“Al!!” tubuh Maura menegang dengan kedua tangan yang mencengkram sprei.Aldo tersenyum puas ketika melihat ekspresi Maura yang seperti itu. Dia kembali ragu akan melanjutkannya atau tidak.“Kenapa berhenti?” Maura yang tadinya memejamkan mata kini melirik Aldo yang tampak ragu.“Apa kamu yakin?” tanya Aldo.Maura segera bangkit dan mencium bibir Aldo dengan sangat lembut. Lumatan manis itu membuat Aldo merasa tertantang kembali karena sensasinya benar-benar berbeda ketika melakukannya dengan penuh cinta. Ditangkupnya kedua pipi Maura dan agar semakin intens dalam menyalurkan perasaannya.Lama dalam posisi seperti itu membuat Maura kesal sendiri. Dia menganggap Aldo tak mau melakukan itu dengannya. Alhasil Maura mengarahkan satu tangannya masuk ke dalam kain yang menutup senjata keras Aldo.“Ra!” Aldo tersentak kaget ketika miliknya diremas dan dikocok naik turun.“Dia sudah siap dari tadi, kamu nungguin apa?” Maura tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya.Aldo segera melepas semuany
Santi langsung panik ketika mendengar suara Bima berada di belakangnya. Terlebih ketika Bima bertanya perihal rahasia antara dirinya dengan papa mertuanya itu.“Ahhh, itu hanya …”“Kamu ini mau tau aja urusanku dengan menantuku. Bukannya kamu sendiri nggak mau aku ikut campur dengan urusanmu?” kata Adam santai.Dia tidak menggubris Bima sama sekali dan melanjutkan berdansa dengan Santi. Bima hanya bisa mendesis pelan dan menjauh dari sana sambil terus memantau situasi. Dia takut kecolongan lagi seperti yang sudah-sudah.Septa terlihat waspada dengan lingkungan sekitar dan terus mengamati setiap sudut ruangan dengan tatapan tajamnya. Di tangannya terdapat alat komunikasi berupa HT yang terhubung dengan rekannya yang ada di luar resto.Tak berselang lama suasana berubah menjadi gaduh saat datang beberapa orang dengan setelan jas berwarna hitam. Mereka tampak gagah meskipun salah satunya hanya memiliki satu tangan.Ya, mereka adalah keluarga Hamdan. Saat melihat kedatangan mereka, Bima
Maura buru-buru merapikan rambutnya yang masih berantakan sebelum membukakan pintu mobilnya. Kemudian memasang wajah tanpa dosa dengan senyum yang terkembang sempurna.“Kalian habis ngapain, sih?” tanya Santi.“Nggak ngapa-ngapain,” jawab Maura cepat.“Owhh, awas aja kalau sampai ada sisa di kursi mobil, aku akan suruh kamu buat bayar mobil ini tunai!” seru Bima kesal.“Kok suruh bayar? Emangnya kenapa, Sa?” Santi bingung kenapa Bima merasa kesal.“Kamu nggak perlu tahu, San. Jangan sampai otak polosmu itu diracuni sama dua orang yang nggak tahu tempat ini!” gerutu Bima sambil melirik mereka berdua bergantian.Santi manggut-manggut. Bukan karena dia mengerti, tapi lebih kepada tak tahu apa yang dibicarakan oleh suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah cepat pulang agar bisa istirahat di rumah.“Pulang yuk!” rengek Santi sambil memegangi perutnya.“Kamu kenapa? Perutmu sakit?” Bima tampak khawatir melihat istrinya seperti itu.“Aku nggak apa-apa, ini udah biasa kalau lagi data
Bima mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hamdan masih mengikuti dari belakang namun tak ada niat untuk menyalip. Hal itu tentu saja membuat pertanyaan muncul di hati Bima.Dalam hati dia pun bertanya-tanya, “Apa jangan-jangan dia hanya ingin mengetahui dimana tempat tinggalku?”“Sayang, apa nggak sebaiknya kita berhenti saja tanyakan apa maunya? Dari pada kejar-kejaran nggak jelas kayak gini juga, ‘kan?” tanya Santi.Bima menarik nafas panjang karena istrinya tersebut masih saja berpikir bahwa semua orang itu adalah orang baik. Mana mungkin dia mempertaruhkan keselamatan Santi sementara dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh Hamdan sebenarnya.“Nanti lihat situasi aman dulu, ya!” sahut Bima.“Owh, oke!” Dalam hati Santi sebenarnya sudah merasa kalau dirinya berada dalam bahaya, namun dia harus tetap bersikap sewajarnya seolah tidak tahu apa-apa.Tekadnya makin kuat untuk belajar cara membela diri, jika bisa sekalian melindungi Bima, itu adalah bonus. Orang tidak akan perna
Beberapa menit berlatih cukup membuat Santi berkeringat, padahal dia tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Dia hanya berdiri sambil fokus pada satu titik, meskipun masih belum tepat sasaran.Tubuhnya seperti belum siap menerima pelatihan semacam itu, mungkin lebih tepatnya mental yang masih belum matang. Rasa takut untuk melukai orang lain itu masih menguasai hatinya.Santi yang selama ini begitu polos, untuk membunuh hewan saja dia tak tega. Sekarang dia dihadapkan pada sebuah keharusan untuk membunuh orang yang akan menyakitinya.“Kamu jangan pernah berpikir belas kasihan akan membuat semua orang jahat di dunia ini akan sadar, San! Kamu bahkan tahu kalau ada orang yang tidak mau berubah di akhir hayatnya, kan?” tanya Adam yang tahu kegundahan Santi.“Aku tahu, Pa.” Santi memejamkan matanya dan kembali fokus pada satu titik.Santi kembali gagal. Hal itu memang hal yang wajar bagi seorang pemula. Tapi itu bukan satu hal yang ingin dilihat Adam.“Santi, apa kamu akan membiarkan Bima d
"Pa, emangnya sampai saat ini orang itu masih saja menyimpan dendam?" tanya Santi."Entahlah. Pada dasarnya Papa juga nggak habis pikir, kenapa malah dia yang menyimpan perasaan benci itu. Padahal dia sudah terbebas dari hukum karena divonis mengidap kelainan jiwa saat pemeriksaan." Adam melihat ke arah Hamdan sebelum masuk ke dalam mobil.Setelah itu dia mengajak Santi untuk segera masuk agar bisa segera pulang ke rumah.Sepanjang jalan mereka tidak banyak bicara. Santi sendiri takut untuk memulai pembicaraan karena melihat raut wajah mertuanya tersebut terlihat sedang tidak baik-baik saja."Aku memang nggak begitu mengerti tentang cara pikir semua orang. Memangnya nggak bisa apa mereka berdamai saja?" batin Santi."Kamu lapar nggak, San?" Pertanyaan Adam membiarkan lamunan Santi."Sedikit, Pa," jawabnya singkat."Kalau gitu lebih baik kita mampir makan dulu sebelum pulang. Aku nggak mau sampai kena omel suamimu yang bawel karena mengajakmu pergi tapi tidak memberimu makan," kata Ada
Santi sudah berada di kamarnya setelah Adam keluar dari kamar mandi untuk kesekian kalinya. Dia merasa kasihan dan juga bersalah pada papa mertuanya itu. Wajahnya tampak kusut dan beberapa kali menghela nafas panjang.“Kamu kenapa nggak bilang apa-apa sama aku?” tanya Santi pada Bima.Bima menoleh dan bertanya, “Bilang apa?”“Emangnya kamu nggak mau marahin aku tau gimana gitu?” tanya Santi lirih. Bima tersenyum tipis dan mendekati istrinya itu. Dia mengelus kepala Santi pelan.“Asal kamu tahu, aku malah pernah memberi Papa susu sapi, padahal sejak dulu Papa memang tidak bisa minum susu sapi. Katanya dari bayi Papa diberi susu kedelai dan sampai besar tetap seperti itu.”Santi bingung dengan cerita dari Bima. “Memangnya Papa itu bayi apa?” tanyanya tak percaya.“Kalau kamu nggak percaya, cobain aja besok kamu kasih Papa susu sapi, pasti nanti langsung muntah,” ujar Bima. Dulu memang sempat ada yang tidak percaya kalau alergi susu sapi bisa sampai dewasa, tapi nyatanya Adam memang demi
Semua orang yang hadir di pertemuan itu sampai terkejut ketika mendengar suara gaduh tersebut. Apalagi ketika mendengar suara Edi yang mengomel tidak karuan."Dasar nggak punya sopan santun sama sekali dengan orang yang lebih tua! Apa ibumu nggak mengajari cara menghormati orang yang lebih tua?" omel Edi sambil mencoba bangun.Santi langsung mencekal tangan Bima yang sudah bersiap melayangkan tinjunya lagi karena emosi. Hati Bima seperti sedang ditimpuk dengan batu besar, sesak dan sakit.Bisa-bisanya orang lain menghina dua orang wanita yang berarti dalam hidupnya. Edi sempat menawar Santi seharga jutaan rupiah sebelum tinju pertamanya tadi melayang. Dan kini dengan santainya dia menyalahkan ibunya tidak bisa mendidik anak. Hati siapa yang tidak sakit mendengarnya?Bima berusaha menarik paksa tangan yang dicekal oleh Santi, namun sulit. Tenaga Santi seperti bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya."Tahan, Mas!" seru Santi."Lepasin aku, San! Orang seperti dia ini tidak pantas