Aku menelan saliva, tubuhku makin gugup dan berkeringat saja."Permisi Bu, Pipit mau istirahat sebentar sebelum ke warung." Pipit melengos pergi ke dalam."Aa teh kenapa? Pagi-pagi keringetan gitu." Asmi bertanya lagi dengan mata menyipit.Mulutku refleks terbuka dan tergagap-gagap."Anu emm ...."Belum juga selesai aku melanjutkan ucapanku Asmi sudah melengos pergi ke dalam."Neng! Neng tunggu!""Ssstt jangan teriak-teriak, ini masih pagi buta Hasjun sama Poppy masih tidur," ucap Asmi sambil menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.Tak tahan lagi, kupeluk Asmi erat-erat sampai tak sadar air mataku juga menerobos begitu saja."Maafin Aa Neng ... maafin, Aa." Aku berbisik di telinganya."Aa, ada apa ini teh? Malu atuh." Asmi dengan paksa melepaskan pelukanku. Cepat kuseka air mata."Aa teh kenapa sih? Ada apa kok nangis begini?"Aku menggeleng pelan."Udah atuh gak apa-apa Aa, Neng teh tadi nanya-nanya cuma bercanda, Neng gak marah kok, lagian mau gimana lagi atuh da 'kan gak enak
"Apaan sih Hanum kalau ngomong ngaco aja." Kak Alfa menyikut lengan Hanum.Si Hanum mengatupkan mulut dan lamgsung cengengesan, "hehe maaf Kak maaf Hanum cuma bercanda," kata pada Asmi.Tapi wajah Asmi tak berubah, ia masih menunjukan rasa penasaran lewat matanya yang pelan-pelan menyipit. Sementara aku di meja makan ini masih berdebar tak karuan. Keningku berkeringat dengan perasaan was-was.Tapi aku harus tenang, sekali lagi aku harus tenang. Semoga Asmi cepat melupakan omongan si Hanum dan menerimanya sebagai guraun saja, lagipula yang aku heran, kok bisa-bisanya si Hanun ngomong gitu? Dia ngomong serius apa emang cuma bercanda sih? Awas aja tuh anak."Udah As gak usah dipikirin itu si Hanum." Ucapan Kak Alfa membuat Asmi tersenyum seadanya."Kamu teh bercandanya bikin Kak Asmi jantungan Num," ucap Asmi kemudian. Hanum menggaruk kepala, "hehe maaf Kak maaf, Hanum bercanda doang kok tadi hehe, emm ya udah Hanum ke belakang dulu ya Kak, mau minum." Tanpa menunggu jawaban Asmi si Han
"Anu itu Sayang ... Aa sama Pipit lagi ngomongin soal masalah tadi di warung.""Terus? Tadi kata Aa, Aa teh mau nyari waktu buat ngomong sama, Neng? Ada apa? Ngomong aja sekarang? Mau ngomong apa emangnya? Apa warung ada masalah?" cecar Asmi.Aku menarik napas dalam, keringat lagi-lagi basah di tubuhku."Gak Neng, sebenernya gak ada apa-apa kok, bukan hal penting.""Kalau soal warung mah ya jelas aja atuh jadi hal penting, A," desaknya.Aku makin gugup, kuseka keringat di pilipis berkali-kali."Ini bukan masalah di warung kok Bu, ini masalah antara kita," ucap si Pipit menimbrung.Aku terhenyak, napasku makin berat dan sesak. Telapak tanganku juga mendadak dingin tak berasa.Ya Tuhan, apa ini saatnya Asmi tahu semuanya?"Bukan soal warung? Terus soal apa atuh? Tadi kata suami saya kalian teh lagi ngomongin soal warung.""Bukan Bu, ini soal-""Aaa ea ea ea." Ucapan Pipit terpotong saat kami dengar tangisan Hasjun begitu kencang di atas, sontak saja hal itu juga membuat Asmi buru-buru
"Iya, ya udah atuh Neng balik lagi ya A, kasihan Hasjun takut dia nangis sama Poppy."Aku mengangguk, Asmi buru-buru kembali pulang.Setelah Asmi menghilang, kuhampiri si Pipit."Pipit, jujur, apa bener kamu yang ngirim pesan itu sama Asmi?"Si Pipit mengangkat wajahnya tajam."Apaan sih gak jelas," ketusnya."Pipit!" teriakku spontan.Si Pipit bangkit memasang wajah tak suka."Apaan sih Abang?! Suka banget ya Abang teriak-teriak begitu sama Pipit?!""Abang mau kamu jujur!" teriakku lagi."Iya! Emang iya Pipit yang ngirim pesan itu, kenapa? Gak boleh, hah?!" balasnya berteriak juga.Mulutku mengatup, rahangku mengerat."Kamu denger ya Pit, terserah kamu mau lakuin apa sama hidup Abang, tapi jangan neror istri Abang sampe bikin dia khawatir begitu, bahaya, dia lagi hamil," tegasku sambil bertelunjuk jari.Kesal bukan main aku sama si Pipit. Bisa-bisanya dia nakut-nakutin Asmi begitu, untung Asmi dan utun nya baik-baik aja, kalau sampe kenapa-kenapa awas aja, gak akan kumaafin si Pipit
"Iya Pit maaf jadi tadi tuh saat Abang mau ceritain semuanya dari awal kamu malah dateng ngetok pintu, jadi informasinya belum lengkap, kamu gak bisa nyalahin Abang karena nyatanya kamu yang salah dalam hal ini, siapa suruh kamu dateng pagi-pagi ke kamar ketok-ketok pintu?""Ya jelas aja Pipit ngetok pintu pagi-pagi, karena kalau gak gitu Abang bakal lebih lama di kamar kayak penganten baru aja," balas si Pipit makin kesal."Ya tapi tadi moment nya gak tepat Pipiiit, kamu gimana sih? Kamu sendiri yang minta Abang buru-buru ngasih tahu istri Abang soal ini, tapi kamu sendiri yang gagalin.""Enak aja pake nyalahin Pipit, yang salah itu Abang karena Abang gak bisa tegas dan gak bisa nepatin janji Abang. Udahlah, Pipit gak mau tahu, bodo amat soal istri Abang itu, mau dia tahu ini anak Abang kek mau enggak kek, yang penting secepatnya Abang harus nikahi Pipit," tegasnya menatapku tajam.Mulutku mengatup, udara pagi menjelang siang yang biasanya riuh teduh mendadak menerjang dadaku hingga
"Coba aja kalau Kakak bisa," balas Pipit.Kak Alfa membuang wajah kasar, ia sempat menatapku sebentar sebelum akhirnya Kakakku itu pulang."Keluarga Abang itu emang keterlaluan, bukannya seneng dapat kabar bahagia, malah begitu, pake ngancem-ngancem segala," gerutu si Pipit kemudian. Wajahnya terlihat sangat kesal saat tahu Kak Alfa menolak kehadiran si Pipit mentah-mentah.Pipit pun kembali ke dalam, lalu duduk di kursi jaga sambil terus memijit ponselnya."Assalamualaikum, Bu." "Waaliakumsalam, iya Pit."Kudengar si Pipit mulai bicara dengan seseorang dalam sambungan telepon, entah siapa tapi aku yakin itu ibunya. Siapa lagi? Biasanya juga gitu, hampir tiap hari si Pipit nelepon sama ibunya sampe hampir satu jam bahkan lebih, apalagi kalau warung sudah agak sepi.Tapi yang aku heran sekarang, tumben si Pipit nelepon sama ibunya sambil diloudspeaker? Biasanya jangankan diloudspeak, dia nelepon aja mesti di luar warung biar aku gak nguping kayaknya."Hari ini anak-anak baik 'kan, Bu?
Ah tapi enggak, aku juga gak boleh berburuk sangka dulu sama orang lain, bisa jadi semua yang terjadi ini emang murni karena dosa-dosa yang kuperbuat. -Malam itu aku tidur gelisah, selain memikirkan omongan si Pipit yang ngajak ke Jakarta besok, aku juga gelisah memikirkan soal laba warung yang mendadak merosot dari hari ke hari."Oke, daripada aku makin stres dan gak tentu arah gini, besok meningan aku salat subuh ke mesjid dan minta pencerahan ustaz di sana," gumamku sendiri sambil menatap wajah Asmi dan Hasjun yang sudah terpejam dengan lelap.Iya. Entah kenapa, mendadak aku terpikir akan hal itu.***Esok harinya aku bangun sebelum subuh, bersih-bersih lalu turun ke bawah."Nah gitu dong udah bangun," kata Pipit, ia baru saja keluar dari kamarnya."Abang mau ke mesjid dulu gak langsung ke pasar," ucapku seadanya. "Loh Bang tap-"Setengah berlari aku meneruskan langkah, sengaja ingin memotong ucapan si Pipit yang selalu bikin pening kepala.Di mesjid, setelah kami selesai salat,
Kami berdua menoleh. Poppy yang ada di sana, matanya tengah memicing penuh selidik."Poppy, gak sopan banget kamu, sana pergi," titah Pipit ketus.Si Poppy pun pergi meski dengan raut wajah yang masih penuh tanda tanya. Sementara itu aku juga bergegas pergi dari hadapan si Pipit."Abaaang!! Mau kemana sih?" teriaknya lagi. Pipit mengejar dan kembali memegang lenganku.Cepat kuhentakan tangannya kasar, "kamu tuh bisa gak sih Pit jangan begini? Saya ada urusan gak usah kamu tanya-tanya, dasar gak tahu malu!" sentakku. Mendadak wajah si Pipit pias di tempatnya.Buru-buru aku melangkah pergi menuju rumah ibu mertua.Sampai di sana ternyata Asmi dan Kak Alfa gak ada, malahan ibu mertua jadi bingung dan cemas karena kedatanganku itu."Apa mungkin si Neng teh pergi ke dokter San? Biasanya kalau si Neng pergi mendadak dan gak pake bilang-bilang dulu itu ada keadaan darurat.""Gak tahu juga Bu, mana ponselnya juga gak bisa dibubungi, Kak Alfa juga sama aja, pada kemana sih mereka pagi-pagi beg