"Asmi tolong angkat galonnya!" kata Ibu saat kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga. Istriku yang tengah duduk bersama kami akhirnya bangkit.
"Eh gak usah, apaan sih Bu, masa iya istriku disuruh angkat galon kayak gak ada orang lain aja," sahutku sambil menarik lagi tangan Asmi."Gak apa-apa atuh A, lagian Neng juga bisa." Istriku lalu ke dapur melakukan apa yang diperintahkan ibu."Asmi jangan lupa bantu Bibik cuci piring dan kwalinya juga!" teriak Ibu lagi."Bu, kasihan Asmi dong, masa iya dari pagi disuruh di belakang terus, cuci piringlah, masaklah, bikin kuelah," protesku.Aku cepat-cepat bangkit akan menyusul Asmi tapi segera Kak Alfa menyahut."Udah biarin aja sih, udah biasa ini istrimu kerja berat, di desa pasti dia suka pikul-pikul kayu bakar sama rumput, jadi kalau sekedar angkat galon sama kerja di dapur ya gak seberapa buat dia.""Bener tuh," timpal si bungsu."Enak banget punya istri kayak si Asmi, udah tenaganya kayak samson bohai pula," celetuk Mas Angga, suami Kak Alfa.Akhirnya semua orang yang sedang berkumpul di sana tertawa, sementara aku menyusul istriku ke dapur, hatiku meradang rasanya setiap kali dekat dengan mereka, lagi-lagi istriku yang jadi bahan ejekan mereka.Kami adalah 4 bersaudara, yang pertama Kak Alfa punya suami namanya Mas Angga, mereka sudah punya dua orang anak usia SMA semua. Kedua Kak Fatih punya istri namanya Mbak Andin, cantik emang mirip artis tapi kelakuannya sama kayak Kak Alfa julitnya keterlaluan, mereka juga udah punya 2 orang anak tapi masih usia SMP dan SD, yang ketiga aku.Aku baru menikah dengan Asmi sebulan yang lalu itupun karena bapak terus saja menekanku agar aku buru-buru menikah supaya tidak dilangkahi oleh Hanum.Akhirnya mau tak mau aku menerima jodoh yang diberikan Bapak padaku ya meskipun akhirnya istriku itu sering jadi bahan cemoohan semua saudara, iparku juga anak-anaknya karena bobot Asmi yang gendut juga berasal dari desa.Yang ke empat Hanum, adik bungsuku itu baru akan menikah dua hari lagi, karena itu kami sering kumpul di rumah ibu dan bapak akhir-akhir ini untuk membantu mengurus semua keperluan hajatannya."Sudah belum Neng?" tanyaku saat sampai di dapur."Beres A." Asmi menepuk-nepuk telapak tangannya."Lain kali jangan suka mau kalau disuruh-suruh begini, ayo kembali ke depan.""Loh yang suruh itu Ibu loh A, masa iya Neng jangan ikutin perintah ibu.""Ya udah ayo ke depan.""Neng mau bantu bibik cuci piring dulu, A."Ya ampun entah istriku ini terlalu nurut, baik atau polos."Ya udah tapi cepet kembali ke depan."Akupun kembali ke ruang keluarga."Hasan, udah jahit baju seragam belum istrimu itu? Jangan sampai ya kita gak seragamanan di acara nikahannya Hanum, nanti fotonya jadi jelek gara-gara gak kompak," tanya Ibu."Gak tahu nanti coba tanya Asmi aja, Bu." jawabku malas.Sekitar 15 menit kemudian istriku datang."Asmi, kamu udah jahit baju seragam belum?" tanya Ibu."Seragam apa, Bu?""Seragam nikahan lah Asmi, masa iya seragam sekolah, masih sekolah kamu?""Hahaha." Semua orang kembali terbahak, mereka tidak peduli meski aku ada di sana dan menatap tak suka ke arah mereka."Loh emang harus ada seragam gitu? Atuh Asmi mah gak tahu gimana ya? Mana waktunya udah mepet pula," katanya, wajahnya kini terlihat resah."Yah Kak Asmi gimana sih? Makanya jangan mikirin makanan terus dong, terus gimana kalau Kak Asmi gak punya seragam? Nanti fotonya jadi jelek karena kelihatan gak kompak," dengus Hanum si calon pengantin. Wajahnya terlihat kesal saat tahu istriku ternyata tidak punya baju seragam keluarga."Warna apa sih? Nanti Kakak cari deh di toko biar selaras, bila perlu nanti kita ganti aja seragamnya, biar Kakak yang carikan buat kita semua," tanya istriku lagi."Gak usahlah Kak, gak bakal cocok kalau beli jadi, mendadak pula." Hanum menyahut kesal, gadis berusia 25 itu akhirnya pergi ke kamarnya."Kalau gitu nanti kamu gak usah ikut difoto Asmi! Kamu kan gak punya bajunya," celetuk Kak Alfa."Loh kok gitu Kak?" tanyaku."Udahlah A, gak apa-apa cuma foto doang," sahut Asmi lagi.Akupun menarik tangan Asmi ke belakang."Neng, kenapa sih lagian gak jahit bahannya dari jauh-jauh hari?" "Bahan apa?" "Loh Neng emang gak dikasih bahan sama Kak Alfa dan Mbak Andin?"Istriku menggeleng, "gak, A."Keterlaluan, pantesan tadi kak Alfa dan mbak Andin cengengesan begitu, rupa-rupanya mereka emang sengaja gak kasih bahan ke Asmi supaya Asmi gak ikut difoto. Entah apa masalah mereka sama Asmi itu tega sekali mereka pada istriku.Aku kembali menarik tangan istri ke ruang keluarga."Kak Alfa! Mbak Andin! Apa-apaan ini? Kalian sengaja kan gak kasih Asmi bahan supaya dia gak jahit baju seragaman? Kalian sengajakan lakuin ini supaya Asmi gak ikut difoto?" Marah aku pada mereka, semua orang yang sedang duduk bangkit saat melihat kemarahanku."Loh kok aku? Mbak gak tahu apa-apa," sahut Mbak Andin."Tahu ih kamu main tuduh aja." Kak Alfa juga menyahut."Ya kenyataannya emang Asmi gak dikasih bahan, ulah siapa lagi kalau bukan ulah kalian? Kalian 'kan yang urus hajatan ini?!" sentakku lagi.Di tengah keributan kami akhirnya Bapak datang."Apa sih ribut-ribut? Di rumah orang tua bukannya pada rukun malah adu mulut begini?" "Ini nih Pak, Kak Alfa sama Mbak Andin mereka sengaja gak kasih istriku bahan supaya gak pakai baju seragaman.""Loh kok kamu jadi salahin dan sentak-sentak istri Mas sih?" sahut Mas Fatih."Wajar dong Mas, Hasan sentak istri Mas, karena istri Mas Fatih emang salah, maksudnya apa coba gak ngasih bahan baju ke istriku?""Bahannya emang gak akan muat buat bikin baju istrimu Hasan, istri kamu harus pake double bahannya, 'kan tubuhnya emang jumbo." "Kak Alfa," decitku menghentikan ucapannya."Sudah! sudah!" teriak Bapak lagi, beliau melambai-lambai tangan ke atas untuk melerai kami."Apaan sih kalian? Karena bahan baju aja kalian ribut begini. Kamu Alfa, bener kamu gak kasih bahan ke istrinya Hasan?""Iya Pak, habisnya Hasan gak ada sumbangsihnya sih dalam hajatan ini, makanya Alfa gak kasih istrinya bahan karena kalau dikasihpun kami harus kasih double, tripple malah karena buat Hasannya juga.""Kamu nih, ya kasih aja gak apa-apa, bahan keluargakan uangnya dari Bapak bukan dari kamu, berapa sih emangnya kamu nyumbang buat hajatan ini? Cuma sejuta 'kan?!" sentak Bapak, wajah Kak Alfa seketika pias menahan malu."Tapi Pak, Hasan malah gak nyumbang sepeserpun," sahut Kak Angga membela istrinya."Kata siapa? Gak usah sok tahu kamu Angga, Hasan emang gak nyumbang hajatan tapi istrinya nyumbang lebih dari yang kalian sumbangin."Kami semua terperangah, lalu menatap wajah Bapak dengan tatapan bertanya-tanya."Emang bener, Neng?" bisiku pada Asmi."Sedikit sih, A." "Asal kalian tahu, ya ...." Bapak bicara lagi."Asmi nyumbang beras 5 kwintal buat hajatan ini," lanjut Bapak. Lagi-lagi kami semua terperangah. Aku sampai tak percaya, ini beneran apa bapak cuma lagi belain Asmi karena Asmi istri pilihan beliau ya?"Bukan cuma beras tapi Asmi juga nyumbang seekor kambing jenis etawa, ya kalian tahulah harganya berapa? Cari di google kalau gak tahu," imbuh Bapak lagi.Kami semua makin melongo, tak kecuali denganku. Masa iya istriku nyumbang sebanyak itu? Dari mana uangnya? Wah jangan-jangan istriku itu anak orang kaya di desanya, buktinya bisa sumbang beras, bisa sumbang kambing, hebat emang, gak sangk
Di tengah perjalanan pulang Asmi memintaku berhenti sebentar di depan minimarket."Neng, masuk sendiri aja Aa nunggu di sini," kataku sambil duduk di kursi yang biasa ada di depan minimarket.Entah apa yang akan dibeli istriku, kubiarkan saja, aku tak mau banyak tanya juga, takutnya Asmi merasa risih, kasihan.Sekitar 15 menit kemudian, Asmi keluar dengan 2 jinjing plastik besar berisi belanjaan di tangannya. Sontak keningku mengerut dan cepat-cepat bangkit untuk membawakan plastik itu."Neng, belanja apa? Kok banyak banget.""Cuma keperluan dapur sama cemilan A, belanja bulananlah istilahnya." Aku pun menaruh plastik itu di depan motorku. Tapi sebelum berangkat aku kembali bertanya."Belanja segini banyak emang Neng ada uang? "Ya ada atuh A, makanya bisa belanja."Sebetulnya aku sedikit heran, darimana sih uang Asmi itu? Tadi Bapak bilang Asmi nyumbang 5 juta, sekarang Asmi belanja banyak banget, gak mungkin kalau hanya dari uang gajiku, soalnya gajiku itu tidak seberapa, aku hanya
Esok hari setelah aku pulang kerja.Aku dan istriku ke rumah Ibu dan Bapak lagi, sesuai kesepakatan aku dan saudara-saudaraku, malam ini kami semua berencana akan menginap di sana karena hajatan akan dilaksanakan besok tepatnya."Kak Alfa belum datang, Bu?" tanyaku pada Ibu yang tengah mencicipi masakan Bibik."Ya belumlah Hasan, ini kan masih sore, mereka pasti masih sibuk kerja, gak kayak kalian," kecut Ibu menjawab.Entah kenapa ucapannya itu selalu saja tajam bagaikan silet, lebih-lebih setelah aku menikah dengan Asmi selalu saja kami dibeda-bedakan dan disindir-sindirnya begitu.Setelah menyalami Ibu, Asmi pergi ke ruang keluarga sementara aku tetap di dapur bersama Ibu."Ibu, kenapa sih, Bu? Kok kayak gitu terus sama aku dan Asmi?""Mau tahu kamu jawabannya? Karena kamu lebih nurut sama Bapakmu.""Loh 'kan, Bapak emang bener Bu, apa salahnya coba Bapak jodohin Hasan? Hasan udah cukup umur Bu, mau sampai kapan Hasan membujang kalau gak dijodohin?"Ibu menghentikan pekerjaannya l
Esok hari.Itu artinya hari ini adalah hari hajatannya Hanum. Tapi sengaja selepas subuh aku kembali tidur, malas sekali rasanya kalau aku harus datang ke sana. Aku sudah terlanjur sakit hati.Biar saja mereka mau bagaimana kalau aku dan Asmi tidak ada di sana, karena selama ini mereka selalu menyuruh kami ini dan itu untuk persiapan pernikahan Hanum.Pukul delapan aku baru bangun, segera aku pergi ke belakang, kulihat istriku tidak ada di dapur, di depan juga tidak ada. "Kemana Asmi pergi? Apa jangan-jangan dia ke rumah, ibu?"Segera aku mengambil ponsel dan meneleponnya."Neng, ada di mana?" "Neng lagi di toko A, sekalian lihat gudang baru.""Apaan sih? Gudang apaan? Ngapain juga di toko? Mau belanja apaan di sana?" tanyaku bingung sambil mengacak rambut."Di toko baju A, gudang segala macem di sini. Emang Aa gak baca surat dari Neng? Tadi Aa lagi tidur Neng gak tega bangunin karena katanya kita gak akan dateng ke rumah ibu." Aku melirik ke atas nakas, ternyata benar ada surat di
"Perhiasan Neng atuh, A," jawabnya ringan sambil membetulkan kalung itu di lehernya.Bukan hanya kalung, Asmi juga memakai gelang dan cincin yang modelnya serupa dengan kalung itu."Neng, bilang sama Aa, Neng sebetulnya anak orang kaya ya?" Sengaja akhirnya aku kembali bertanya, karena aku semakin penasaran pada istriku ini.Alis cetar Asmi menaut."Gak juga ah, ibu sama bapak di desa hanya petani biasa, A.""Petani apa? Petani sawit 'kan ya?"Pasti, aku yakin orang tua Asmi adalah petani sawit, aku sering denger dari orang-orang kalau jadi petani sawit itu gak bisa diragukan penghasilannya.Tapi Asmi malah terbahak."Mana ada sawit di sana atuh A, ngaco, desa Neng itu bukan daerah penghasil sawit," katanya."Lah terus? Emang di mana sih desa Neng itu?" "Hanya petani padi biasa aja sih A, Neng dari Kuningan Jawa Barat A, masa iya gak tahu ih gimana sih desa istrinya sendiri.""Ya maaf, Aa emang gak tahu Neng, 'kan waktu nikah kemaren kita numpang nikahnya di sini, Aa juga gak urus-ur
"Ada di sini juga Mbak Asmi?""Lah iya atuh kan yang punya hajatan ibu mertua saya, Pak.""Wah gak sangka kita jadi sodaraan dong, itu 'kan yang nikah sama Hanum adik sepupu saya," ucapnya lagi.Oh ternyata pria ini calon sodaraku, tapi dari mana Asmi mengenal kakak sepupu Aldan-calon suami Hanum?"Wah kebetulan atuh ya, Pak," seru Asmi semakin akrab."Udah lama Mbak Asmi gak cek permata ke lab saya nih, gak pindah ke tempat lain kan, Mbak?"Aku terkejut, tak kecuali ibu dan dua saudaraku di sampingnya, mereka saling menatap satu sama lain dan semakin serius mendengarkan percakapan Asmi bersama Pak Amet."Ah engga atuh Pak, emang belum sempat ke sana aja karena saya juga baru selesai melangsungkan acara nikahan, ini baru pindah ke kota Tangerang sebulan lalu." Istriku tersenyum ramah.Boleh juga istriku itu, gak sangka juga circlenya sampai ke pengusaha lab batu permata. Anjay, apalah aku yang hanya kurir ekspedisi. Ah tapi gak apa-apa, kata Asmi, pekerjaan tidak menentukan derajat se
Aku melongo, Pak Amet cepat-cepat menarik tanganku naik ke pelaminan, Asmi ikut di belakangku dan kami pun foto bersama keluarga mempelai pria, ya meskipun wajah Hanum sedikit murung, tapi kalau di depan keluarga suaminya dia bisa apa? Selain nurut tentunya haha.Selesai di foto Hanum berbisik."Kak Hasan kok bisa sih kalian diajak foto sama keluarga suamiku?""Bisalah, kami orang terkenal," jawabku sambil berlalu menarik tangan Asmi.Selesai acara hajatan, bapak menyuruh kami menginap karena besok mau bongkar tenda dan beres-beres katanya, oke aku nginep itu pun karena bapak yang memintanya, kalau bukan bapak jangan harap aku mau, habisnya aku terlanjur kesal sama ibu dan kelakuan sodara-sodaraku yang selalu saja meremehkanku dan mengejek istriku itu.Malam hari selepas isya aku sedang ngopi di depan teras bersama bapak, Mas Fatih, Kak Angga dan Aldan si pengantin baru sambil mengobrol ngalor-ngidol tentang pekerjaan Aldan, baru kutahu sekarang ternyata yang diucapkan Hanum bual semu
"Num, Kak Asmi mah gak bisa kasih apa-apa buat Hanum, cuma ini aja nih ada perhiasan sedikit, maaf ya karena kemarin Kak Asmi bingung mau kasih apa buat Hanum," kata istriku seraya memberikan kotak perhiasan bentuk love.Duh kenapa juga Asmi mesti kasih hadiah perhiasan, kalau aku jadi dia mendingan perhiasannya kujual dan kubelikan sprei 50 ribuan juga udah bagus, apalagi kalau gambar bunga seperti yang ibuku suka beli beuh bagus banget meskipun luntur semua pas dicuci.Hanum yang sedang mengobrol bersama Mbak Andin akhirnya menerima kotak pemberian Asmi dan membukanya saat itu juga."Hah? Kak Asmi serius? Ini buat Hanum?" tanya Hanum tak percaya, mulutnya melongo dengan wajah yang berseri-seri.Perhiasan yang ada di dalam kotak itu seperti gelang bertahta batu permata indah, permatanya langsung mengkilap saat lampu menyorot gelang itu, pokoknya mata ini sampe sakit gara-gara lihat kilapan permata itu. Hih lebay banget sih."Serius atuh Num, suka gak?""Suka banget Kak, kok Kakak pun
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa