, memastikan setiap detailnya sesuai. Dengan hati-hati, Almeera menata hidangan di meja makan. Steak ayam ditempatkan di piring utama, dihiasi dengan daun parsley segar. Salad segar dengan potongan tomat ceri, mentimun, dan selada hijau diatur rapi di sebuah mangkuk kaca yang indah. Spaghetti disajikan dengan saus marinara yang merah menggoda, disertai dengan taburan keju parmesan yang meleleh sempurna di atasnya. Meja makan tampak seperti di restoran bintang lima, siap menyambut Kaisar dengan kelezatan ya
Karenina melangkah keluar dari mobil dengan dibantu oleh perawatnya, dan menuju pintu masuk hotel mewah yang telah ia pilih untuk pertemuan malam ini. Sang perawat memegang tas Karenina sambil mendorong kursi roda majikannya. Begitu mereka sampai di lobi, Karenina meminta perawatnya itu untuk menemaninya hingga ke kamar yang dituju.Setelah tiba di kamar yang telah dipesan, Karenina menyerahkan sejumlah uang. “Ini untukmu. Pastikan tidak ada yang tahu tentang pertemuan ini. Kamu bisa menginap di kamar sebelah untuk sementara waktu,” perintah Karenina dengan nada tegas.“Baik, Nyonya Karenina. Saya akan menjaga rahasia ini,” jawabnya sebelum beranjak pergi menuju kamar sebelah.Setelah sang perawat keluar, Karenina menutup pintu dan melepaskan napas panjang. Kamar hotel itu mewah dengan dekorasi elegan, tetapi Karenina tidak mempedulikannya. Ia mendorong kursi roda menuju cermin besar yang menghiasi dinding kamar, melihat pantulan dirinya dengan penuh ketidakpuasan. Dia berusaha keras
Wati sibuk mengatur para pelayan lainnya untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Pikirannya, bagaimanapun, tidak sepenuhnya terfokus pada pekerjaannya. Pertemuan dengan Almeera di supermarket beberapa hari yang lalu terus berputar di benaknya. Wajah Almeera yang mirip dengan Tuan Marco membuat Wati merasa ada sesuatu yang belum tersingkap.Di tengah kesibukan itu, suara mobil memasuki halaman depan rumah. Diana, istri Marco Biantara, baru saja pulang dari rumah sakit. Sebagai seorang dokter yang berpengalaman, Diana telah menghabiskan hari yang melelahkan dengan menangani berbagai pasien. Diana pulang ke rumah dengan langkah lambat dan lelah. Gerakannya terasa berat, seolah seluruh beban hari itu terakumulasi dalam tubuhnya. Setelah seharian berada di rumah sakit, wajahnya tampak kusam dan lesu. Keringat di dahi dan kerutan di sekitar mata menandakan betapa beratnya hari yang baru saja dilaluinya.Wanita itu duduk di kursi yang ada di ruang tamu dengan desah napas panjang
Pelukan hangat Kaisar belakangan ini membuat Almeera tidur nyenyak, dan bangun dengan wajah cerah. Almeera terbangun lebih dulu, lalu memandangi wajah Kaisar yang nampak lucu saat tertidur. Ia pun tersenyum, merasa bersyukur atas momen-momen kebahagiaan sederhana seperti ini.“Hubby, bangun,” Almeera berbisik sambil menggoyang-goyangkan bahu suaminya. Kaisar membuka matanya perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat Almeera. “Pagi, Sayang,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur. Tangan Kaisar menarik Almeera dalam dekapannya sampai gadis itu tersentak kaget.“Pagi, Hubby,” jawab Almeera mengusap lembut pipi Kaisar. “Aku ingin bicara sesuatu.”Kaisar tersenyum dengan mata terpejam. “Mau apa, Sayang? Apa kamu ingin menggodaku?” lirih Kaisar. “Bukan, hari ini tolong izinkan aku bekerja, ya? Aku bosan sekali di apartemen tanpa melakukan apa pun. Jika di kantor, aku bisa menggambar sesuatu.”Kaisar menghela napas, matanya menatap Almeera dengan lembut. Jelas terlihat
Setelah mendengar keributan di ruang tengah, Bi Yuli menyuruh dua orang pelayan untuk membersihkan pecahan vas bunga. Sementara dia sendiri naik ke lantai dua untuk melihat kondisi Almeera di dalam kamar. Ketika membuka pintu, ia terkejut melihat Almeera sedang memindahkan pakaiannya ke dalam tas. Padahal, ada luka di bagian lengannya yang mengeluarkan darah. Sedikit was-was, Bi Yuli mendekati Almeera dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.“Nyonya, kenapa Anda mengemasi baju? Anda mau pergi ke mana?” Almeera menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke arah Bi Yuli. Terlihat matanya masih memerah akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.“Saya akan pindah ke apartemen, Bi,” lirih Almeera. “Lalu bagaimana dengan Tuan Muda? Apa Tuan Muda mengizinkan?” lanjut kepala pelayan itu.Almeera menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Justru ini kemauan suami saya, Bi. Kami akan tinggal sementara di apartemen.”Mendengar penjelasan Almeera, Bi Yuli mengangguk kecil. Tanpa bertanya
“Iya, cuma luka kecil,” jawab Almeera segera menyembunyikan lengannya di belakang punggung.Sedikit curiga dengan bahasa tubuh Almeera, Kaisar menarik kembali lengan istrinya itu. “Coba kulihat dulu, Sayang.”Dengan seksama, Kaisar memperhatikan plester yang ukurannya cukup besar di lengan sang istri. Ia yakin luka yang ada di balik plester itu tidaklah kecil. Merasa penasaran, Kaisar mencoba bertanya lagi. “Kegiatan apa yang kamu lakukan sepanjang hari ini? Kamu tidak memasak, kan?” tanya Kaisar.“Aku tidak memasak, Hubby. Kamu bilang kita akan makan malam di luar setelah menonton film,” jawab Almeera.“Lalu, kenapa kamu sampai terluka begini?” Kaisar bertanya dengan nada curiga. Entah mengapa ia merasa ada yang disembunyikan oleh Almeera darinya.Almeera terdiam sejenak, bingung apakah ia harus berkata jujur atau berbohong. Takutnya, bila ia berkata jujur maka Kaisar akan marah kepada Karenina. Sejahat apa pun wanita itu, tetaplah dia adalah istri pertama Kaisar. Lagi pula, Karenin