Esok hari setelah aku pulang kerja.
Aku dan istriku ke rumah Ibu dan Bapak lagi, sesuai kesepakatan aku dan saudara-saudaraku, malam ini kami semua berencana akan menginap di sana karena hajatan akan dilaksanakan besok tepatnya."Kak Alfa belum datang, Bu?" tanyaku pada Ibu yang tengah mencicipi masakan Bibik."Ya belumlah Hasan, ini kan masih sore, mereka pasti masih sibuk kerja, gak kayak kalian," kecut Ibu menjawab.Entah kenapa ucapannya itu selalu saja tajam bagaikan silet, lebih-lebih setelah aku menikah dengan Asmi selalu saja kami dibeda-bedakan dan disindir-sindirnya begitu.Setelah menyalami Ibu, Asmi pergi ke ruang keluarga sementara aku tetap di dapur bersama Ibu."Ibu, kenapa sih, Bu? Kok kayak gitu terus sama aku dan Asmi?""Mau tahu kamu jawabannya? Karena kamu lebih nurut sama Bapakmu.""Loh 'kan, Bapak emang bener Bu, apa salahnya coba Bapak jodohin Hasan? Hasan udah cukup umur Bu, mau sampai kapan Hasan membujang kalau gak dijodohin?"Ibu menghentikan pekerjaannya lalu duduk di kursi makan bersamaku."Ya tapi enggak sama si Asmi juga 'kan?" Serius Ibu menatapku."Ya terus harus sama siapa, Bu? Apa sih kurangnya Asmi? Asmi itu baik, nurut sama Ibu, sayang sama Hasan dan yang paling penting Hasan juga cocok sama Asmi.""Halah bilang cocok karena masih baru-baru nikah, entar kalau udah bertahun-tahun baru deh kamu sadar dan nyesel, Asmi itu gendut, gak ada yang bisa Ibu banggain dari dia, percuma jandi mantu juga."Aku menarik napas dalam-dalam, meski nyesek banget omongan ibuku itu jangan sampai aku ngamuk di depannya."Astagfirullah Bu, sadar kalau ngomong, jangan suka mandang orang dari fisik, Bu.""Emang itu kenyataannya.""Tapi Asmi 'kan baik Bu, gak kayak menantu Ibu yang lainnya, mereka pelit sementara Asmi? Nyumbang hajatan aja berjuta-juta, beras sama kambing pula," ucapku bersikukuh.Sengaja aku menjabarkan semua kebaikan Asmi di depan Ibu, supaya Ibu sadar akan semua itu."Hilih cuma beras 5 kwinal sama kambing, mungkin aja itu beras dan kambing patungan di desanya, orang desa kan gitu, kalau mau ada apa-apa selalu gotong royong saling bantu dan saling sumbang," ketus Ibu menyahut.Hah apa bener apa yang dikatakan Ibu? Apa iya beras sama kambing yang disumbangin Asmi adalah hasil kebaikan warga desa? Ah masa? Jadi penasaran, nanti biar kutanyain deh sama Asmi.-Malam hari sekitar jam 8 Kak Alfa dan Mbak Andin baru datang."Baru dateng Kak?" tanyaku pada Kak Alfa yang masih menor dengan make-up dan baju gamis blink-blink nya.Heran juga kenapa malam-malam begini Kak Alfamaret itu masih saja dandan berlebihan gitu, udah kaya mau ngelenong aja.Mbak Andin juga sama, entah kenapa itu tangan sama lehernya mendadak penuh sama emas, udah kayak toko emas berjalan."Iya nih, soalnya sibuk, baru bisa ke sini jam segini deh, maklumlah Mas Angga kerja kantoran jadi jam 7 malam baru bisa pulang," Kak Alfa menjawab kecut.Entahlah benar atau enggak yang diucapkan Kak Alfamaret itu tapi aku ragu, palingan mereka itu memang sengaja datang telat agar mereka tidak banyak membantu pekerjaan di rumah Ibu.Kak Alfa dan Mbak Andin lalu duduk di samping Asmi yang sedang sibuk memasukan kue-kue kering ke dalam toples, tak lama ibu datang duduk juga bersama mereka."Besok jangan lupa pake emas kayak Andin, yang palsu juga gak apa-apa, biar gak dikira kita keluarga miskin-miskin amat, pake baju yang bagus juga biar gak kucel-kucel amat di acara hajatan," ucap Ibu pada Asmi.Aku menarik napas berat, mulai lagi saja ibuku itu. Sementara istriku hanya mengiyakan ucapan Ibu."Alfa sama Andin kok baru dateng sih? Ibu mau minta bantuan kamu pilih baju buat acara selametan nanti setelah acara Hanum, bingung Ibu gak ada kalian," ucap Ibu lagi, kali ini pada Mbak Andin dan Kak Alfa."Ya maaf, Bu, tadi 'kan Alfa harus nungguin Mas Angga dulu habis rapat katanya.""Sama Andin juga, Bu, Mas Fatih baru pulang jam 6 sore.""Ibu kenapa gak minta bantuan Asmi aja atuh? Kalau Asmi tahu Ibu lagi butuh bantuan pasti Asmi bantuin," sahut istriku."Gak usah! Kamu tahu apa emangnya? Bukannya bantu pilih baju yang cocok, nanti Ibu malah dibikin jelek dan udik kayak kamu."Asmi akhirnya diam dan melanjutkan pekerjaannya, wajahnya terlihat sangat sedih dan kecewa."Besok tugasmu jaga dapur ya Asmi. Jangan sampe masakan buat stok prasmanan kehabisan." Ibu bicara lagi.Aku cepat menyahut."Gak bisa Bu, Asmi mau nerima tamu sama Hasan, enak aja lagi-lagi istriku disuruh di dapur.""Ih masa yang nerima tamu Kak Asmi sih? Yang pantesan dikit 'kan bisa, inget loh, yang mau nikah sama Hanum ini pengusaha, pengusaha Lab batu permata, tempat lab nya udah tersebar di mana-mana, di mall-mall besar juga udah banyak. Pokoknya jangan sampe malu-maluin karena pasti teman-temannya yang datang itu orang kaya semua," protes Hanum."Tahu tuh kakak kamu maksa banget heran, cantik enggak gendut iya itu istrinya." Lagi, Mbak Andin yang menyahut, wanita itu benar-benar tak peduli walau aku dan Asmi ada di tengah mereka.Mulai emosiku meradang."Ya terus kenapa kalau istriku gendut? Mbak Andin jangan mentang-mentang langsing jadi seenaknya ya sama istriku, jatohnya body shaming, bisa Hasan laporkan nanti.""Hih mulai deh si Hasan emosi teros," celetuk Mas Fatih."Biasa kalau orang gak punya duit begitu," sahut Kak Angga, puas.Mereka seperti sengaja terus menyerang dan menertawakan kami berdua."Mbak Andin inget ya! Biar gimanapun posisi, Mbak Andin dengan Asmi itu sama, sama-sama menantu di rumah ini, jadi jangan belagu, Mbak!" tegasku.Mendadak wajah Mbak Andin pias.Aku yang sejak tadi tengah duduk di sofa ruang keluarga akhirnya menarik tangan istriku."Ayo Neng! Lebih baik kita pulang aja.""Loh A, mau kemana?""Pulang."Dengan amarah meluap-luap aku akhirnya berhasil membawa Asmi pulang dan batal menginap di rumah ibu meski Asmi daritadi terus menolaknya."A gak boleh gitu atuh sama keluarga, harus sabar, A," kata Asmi saat kami sudah sampai di rumah."Gak bisa Neng, meningan Aa gak usah hadir di nikahannya Hanum sekalian daripada Neng selalu diremehkan dan gak dianggap begitu."Asmi mulai mengelus dadaku."Nyebut atuh A, istighfar!""Kesel Aa Neng, gak bisa kalau Neng selalu dihina-hina begitu."Asmi lalu memelukku."Aa sayang ya sama, Neng?""Ya sayang dong Neng, makanya Aa belain Neng, meskipun mereka keluarga buat apa kalau kelakuan mereka kayak begitu? Pada belagu banget mentang-mentang kita miskin dan kamu gendut.""Makasih ya A, udah sayangin Neng, mulai sekarang Neng akan nurut deh sama Aa. Apa mau Aa Neng akan turutin."Aku tersenyum, wah kesempatan nih."Bener Neng, mau turutin apa mau, Aa?"Asmi mengangguk. Kupegang kedua bahu Asmi dan menatapnya serius."Diet ya Neng, pergi ke salon juga kalau nanti ada uang," ucapku dengan yakin.Asmi terlihat berpikir sebentar tapi akhirnya setuju juga dengan permintaanku.Esok hari.Itu artinya hari ini adalah hari hajatannya Hanum. Tapi sengaja selepas subuh aku kembali tidur, malas sekali rasanya kalau aku harus datang ke sana. Aku sudah terlanjur sakit hati.Biar saja mereka mau bagaimana kalau aku dan Asmi tidak ada di sana, karena selama ini mereka selalu menyuruh kami ini dan itu untuk persiapan pernikahan Hanum.Pukul delapan aku baru bangun, segera aku pergi ke belakang, kulihat istriku tidak ada di dapur, di depan juga tidak ada. "Kemana Asmi pergi? Apa jangan-jangan dia ke rumah, ibu?"Segera aku mengambil ponsel dan meneleponnya."Neng, ada di mana?" "Neng lagi di toko A, sekalian lihat gudang baru.""Apaan sih? Gudang apaan? Ngapain juga di toko? Mau belanja apaan di sana?" tanyaku bingung sambil mengacak rambut."Di toko baju A, gudang segala macem di sini. Emang Aa gak baca surat dari Neng? Tadi Aa lagi tidur Neng gak tega bangunin karena katanya kita gak akan dateng ke rumah ibu." Aku melirik ke atas nakas, ternyata benar ada surat di
"Perhiasan Neng atuh, A," jawabnya ringan sambil membetulkan kalung itu di lehernya.Bukan hanya kalung, Asmi juga memakai gelang dan cincin yang modelnya serupa dengan kalung itu."Neng, bilang sama Aa, Neng sebetulnya anak orang kaya ya?" Sengaja akhirnya aku kembali bertanya, karena aku semakin penasaran pada istriku ini.Alis cetar Asmi menaut."Gak juga ah, ibu sama bapak di desa hanya petani biasa, A.""Petani apa? Petani sawit 'kan ya?"Pasti, aku yakin orang tua Asmi adalah petani sawit, aku sering denger dari orang-orang kalau jadi petani sawit itu gak bisa diragukan penghasilannya.Tapi Asmi malah terbahak."Mana ada sawit di sana atuh A, ngaco, desa Neng itu bukan daerah penghasil sawit," katanya."Lah terus? Emang di mana sih desa Neng itu?" "Hanya petani padi biasa aja sih A, Neng dari Kuningan Jawa Barat A, masa iya gak tahu ih gimana sih desa istrinya sendiri.""Ya maaf, Aa emang gak tahu Neng, 'kan waktu nikah kemaren kita numpang nikahnya di sini, Aa juga gak urus-ur
"Ada di sini juga Mbak Asmi?""Lah iya atuh kan yang punya hajatan ibu mertua saya, Pak.""Wah gak sangka kita jadi sodaraan dong, itu 'kan yang nikah sama Hanum adik sepupu saya," ucapnya lagi.Oh ternyata pria ini calon sodaraku, tapi dari mana Asmi mengenal kakak sepupu Aldan-calon suami Hanum?"Wah kebetulan atuh ya, Pak," seru Asmi semakin akrab."Udah lama Mbak Asmi gak cek permata ke lab saya nih, gak pindah ke tempat lain kan, Mbak?"Aku terkejut, tak kecuali ibu dan dua saudaraku di sampingnya, mereka saling menatap satu sama lain dan semakin serius mendengarkan percakapan Asmi bersama Pak Amet."Ah engga atuh Pak, emang belum sempat ke sana aja karena saya juga baru selesai melangsungkan acara nikahan, ini baru pindah ke kota Tangerang sebulan lalu." Istriku tersenyum ramah.Boleh juga istriku itu, gak sangka juga circlenya sampai ke pengusaha lab batu permata. Anjay, apalah aku yang hanya kurir ekspedisi. Ah tapi gak apa-apa, kata Asmi, pekerjaan tidak menentukan derajat se
Aku melongo, Pak Amet cepat-cepat menarik tanganku naik ke pelaminan, Asmi ikut di belakangku dan kami pun foto bersama keluarga mempelai pria, ya meskipun wajah Hanum sedikit murung, tapi kalau di depan keluarga suaminya dia bisa apa? Selain nurut tentunya haha.Selesai di foto Hanum berbisik."Kak Hasan kok bisa sih kalian diajak foto sama keluarga suamiku?""Bisalah, kami orang terkenal," jawabku sambil berlalu menarik tangan Asmi.Selesai acara hajatan, bapak menyuruh kami menginap karena besok mau bongkar tenda dan beres-beres katanya, oke aku nginep itu pun karena bapak yang memintanya, kalau bukan bapak jangan harap aku mau, habisnya aku terlanjur kesal sama ibu dan kelakuan sodara-sodaraku yang selalu saja meremehkanku dan mengejek istriku itu.Malam hari selepas isya aku sedang ngopi di depan teras bersama bapak, Mas Fatih, Kak Angga dan Aldan si pengantin baru sambil mengobrol ngalor-ngidol tentang pekerjaan Aldan, baru kutahu sekarang ternyata yang diucapkan Hanum bual semu
"Num, Kak Asmi mah gak bisa kasih apa-apa buat Hanum, cuma ini aja nih ada perhiasan sedikit, maaf ya karena kemarin Kak Asmi bingung mau kasih apa buat Hanum," kata istriku seraya memberikan kotak perhiasan bentuk love.Duh kenapa juga Asmi mesti kasih hadiah perhiasan, kalau aku jadi dia mendingan perhiasannya kujual dan kubelikan sprei 50 ribuan juga udah bagus, apalagi kalau gambar bunga seperti yang ibuku suka beli beuh bagus banget meskipun luntur semua pas dicuci.Hanum yang sedang mengobrol bersama Mbak Andin akhirnya menerima kotak pemberian Asmi dan membukanya saat itu juga."Hah? Kak Asmi serius? Ini buat Hanum?" tanya Hanum tak percaya, mulutnya melongo dengan wajah yang berseri-seri.Perhiasan yang ada di dalam kotak itu seperti gelang bertahta batu permata indah, permatanya langsung mengkilap saat lampu menyorot gelang itu, pokoknya mata ini sampe sakit gara-gara lihat kilapan permata itu. Hih lebay banget sih."Serius atuh Num, suka gak?""Suka banget Kak, kok Kakak pun
Aku segera mengejar istriku."Ayo A kita pulang," katanya sambil menyampirkan tas kecilnya di bahu."Loh kenapa, Neng? Ada apa?" Aku bertanya cemas, pasalnya baru kali ini aku melihat Asmi marah dan menangis seperti ini selama kami menikah.Selama ini dia dihina-hina, dicemooh dan lainnya pun Asmi selalu sabar, tapi entah kenapa kali ini saat kak Alfa membahas orang tua Asmi, ia menangis sampai marah begini."Ayo Aa jangan banyak tanya," katanya lagi sambil berusaha menghapus air matanya.Aku buru-buru mengambil kunci motor dan mengejar istriku keluar."Eh ada apa ini? Kenapa Asmi nangis?" tanya Bapak saat kami sudah naik motor."Gara-gara Jak Alfamaret, Pak," jawabku buru-buru, setelah itu aku melajukan motor membawa Asmi pulang.Sampai di kontrakan aku memberinya minum, setelah Asmi tenang aku kembali mengintrogasinya."Neng kenapa? Ada apa tumben Neng nangis begini?" Serius aku bertanya.Istriku menyeka air mata di pipinya. "Neng mah sedih A kalau ada yang bahas-bahas masalah kelua
Asmi menyeka air mata di pipinya."Beneran Aa mau bantu Neng nyari bapak kandung, Neng?""Beneran dong, jangankan bapak yang hanya manusia biasa, alamat yang enggak jelaspun selalu Aa cari-cari sampai dapat.""Alamat siapa?""Alamat yang punya paket dong Neng, Neng lupa ya kalau Aa ini babang kurir?" candaku, Asmi tertawa mendengarnya.Di tengah obrolan kami terdengar suara lagu naik delman diputar, kukira ada odong-odong lewat tahunya ponsel Asmi yang bunyi.'Pada hari minggu kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa kududuk di muka.'Aku tepok jidat, kenapa nada deringnya harus naik delman sih Asmiii? Ampun dah."Halo Assalamualaikum Paman, kumaha?" kata Asmi dalam sambungan telepon yang diloudspeaker."Waalaikumsalam Neng, si bapak teh nuju udur ripuh geulis tos 3 dinten dirawat di rumah sakit teu acan aya perobahan, geura uih heula ka lembur sakedap mah karunya bisi aya naon-naon, tenang upami tos silih hampura mah, karunya ongkoh si ibu bisi teu gaduheun kanggo bekel di rumah sa
"Oh ya A, sebelum pulang mampir dulu ke gudang ya, Neng mau pamitan ke pegawe gudang karena mau pulang kampung, siapa tahu kan nanti di sana kita bakal lama," kata Asmi kemudian.Aku manut saja kebetulan juga aku ingin tahu di mana gudang usahanya itu berada.Selesai minum cendol kami segera melaju ke arah Cipondoh di mana letak gudang usaha Asmi berdiri, aku pikir cuma ruko kecil tapi ternyata aku salah, gudangnya cukup besar karena ada dua rolling pintu yang Asmi sewa, saat kulihat dalamnya benar ada 3 orang karyawan di sana, 2 orang perempuan dan satu laki-laki yang sedang jualan live di salah satu market place.Aku sampe geleng-geleng melihat ternyata istriku sehebat itu, bertumpuk-tumpuk barang jualannya ada di ruko sebelah dan sebelahnya ia jadikan kantor admin untuk 3 orang karyawannya itu, Asmi hanya memantau dari jauh lewat hp sejak Asmi menikah denganku, tapi meski begitu Asmi selalu bekerja keras sampai harus begadang tiap malam agar ia bisa mengecek semua laporan yang masu
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa