"Pa, emangnya sampai saat ini orang itu masih saja menyimpan dendam?" tanya Santi."Entahlah. Pada dasarnya Papa juga nggak habis pikir, kenapa malah dia yang menyimpan perasaan benci itu. Padahal dia sudah terbebas dari hukum karena divonis mengidap kelainan jiwa saat pemeriksaan." Adam melihat ke arah Hamdan sebelum masuk ke dalam mobil.Setelah itu dia mengajak Santi untuk segera masuk agar bisa segera pulang ke rumah.Sepanjang jalan mereka tidak banyak bicara. Santi sendiri takut untuk memulai pembicaraan karena melihat raut wajah mertuanya tersebut terlihat sedang tidak baik-baik saja."Aku memang nggak begitu mengerti tentang cara pikir semua orang. Memangnya nggak bisa apa mereka berdamai saja?" batin Santi."Kamu lapar nggak, San?" Pertanyaan Adam membiarkan lamunan Santi."Sedikit, Pa," jawabnya singkat."Kalau gitu lebih baik kita mampir makan dulu sebelum pulang. Aku nggak mau sampai kena omel suamimu yang bawel karena mengajakmu pergi tapi tidak memberimu makan," kata Ada
Santi sudah berada di kamarnya setelah Adam keluar dari kamar mandi untuk kesekian kalinya. Dia merasa kasihan dan juga bersalah pada papa mertuanya itu. Wajahnya tampak kusut dan beberapa kali menghela nafas panjang.“Kamu kenapa nggak bilang apa-apa sama aku?” tanya Santi pada Bima.Bima menoleh dan bertanya, “Bilang apa?”“Emangnya kamu nggak mau marahin aku tau gimana gitu?” tanya Santi lirih. Bima tersenyum tipis dan mendekati istrinya itu. Dia mengelus kepala Santi pelan.“Asal kamu tahu, aku malah pernah memberi Papa susu sapi, padahal sejak dulu Papa memang tidak bisa minum susu sapi. Katanya dari bayi Papa diberi susu kedelai dan sampai besar tetap seperti itu.”Santi bingung dengan cerita dari Bima. “Memangnya Papa itu bayi apa?” tanyanya tak percaya.“Kalau kamu nggak percaya, cobain aja besok kamu kasih Papa susu sapi, pasti nanti langsung muntah,” ujar Bima. Dulu memang sempat ada yang tidak percaya kalau alergi susu sapi bisa sampai dewasa, tapi nyatanya Adam memang demi
Semua orang yang hadir di pertemuan itu sampai terkejut ketika mendengar suara gaduh tersebut. Apalagi ketika mendengar suara Edi yang mengomel tidak karuan."Dasar nggak punya sopan santun sama sekali dengan orang yang lebih tua! Apa ibumu nggak mengajari cara menghormati orang yang lebih tua?" omel Edi sambil mencoba bangun.Santi langsung mencekal tangan Bima yang sudah bersiap melayangkan tinjunya lagi karena emosi. Hati Bima seperti sedang ditimpuk dengan batu besar, sesak dan sakit.Bisa-bisanya orang lain menghina dua orang wanita yang berarti dalam hidupnya. Edi sempat menawar Santi seharga jutaan rupiah sebelum tinju pertamanya tadi melayang. Dan kini dengan santainya dia menyalahkan ibunya tidak bisa mendidik anak. Hati siapa yang tidak sakit mendengarnya?Bima berusaha menarik paksa tangan yang dicekal oleh Santi, namun sulit. Tenaga Santi seperti bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya."Tahan, Mas!" seru Santi."Lepasin aku, San! Orang seperti dia ini tidak pantas
Santi segera berpegangan pada tangan Bima yang duduk di sampingnya. Begitu pula dengan Mona yang refleks memegang Santi karena dia takut gelap.“Maaf, tapi aku takut gelap!” ujar Mona dengan suara bergetar.“Nggak apa-apa, aku nyalain ponsel dulu aja biar sedikit terang, ya?” Santi mencoba menenangkan Mona.Diambilnya ponsel Bima yang tadi sempat disitanya dan segera dinyalakan lampu senternya. Cahaya lampu itu dibarengi dengan ponsel milik tamu yang lainnya.Beberapa saat terdengar suara gaduh orang berlarian entah ke arah mana, tapi yang jelas setelah itu lampu kembali menyala. Para tamu yang diundang bernafas lega karena tidak perlu menunggu lama lagi.“Restoran sebesar ini kenapa nggak persiapan emergency yang memadai sih?” gerutu salah seorang yang hadir.“Iya. Harusnya kan bisa lah ya, menyiapkan hal seperti itu demi kenyamanan bersama, jangan hanya harga sewanya aja yang mahal tapi sarananya kurang memadai,” imbuh yang lainnya.Santi tak mempedulikan ocehan demi ocehan yang ter
“Papa …” Bima menjawab panggilan tersebut dengan hati-hati.“Dimana Santi sekarang?” tanya Adam tanpa banyak basa basi.“Itu, dia … aku sedang mencarinya sekarang, Pa!” jawab Bima.“Dasar bodoh! Sudah berapa kali Papa bilang kalau jangan sampai lengah! Karir bisnismu itu sedang bagus-bagusnya, pasti banyak orang sedang merencanakan sesuatu untuk menjatuhkanmu! Kamu jangan sampai melupakan keselamatan Santi. Dia bisa saja menjadi incaran mereka yang berniat buruk sama Santi!” Adam emosi mendengar jawaban Bima.“Aku minta maaf, Pa!” ujar Bima sambil mengepalkan tangannya.“Maafmu nggak guna! Septa berkali-kali menelepon kalau Santi dibawa oleh orang yang mengenakan seragam pelayan! Ahhh, wanita bodoh itu benar-benar!” Adam emosi sendiri karena mendengar laporan dari Septa.Santi memang dibawa oleh orang asing dan caranya sangat rapi. Seorang pelayan terlihat pincang saat berjalan dan meminta bantuan Santi untuk mengantarnya keluar resto. Septa yang sejak awal mengawasi berpikir bahwa p
Adam tersenyum puas mendengar jawaban Santi. Sepertinya didikannya selama ini membuahkan hasil, hanya perlu sedikit gertakan saja agar semua itu muncul dari dalam dirinya sendiri.Santi belajar banyak hal dari kejadian yang baru saja dialaminya. Dia bertekad akan segera menjadi sosok wanita yang layak bersanding dengan Bima. Namun ada satu ketakutan yang masih hinggap di pikirannya.“Pa …” Santi memanggil Adam dengan ragu-ragu.“Kenapa?” tanya Adam lembut. Pandangannya sudah kembali hangat, tidak seperti saat emosi tadi.“Apa aku boleh membunuh orang?” tanya Santi.“Kamu bicara apa, San?!” Bima tersentak kaget mendengar ucapan Santi.“Tentu saja boleh!” jawab Adam tegas. Bima sampai dibuat terperanjat kaget mendengarnya. “Selama kamu melakukannya dengan alasan yang tepat, Papa akan mendukungnya,” imbuhnya kemudian sehingga Bima kembali bernafas lega.“Berarti jika suatu waktu aku berada dalam keadaan yang mengharuskanku untuk membunuh, Papa akan menjadi penolongku?” tanya Bima memasti
"Papa … itu …" Santi menutup mulutnya saking terkejutnya karena itu adalah pertama kalinya dia memegang pistol. Tembakannya meleset mengenai papan yang lain."Hahaha … nggak apa-apa! Ini pertama kalinya dan kamu hampir mengenai sasaran. Untungnya di sana tidak ada orang, kalau ada mungkin saja …" Adam sengaja menggantung kalimatnya.Santi langsung menelan saliva berulang kali. Dia paham maksud dari Adam mengatakan hal tersebut."Baiklah, aku paham. Untuk latihan menembak tidak hanya membutuhkan keseriusan tapi juga fokus dan tetap tenang." Santi mengambil kesimpulan tersebut tapi malah membuat Adam tertawa."Bukan seperti itu maksud Papa. Kalau tadi ada orang disana mungkin kamu malah bisa tepat sasaran, karena bisa saja langsung kena kepalanya …" kata Adam dengan seringaiannya.Santi yang mendengar hal itu langsung merinding. Diusap kedua lengannya yang terasa meremang.Dia tak bisa membayangkan jika sampai hal tersebut terjadi tepat di depan matanya. Tekadnya memang sudah bulat untu
Hawa dingin yang semula memenuhi ruang kamar mandi tersebut akhirnya berubah menjadi panas. Peluh keringat membasahi tubuh keduanya akibat olahraga malam yang menggairahkan.Bima tidak melewatkan satu inci pun kulit istrinya yang telah menjadi candu baginya. Bibir dan tangannya mengeksplor ke segala arah pada tubuh toples yang menggodanya."Angkat kakimu, Sayang!" Bima mengarahkan salah satu kaki Santi akan menapak pada bahunya.Dengan bertumpu pada lututnya, Bima mulai memainkan keahlian di lidahnya. Diciumnya lutut Santi dan perlahan lidahnya menjulur bermain-main semakin naik hingga berakhir di pangkal yang menjadi tujuan utamanya."Aku paling suka aroma bagian sini," gumamnya sambil menciumnya."Hmmm …" lenguhan mulai terdengar tak beraturan ketika Santi merasakan adanya tusukan hangat di inti tubuhnya.Bima memang paling pandai membuat istrinya merasa terbang. Santi sampai tidak bisa menguasai keseimbangan dalam berdiri.Hampir saja dia terjatuh kalau tidak segera ditahan oleh B
Santi memijit pelipisnya saking kesalnya dengan tingkah dua lelaki hebat di sampingnya. Ada rasa senang tapi juga sedih, karena kebebasannya terenggut secara tidak masuk akal.***Bulan demi bulan terlewati dengan berbagai macam aturan yang diberikan oleh Adam dan juga Bima. Namun ketika kehamilan Santi sudah memasuki bulan ketujuh, Santi mulai mengutarakan keresahan dalam hatinya."Pa, Mas … Aku ingin pergi ke mall untuk membeli keperluan bayi ini, ya. Udah lama aku nggak jalan-jalan keluar," pinta Santi di sela sarapan pagi mereka."Emangnya kamu mau beli apa? Biar aku aja yang beli kamu tinggal sebutin aja mau apa," jawab Bima."Iya, bener!" timpal Adam. Santi memasang wajah memelas sambil mengelus perut buncitnya. "Kalau nanti kamu lahirnya ileran, salahin aja Opa dan juga papa kamu ya, Nak!"Adam dan Bima langsung bergidik ngeri. Mereka tak menyangka Santi akan berkata demikian. Biasanya Santi akan menurut saja pada apa yang dikatakan oleh mereka."Kamu jangan kayak gitu dong, S
"Kamu kenapa sih, Sayang?" keluh Bima.Santi malah sibuk menutup hidungnya dengan selimut dan mengibaskan tangannya agar Bima menjauh darinya. Mencium aroma sabun di tubuh Bima membuat Santi merasa mual."Jangan deket-deket, Mas! Aku nggak suka bau sabunnya!" kata Santi."Bukannya ini bau sabun favorit kamu, ya? Kenapa mendadak jadi nggak suka?" tanya Bima.Santi ingin menjawab tapi perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas menuju ke kamar mandi berusaha mengeluarkan isi perutnya namun tak ada yang keluar sama sekali.Matanya sampai berair karena mencoba memuntahkan isi perutnya. Kepalanya terasa sedikit berat dan matanya berkunang-kunang."Kamu ikut aku sekarang!" kata Bima seraya menarik tangan Santi keluar dari kamar mandi."Mau kemana, Mas? Aku belum mandi!" Santi mencoba menolak namun tenaga Bima tentu saja lebih kuat."Udah, ikut aja!" seru Bima. Dia memberikan syal pada istrinya untuk menutup hidungnya agar tak mencium aroma sabun di tubuhnya.Adam yang baru saja selesai lari
"Kenapa gitu, San? Bentar lagi juga mateng kok!" kata Bima masih sambil mengaduk telur dalam wajan.Santi menghela nafas panjang sambil menyalakan kompor. "Mau sampai besok pagi juga nggak bakal mateng kalau kompornya belum dinyalain, Mas!" Bima garuk-garuk kepala sambil cengar cengir tak jelas. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam wajan dan bertanya pada San, "Apa caraku memasak juga salah?""Nggak kok, Mas. Cuma mungkin ada cara yang lebih bagus lagi dari pada buang-buang minyak goreng," kata Santi seraya mengambil alih alat masak yang dipegang oleh Bima."Biar aku aja, Santi. Kamu kan lagi sakit juga," kata Bima."Nggak usah, biar aku aja. Kamu sama papa tunggu aja sambil nonton televisi," ucap Santi sambil mengurangi minyak goreng di wajan.Adam menarik Bima agar segera menjauh dari sana. Bagaimanapun juga memang lebih baik jika Bima menjauh dari dapur sebelum meledakkan dapur di rumah itu.Keduanya pun menuju ke ruang tengah sambil menonton televisi. Sesekali mereka bercengkrama
"Ada apa dengannya?" tanya Adam tak kalah panik."Aku juga nggak tahu, Pa. Tadi dia masih baik-baik aja!" ujar Bima sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke kamarnya."Kamu juga, sih! Kenapa kurang memperhatikan kondisi istrimu! Dia pasti kelelahan karena belakangan ini selalu sibuk mengurus kita berdua!" cecar Adam sambil berjalan mengikuti anaknya di belakang."Papa nggak usah bawel, deh! Mendingan sekarang bantuin aku buat nelpon dokter agar segera kesini buat memeriksa kondisi istriku!" kata Bima.Beberapa kali mendapati Santi dalam kondisi yang buruk membuat Bima merasa benar-benar gagal menjadi suami yang baik. Apalagi Santi juga yang berapa kali malah melindunginya dari serangan musuh.Dalam hati Bima merutuki kebodohannya yang tidak bisa menjaga istrinya dengan baik. Kalau boleh memilih tentu saja Bima tidak ingin berada di posisi seperti kemarin.Bima pun ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan bahagia seperti orang kebanyakan. Bukan malah penuh dengan darah dan juga den
"Sepertinya aku kedatangan tamu istimewa! Selamat datang!" Ucap Rizwan berusaha tetap tenang. Dia tak mau terlibat gugup di depan semuanya."Aku nggak mau basa-basi di sini. Yang aku tahu kamu udah menyuruh orang untuk melenyapkan Septa!" kata Santi."Hahahaha … sayang! Bukankah kamu sudah menyetujui permintaan Papa untuk menikah denganku? Kenapa sekarang kamu malah menuduhku melakukan hal itu?" tanya Rizwan. "Lagi pula kalau bukan karena Septa berkhianat, pasti papa aku juga nggak akan pergi meninggalkanku sendiri!" imbuh Rizwan."Aku tahu kamu sedih kehilangan papamu, tapi percayalah itu sudah kemauannya. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya," kata Santi mencoba berdamai dengan Rizwan."Sayangnya aku nggak bisa percaya begitu saja," Rizwan berjalan mendekat secara perlahan.Santi tetap waspada dengan segala gerak gerik Rizwan. Dia melihat ada senjata di saku samping Rizwan dan bisa diperkirakan itu adalah pistol."Kami mempunyai rekaman CCTV yang membuktikan bahwa p
"Apa sudah ada informasi siapa dalang dibalik semua ini?" tanya Bima."Semuanya tersusun rapi seperti sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Bahkan mereka tahu seluk-beluk perusahaan ini sampai bisa melumpuhkan Septa begitu saja." Aldo merasa dirinya sudah gagal."Pasti ada kerjasama dengan orang dalam. Kamu pastikan untuk mencari Siapa yang terlibat dengan semua ini!" kata Bima kemudian.Aldo mengangguk setuju. Dia pun mengirim pesan pada orang kepercayaannya untuk mencari tahu siapa yang berani berkhianat pada Bima."Sekarang kita ikuti kemana perginya mereka," kata Bima.Dalam mobil Bima sudah terpasang GPS sehingga bisa melacak keberadaan istrinya. Namun, Bima punya pikiran lain. Lawannya bukan orang yang sembarang bergerak. Terbukti dia menyusun rencana tersebut dengan rapi.Orang itu tidak mungkin dengan sengaja membawa mobil pribadi miliknya untuk menculik Santi pergi jika tanpa satu alasan. Orang itu pasti mempunyai rencana tersendiri untuk menjebaknya."Siapkan orang-orang
Mona tercengang mendengar pernyataan Santi. Dia sampai menganga tak percaya dan menatap Santi lekat."Kamu jangan bercanda, San. Bukannya kalian ini kerabat jauh?" Mona tak langsung percaya dan menepis tangan Santi."Itu hanya formalitas saja karena kemarin Mas Bima masih sangat takut aku kenapa-napa, dan sekarang kami nggak akan menutupi hubungan kami lagi," terang Santi dengan senyum manisnya."Ini nggak bener kan, Bim?" tanya Mona masih tak bisa percaya."Sepertinya kamu butuh pembersih telinga, Mona …" ucap Bima santai. Bima berdiri dan menghampiri istrinya. Dirangkulnya bahu Santi agar tubuh mereka menempel."Aku yang bersalah kemarin karena tak berani mengakui Santi sebagai istriku. Aku takut dia disakiti oleh orang lain, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dia tak selemah itu," imbuh Bima.Mata Mona berkaca-kaca ketika keduanya menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari masing-masing. Dia segera berjalan keluar dengan air mata yang sudah terlanjur menetes di pipin
Septa melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil agar tidak mendapat teguran dari Bima. Dia sangat hafal dengan sikap Bima yang tidak mau diganggu ketika sedang bersama Santi, terutama untuk hal itu.Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di perusahaan dimana sebagian karyawan sudah mulai bekerja. Septa hanya mengetuk kaca mobil beberapa kali dan menunggu di tempat agak jauh, membiarkan atasannya yang sepertinya belum selesai dengan urusannya itu.Tak lama kemudian Santi turun lebih dulu dengan mulut komat kamit meluapkan kekesalannya. Rambutnya sedikit berantakan dan jangan lupakan bajunya yang tampak kusut."Nanti tolong ambilkan baju ganti di apartemen Mas Bima ya," kata Santi pada Septa."Baik!" jawab Septa singkat."San! Tunggu!" Bima bergegas menyusul Santi yang sudah masuk lebih dulu meninggalkannya.Namun begitu masuk ke area kantor, Bima langsung mengerem langkah kakinya. Bagaimanapun juga dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaannya.Beberapa karyawan
"Dimana para penjaga di luar?" tanya Adam sambil turun dari ranjang dan bersembunyi di balik lemari agar tidak terkena lemparan batu.Tak berselang lama kemudian muncullah beberapa orang yang ingin mengecek kondisi atasan mereka."Maafkan kami! Tiba-tiba saja kami diserang secara beruntun dan tidak memperhatikan secara keseluruhan!" ucap salah satu dari mereka."Apa situasi di luar sudah terkendali?" tanya Bima."Sudah, Pak. Kebetulan Pak Aldo yang langsung turun tangan tadi," katanya lagi."Suruh Aldo kesini!" kata Adam.Orang itu mengangguk dan segera keluar untuk menjalankan perintah tersebut. Dia langsung menyampaikan pesan dari Ada pada Aldo.“Ada apa, Om?” tanya Aldo begitu sampai di ruangan Adam dan Bima dirawat.“Siapa mereka?” tanya Adam.“Masih belum bisa dipastikan siapa pelakunya, Om. Tapi besar kemungkinan itu adalah orangnya Rizwan,” kata Aldo.“Lalu gimana dengan Baron?” tanya Adam lagi.Aldo tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya. Dia enggan menjawab pertanyaan