"Tapi Pak, Hasan malah gak nyumbang sepeserpun," sahut Kak Angga membela istrinya.
"Kata siapa? Gak usah sok tahu kamu Angga, Hasan emang gak nyumbang hajatan tapi istrinya nyumbang lebih dari yang kalian sumbangin."Kami semua terperangah, lalu menatap wajah Bapak dengan tatapan bertanya-tanya."Emang bener, Neng?" bisiku pada Asmi."Sedikit sih, A.""Asal kalian tahu, ya ...." Bapak bicara lagi."Asmi nyumbang beras 5 kwintal buat hajatan ini," lanjut Bapak.Lagi-lagi kami semua terperangah. Aku sampai tak percaya, ini beneran apa bapak cuma lagi belain Asmi karena Asmi istri pilihan beliau ya?"Bukan cuma beras tapi Asmi juga nyumbang seekor kambing jenis etawa, ya kalian tahulah harganya berapa? Cari di g****e kalau gak tahu," imbuh Bapak lagi.Kami semua makin melongo, tak kecuali denganku. Masa iya istriku nyumbang sebanyak itu? Dari mana uangnya? Wah jangan-jangan istriku itu anak orang kaya di desanya, buktinya bisa sumbang beras, bisa sumbang kambing, hebat emang, gak sangka juga, pantesan bapak jodohin aku sama dia."Kalian sumbang apa? Uang sejuta saja minta dibalikin setelah buka amplop, apa gak malu kalian? Lihat Asmi, ngasih Bapak 5 juta buat keperluan dapur aja dia diem-diem aja, gak banyak omong kayak kalian.""Hah, masa? Bapak ngada-ngada kali mentang-mentang Asmi menantu kesayangan, Bapak," sahut Mbak Andin tak percaya."Kalau gak percaya tanya sama ibu kalian!" tegas Bapak.Tanpa menunggu lagi, Kak Alfa cepat-cepat mendekat Ibu yang juga masih berdiri di sana."Emang bener, Bu?""Iya." Ibu menjawab pendek dan kecut, beliau melipat kedua tangannya di dada."Makanya jangan suka nilai orang dari apa yang kalian lihat aja! Sekarang malu sendiri kan kalian?" pungkas Bapak, beliau lalu pergi lagi ke kamarnya, disusul Kak Alfa yang juga pergi dengan wajah pasi menahan malu.Kami semua akhirnya bubar karena sudah sore kami harus pulang.Besok sore hari kami baru akan datang lagi, karena tidak seperti hari ini yang kebetulan adalah hari minggu besok kami harus masuk kerja dulu seperti biasa."Awas biar mobil Kakak dulu yang keluar, nanti motormu nyenggol mobil Kakak kalau lecet gimana?" ucap Mas Fatih sombong."Tau ih kamu pengen duluin aja, sopan dikit napa," seru Kak Alfa sambil masuk juga ke dalam mobilnya.Terpaksa kami mundur lagi sampai mentok ke tembok rumah ibu. Tapi gak puas sampai di sana rupanya, setelah mobil kak Alfa jalan, mobil Kak Fatih justru sengaja mundur sampai mentok menekan motorku."Mas, bilang kan awas! Mentang-mentang istrimu jumbo mau adu gontok kamu sama mobil Mas?" teriaknya dari kursi kemudi.Aku mulai geram, segera aku turun dari motor, Asmi sekuat tenaga menahanku, tapi tak kupedulikan lagi."Maksud Mas Fatih apa? Aku masih bisa sabar kalau motorku dihina, tapi kalau Mas hina-hina istriku, maaf Mas, mau ke ujung samudera pun aku siap melawanmu."Tapi bukannya serius menanggapi, Mas Fatih dan istrinya malah tertawa melihat kemarahanku."Biasa aja kali Hasan! Cinta banget sih kamu sama si Asmi, punya istri body nya udah kayak motor butut kamu aja masih aja kamu bela mati-matian. Gimana kalau kamu punya istri yang bodynya kayak mobil kita?" celetuk Mbak Andin di samping Mas Fatih.Ya Tuhan, entah terbuat dari apa hati mereka itu, sombongnya keterlaluan.Mendengar Mbak Andin bicara begitu refleks tanganku memukul mobil mereka. "Mobil bentar lagi ditarik leasing aja bangga! Huh!"Mereka lalu pergi melajukan mobilnya.Aku dan Asmi memang selalu naik motor bebek butut kemana-mana, sementara kedua kakakku selalu naik mobil mewah. Gak apa-apa butut kata Asmi yang penting ini motor sendiri, daripada mereka? Naik mobil tapi mobil cicilan.Emangnya mereka pikir aku gak tahu mobil Mas Fatih dan Mbak Andin itu hanya mobil kredit? Malahan mobilnya sering gonta-ganti karena mobilnya sering ditarik leasing, tentu aja karena mereka gak sanggup bayar cicilannya.Kak Alfa juga lebih parah, dia dan suaminya sering minjem uang ke Bapak kalau mereka butuh buat cicilan rumah sama mobilnya yang setiap bulan selalu kurang."Anak-anak Alfa 'kan udah pada besar Pak, biaya sekolahnya juga makin gede, makanya Alfa pinjam tiap bulan karena darimana lagi selain dari Bapak?" ucap Kak Alfa saat itu.Aku tahu karena aku dengar sendiri saat Kak Alfa sedang memohon sama Bapak di kamarnya."Makanya kamu tuh rubah dikit gaya hidup keluargamu kenapa sih Alfa? 'Kan bisa jual itu mobil kalau kalian gak sanggup bayar? Atau balikin ajalah kalau bikin pusing Bapak." Begitu kata Bapak saat itu.Menurut desas-desus yang kudengar juga dari bapak, Mas Fatih malah sering rental mobil hanya demi terlihat 'wah' oleh tetangganya.Karena itulah Bapak tidak suka dengan kelakuan anak-anaknya itu, padahal bapak sering memberitahu mereka bahwa kebiasaan pamer dan gaya hidup selangit mereka itu salah, tapi Kak Alfa dan Mas Fatih tidak pernah mendengarkan Bapak, lebih-lebih Ibu selalu mendukung kedua saudaraku itu makanya mereka semakin menjadi-jadi saja."Kamu gak usah terpancing sama gaya hidup dan omongan Kakak-Kakakmu San, biarkan mereka itu mau bagaimana Bapak udah capek kasih tahu mereka."Begitu kata Bapak saat itu. Ucapan itu yang selalu kuingat dan kupegang hingga saat ini. Ya walaupun sebagai manusia biasa pastinya aku juga sering terpancing dengan kelakuan saudara-saudaraku itu.Sesekali aku juga pernah berpikir ingin seperti mereka, beli rumah bagus, mobil bagus, emas dan baju-baju baru, arisan tiap minggu meskipun dari hasil kredit atau ngutang ke Bank, tapi untunglah Asmi selalu mengingatkanku."Sabar A, kalau gak sanggup mah ngapain maksain atuh? Hidup sederhana asal tenang, gak dikejar hutang, daripada naik mobil mewah tapi bikin resah apalagi bikin susah orang tua juga."Begitu katanya Asmi. Ah istriku itu biarpun gendut memang punya kepribadian yang bagus banget, gak sia-sia Bapak menjodohkan aku padanya karena memang sejak bertemu dengannya pun meskipun gendut entah kenapa aku langsung cocok.Istriku itu berisi, lebih tepatnya sih gendut, di usianya yang sudah menginjak 29 tahun berat badannya mencapai 90 kilogram lebih dengan tinggi 165.Namanya Asmirandah terinspirasi dari artis cantik Asmirandah katanya, tapi bukannya sama, malah body-nya jauh berbeda, ibarat kutub, Asmi istriku adalah kutub utara dan Asmirandah adalah kutub selatan, tapi tidak apa-apa aku menerima dia apa adanya.Istriku itu berasal dari desa, entah dari desa mana Bapak menemukannya, aku pun tidak tahu dan tidak pernah tanya juga sih, yang penting sekarang aku sudah menikah dengannya dan tidak pernah diejek bujang lapuk lagi sama temen-temen, tetangga juga sama saudaraku.Tapi sayang, berhenti mengejekku mereka sekarang berganti mengejek istriku, selalu saja ada yang jadi bahan ketawaaan mereka, entahlah aku juga bingung sebenarnya masalah mereka sama istriku itu apa?"Udah A, ayo kita pulang." Asmi menepuk pundakku, segera aku melajukan motor dari rumah Ibu.Di tengah perjalanan pulang Asmi memintaku berhenti sebentar di depan minimarket."Neng, masuk sendiri aja Aa nunggu di sini," kataku sambil duduk di kursi yang biasa ada di depan minimarket.Entah apa yang akan dibeli istriku, kubiarkan saja, aku tak mau banyak tanya juga, takutnya Asmi merasa risih, kasihan.Sekitar 15 menit kemudian, Asmi keluar dengan 2 jinjing plastik besar berisi belanjaan di tangannya. Sontak keningku mengerut dan cepat-cepat bangkit untuk membawakan plastik itu."Neng, belanja apa? Kok banyak banget.""Cuma keperluan dapur sama cemilan A, belanja bulananlah istilahnya." Aku pun menaruh plastik itu di depan motorku. Tapi sebelum berangkat aku kembali bertanya."Belanja segini banyak emang Neng ada uang? "Ya ada atuh A, makanya bisa belanja."Sebetulnya aku sedikit heran, darimana sih uang Asmi itu? Tadi Bapak bilang Asmi nyumbang 5 juta, sekarang Asmi belanja banyak banget, gak mungkin kalau hanya dari uang gajiku, soalnya gajiku itu tidak seberapa, aku hanya
Esok hari setelah aku pulang kerja.Aku dan istriku ke rumah Ibu dan Bapak lagi, sesuai kesepakatan aku dan saudara-saudaraku, malam ini kami semua berencana akan menginap di sana karena hajatan akan dilaksanakan besok tepatnya."Kak Alfa belum datang, Bu?" tanyaku pada Ibu yang tengah mencicipi masakan Bibik."Ya belumlah Hasan, ini kan masih sore, mereka pasti masih sibuk kerja, gak kayak kalian," kecut Ibu menjawab.Entah kenapa ucapannya itu selalu saja tajam bagaikan silet, lebih-lebih setelah aku menikah dengan Asmi selalu saja kami dibeda-bedakan dan disindir-sindirnya begitu.Setelah menyalami Ibu, Asmi pergi ke ruang keluarga sementara aku tetap di dapur bersama Ibu."Ibu, kenapa sih, Bu? Kok kayak gitu terus sama aku dan Asmi?""Mau tahu kamu jawabannya? Karena kamu lebih nurut sama Bapakmu.""Loh 'kan, Bapak emang bener Bu, apa salahnya coba Bapak jodohin Hasan? Hasan udah cukup umur Bu, mau sampai kapan Hasan membujang kalau gak dijodohin?"Ibu menghentikan pekerjaannya l
Esok hari.Itu artinya hari ini adalah hari hajatannya Hanum. Tapi sengaja selepas subuh aku kembali tidur, malas sekali rasanya kalau aku harus datang ke sana. Aku sudah terlanjur sakit hati.Biar saja mereka mau bagaimana kalau aku dan Asmi tidak ada di sana, karena selama ini mereka selalu menyuruh kami ini dan itu untuk persiapan pernikahan Hanum.Pukul delapan aku baru bangun, segera aku pergi ke belakang, kulihat istriku tidak ada di dapur, di depan juga tidak ada. "Kemana Asmi pergi? Apa jangan-jangan dia ke rumah, ibu?"Segera aku mengambil ponsel dan meneleponnya."Neng, ada di mana?" "Neng lagi di toko A, sekalian lihat gudang baru.""Apaan sih? Gudang apaan? Ngapain juga di toko? Mau belanja apaan di sana?" tanyaku bingung sambil mengacak rambut."Di toko baju A, gudang segala macem di sini. Emang Aa gak baca surat dari Neng? Tadi Aa lagi tidur Neng gak tega bangunin karena katanya kita gak akan dateng ke rumah ibu." Aku melirik ke atas nakas, ternyata benar ada surat di
"Perhiasan Neng atuh, A," jawabnya ringan sambil membetulkan kalung itu di lehernya.Bukan hanya kalung, Asmi juga memakai gelang dan cincin yang modelnya serupa dengan kalung itu."Neng, bilang sama Aa, Neng sebetulnya anak orang kaya ya?" Sengaja akhirnya aku kembali bertanya, karena aku semakin penasaran pada istriku ini.Alis cetar Asmi menaut."Gak juga ah, ibu sama bapak di desa hanya petani biasa, A.""Petani apa? Petani sawit 'kan ya?"Pasti, aku yakin orang tua Asmi adalah petani sawit, aku sering denger dari orang-orang kalau jadi petani sawit itu gak bisa diragukan penghasilannya.Tapi Asmi malah terbahak."Mana ada sawit di sana atuh A, ngaco, desa Neng itu bukan daerah penghasil sawit," katanya."Lah terus? Emang di mana sih desa Neng itu?" "Hanya petani padi biasa aja sih A, Neng dari Kuningan Jawa Barat A, masa iya gak tahu ih gimana sih desa istrinya sendiri.""Ya maaf, Aa emang gak tahu Neng, 'kan waktu nikah kemaren kita numpang nikahnya di sini, Aa juga gak urus-ur
"Ada di sini juga Mbak Asmi?""Lah iya atuh kan yang punya hajatan ibu mertua saya, Pak.""Wah gak sangka kita jadi sodaraan dong, itu 'kan yang nikah sama Hanum adik sepupu saya," ucapnya lagi.Oh ternyata pria ini calon sodaraku, tapi dari mana Asmi mengenal kakak sepupu Aldan-calon suami Hanum?"Wah kebetulan atuh ya, Pak," seru Asmi semakin akrab."Udah lama Mbak Asmi gak cek permata ke lab saya nih, gak pindah ke tempat lain kan, Mbak?"Aku terkejut, tak kecuali ibu dan dua saudaraku di sampingnya, mereka saling menatap satu sama lain dan semakin serius mendengarkan percakapan Asmi bersama Pak Amet."Ah engga atuh Pak, emang belum sempat ke sana aja karena saya juga baru selesai melangsungkan acara nikahan, ini baru pindah ke kota Tangerang sebulan lalu." Istriku tersenyum ramah.Boleh juga istriku itu, gak sangka juga circlenya sampai ke pengusaha lab batu permata. Anjay, apalah aku yang hanya kurir ekspedisi. Ah tapi gak apa-apa, kata Asmi, pekerjaan tidak menentukan derajat se
Aku melongo, Pak Amet cepat-cepat menarik tanganku naik ke pelaminan, Asmi ikut di belakangku dan kami pun foto bersama keluarga mempelai pria, ya meskipun wajah Hanum sedikit murung, tapi kalau di depan keluarga suaminya dia bisa apa? Selain nurut tentunya haha.Selesai di foto Hanum berbisik."Kak Hasan kok bisa sih kalian diajak foto sama keluarga suamiku?""Bisalah, kami orang terkenal," jawabku sambil berlalu menarik tangan Asmi.Selesai acara hajatan, bapak menyuruh kami menginap karena besok mau bongkar tenda dan beres-beres katanya, oke aku nginep itu pun karena bapak yang memintanya, kalau bukan bapak jangan harap aku mau, habisnya aku terlanjur kesal sama ibu dan kelakuan sodara-sodaraku yang selalu saja meremehkanku dan mengejek istriku itu.Malam hari selepas isya aku sedang ngopi di depan teras bersama bapak, Mas Fatih, Kak Angga dan Aldan si pengantin baru sambil mengobrol ngalor-ngidol tentang pekerjaan Aldan, baru kutahu sekarang ternyata yang diucapkan Hanum bual semu
"Num, Kak Asmi mah gak bisa kasih apa-apa buat Hanum, cuma ini aja nih ada perhiasan sedikit, maaf ya karena kemarin Kak Asmi bingung mau kasih apa buat Hanum," kata istriku seraya memberikan kotak perhiasan bentuk love.Duh kenapa juga Asmi mesti kasih hadiah perhiasan, kalau aku jadi dia mendingan perhiasannya kujual dan kubelikan sprei 50 ribuan juga udah bagus, apalagi kalau gambar bunga seperti yang ibuku suka beli beuh bagus banget meskipun luntur semua pas dicuci.Hanum yang sedang mengobrol bersama Mbak Andin akhirnya menerima kotak pemberian Asmi dan membukanya saat itu juga."Hah? Kak Asmi serius? Ini buat Hanum?" tanya Hanum tak percaya, mulutnya melongo dengan wajah yang berseri-seri.Perhiasan yang ada di dalam kotak itu seperti gelang bertahta batu permata indah, permatanya langsung mengkilap saat lampu menyorot gelang itu, pokoknya mata ini sampe sakit gara-gara lihat kilapan permata itu. Hih lebay banget sih."Serius atuh Num, suka gak?""Suka banget Kak, kok Kakak pun
Aku segera mengejar istriku."Ayo A kita pulang," katanya sambil menyampirkan tas kecilnya di bahu."Loh kenapa, Neng? Ada apa?" Aku bertanya cemas, pasalnya baru kali ini aku melihat Asmi marah dan menangis seperti ini selama kami menikah.Selama ini dia dihina-hina, dicemooh dan lainnya pun Asmi selalu sabar, tapi entah kenapa kali ini saat kak Alfa membahas orang tua Asmi, ia menangis sampai marah begini."Ayo Aa jangan banyak tanya," katanya lagi sambil berusaha menghapus air matanya.Aku buru-buru mengambil kunci motor dan mengejar istriku keluar."Eh ada apa ini? Kenapa Asmi nangis?" tanya Bapak saat kami sudah naik motor."Gara-gara Jak Alfamaret, Pak," jawabku buru-buru, setelah itu aku melajukan motor membawa Asmi pulang.Sampai di kontrakan aku memberinya minum, setelah Asmi tenang aku kembali mengintrogasinya."Neng kenapa? Ada apa tumben Neng nangis begini?" Serius aku bertanya.Istriku menyeka air mata di pipinya. "Neng mah sedih A kalau ada yang bahas-bahas masalah kelua
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa