“Ayo ke tempatku, Kak Mel, Seba.”Malam itu, setelah pertemuan yang sukses dengan para mitra dan konferensi pers yang memancing perhatian media, Dania, Melody, dan Sebastian berkumpul di apartemen Dania.Aura kemenangan memenuhi ruangan, tapi mereka tahu ini bukan waktunya untuk bersantai. Sebaliknya, setiap langkah mereka ke depan harus lebih cermat lagi, memastikan rencana ini akan memancing reaksi Hizam dan membuatnya melakukan kesalahan yang bisa mereka buktikan di hadapan semua pihak.“Ini momen krusial,” kata Dania sambil bersandar di kursinya. "Aku yakin, dengan keadaan yang semakin terjepit, Hizam mungkin akan mencoba sesuatu yang lebih nekat lagi."Melody menyilangkan tangannya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. “Benar, Nona. Jika dia berani menyabotase proyek Nexus dan bahkan melakukan percobaan pembakaran, itu artinya dia tak akan berhenti di sini. Mungkin kita bisa memancingnya dengan memberi informasi yang seolah bocor, sesuatu yang membuatnya berpikir Nexus
“Nih, udah datang.” Dania membuka kotak pizza pesanannya. “Jangan sungkan-sungkan dimakan, yuk!”Sebagai pemimpin proyek, tak mungkin Dania mengabaikan perut bawahannya.“Terima kasih, Nona.” Melody dan Sebastian hampir bersamaan menyahut.Karyawan lainnya mengangguk.Malam itu, Dania dan timnya bersiap mengawasi pergerakan terakhir Hizam. Mereka sudah mengatur agar pihak berwenang dapat segera menindaklanjuti rencana yang mereka susun matang-matang.Di gedung Nexus, layar monitor besar di ruang kontrol menampilkan akses kamera pengawasan di lokasi proyek tambang baru yang sengaja mereka umbar sebagai investasi besar. Momen ini sangat krusial — setiap langkah Hizam harus terpantau.Sedangkan di kantor Hizam, suasana tegang. Hizam sedang berbicara dengan beberapa orang kepercayaannya, wajahnya menunjukkan keseriusan dan kemarahan yang mendalam.“Kita nggak bisa mundur sekarang. Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Nexus sebelum mereka menguasai pasar ini sepenuhnya,”
Dania melongo. Hizam gagal diadili? Gagal dipenjara?“Kok bisa?!” Dania sampai memekik sambil menampar meja di depannya.Melody menundukkan kepalanya, merasa gagal menyenangkan Dania. Ini benar-benar di luar kemampuannya. Padahal mereka sudah bekerja sangat keras untuk mengumpulkan banyak bukti.Tapi… terkadang memang uang yang paling berkuasa atas apa pun di dunia ini. Mereka tidak memprediksi akan campur tangan Arvan Grimaldi.“Haaah~” Dania menatap keluar jendela, wajahnya tanpa ekspresi ketika dia akhirnya mulai tenang.Mau bagaimana lagi? Sudah begini. Hanya perlu berusaha lebih baik lagi ke depannya.“Maafkan ketidakbecusan saya, Nona.” Melody tampak menyesal dan merasa bersalah.Ini menimbulkan sedih dan penyesalan pada Dania atas responnya tadi yang menyebabkan Melody jadi terpuruk.“Jangan salahkan dirimu, Kak Mel.” Dania berusaha tetap menjaga ketenangannya. Walau begitu, ada kilatan dingin di matanya. “Aku tau ini nggak akan mudah. Hizam itu licin. licik, juga culas. Setida
“Siapa itu Levinston, Edenberg, dan Birmington?”“Sepertinya itu nama keluarga, bukan nama kecil.”“Kira-kira siapa pengirimnya? Apakah benar tiga orang yang namanya tertera?”“Apa hubungan ketiga orang itu dengan Leona dan Hizam, ya?”Para tamu saling berbisik, penasaran dengan tiga nama yang ditulis di bunga besar tersebut dan apa maksud dari ucapan itu?Hingga kemudian, satu jam berikutnya kedua mempelai datang dan memasuki ballroom dengan senyum lebar di masing-masing wajah. Hizam sibuk mengangguk ke para tamu, sedangkan Leona melambai penuh keanggunan. Mereka berjalan bergandengan bagaikan pasangan raja dan ratu semalam.“Terima kasih sudah datang!” Leona sibuk menyapa para tamu terdekat yang dia kenali.Namun, begitu mata Leona tiba di karangan bunga yang diletakkan sangat mencolok di dekat pintu masuk ballroom, wajahnya berubah tegang. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya mulai memudar saat membaca papan ucapan itu. Tatapannya berubah gelap, dan kedua tangannya mengepal.“Bajing
“I-Ivella.” Hizam cukup gugup ketika Ivella mendekat ke arahnya untuk mengucapkan selamat.Namun, sikap Ivella tetap tenang dan wajar.“Selamat untuk Bos dan Nyonya Bos.” Ivella dengan pandai bertingkah normal layaknya bawahan memberi selamat ke atasannya.Dia menyalami tangan Hizam dan memberi ‘salam antar pipi’ ke Leona meski Leona heran, siapa Ivella ini? Tapi karena disorot banyak mata tamu undangan, Leona tak menolak kecupan antar pipi dari Ivella.“Semoga kalian selalu langgeng sampai kapan pun. Saya pamit dulu.” Ivella menyelipkan kode perpisahannya ke Hizam tanpa pria itu paham.Lalu, Ivella melenggang ringan turun dari panggung pelaminan dan berjalan keluar dari ballroom. Tugasnya sudah selesai.“Nona, semuanya sudah saya lakukan.” Ivella melaporkannya ke Dania.“Bagus, Kak! Langsung aja masuk ke mobil Seba yang udah nunggu di luar, yah!” Dania mengomando.Langkah kaki jenjang Ivella semakin mantap meninggalkan hotel tersebut dan masuk ke mobil hitam yang telah dipersiapkan u
“Emangnya kenapa kalo itu topengnya Nona Dania?” Sebastian sudah menggunakan bahasa santai karena bersama Ivella.Ivella masih terpana dengan sikap santai Sebastian.“Sini, aku bantu nyempurnain topengnya biar pas.” Sebastian lekas mengeluarkan alat-alatnya dari tas.Tidak bisa menolak, Ivella pasrah saja didudukkan di depan kaca rias dan mulai didandani Sebastian.Dalam waktu sekejap, dia sudah berubah menjadi Dania. Benar-benar mirip, hanya berbeda gaya rambut saja. Dania sedikit ikal, sedangkan dia lurus.“Nah, sempurna.” Sebastian menatap ke kaca.Dia puas dengan hasil topengnya dan menatap takjub ke pantulan bayangan dari Ivella.“Bahan kelas atas emang nggak ngecewain!” Sebastian terkekeh senang.“Seb, ini… ini ngaco, Seb! Gak seharusnya—arghh!” Ivella gagal menyelesaikan kalimatnya karena dia sudah dihempas Sebastian ke kasur.“Layani aku dengan benar, maka aku akan mengakuimu.” Sebastian melepas mantel mandinya dan hanya menyisakan tubuh atletisnya yang tidak tertutupi apa pun
“Heh, gembel gembrot! Ambilkan jus untukku!”Seorang gadis berujar begitu enteng di ruang makan keluarga. Wajahnya tersenyum mengejek.Dania Loveto, menantu keluarga Grimaldi, menoleh ke Zila yang baru saja bicara padanya. Tanpa protes, dia mengambil gelas kosong untuk diisi dengan jus yang diminta adik iparnya.“Ini, Zila.” Dania menyerahkan segelas jus ke Zila.Zila menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Dania tidak kaget. Semua anggota keluarga Grimaldi memang bersikap dingin dan kasar padanya. Tak terkecuali Hizam Grimaldi, suaminya.Sebenarnya Dania heran kenapa dirinya dilamar Hizam, anak pemimpin Zenith Group, perusahaan tempat mendiang ayahnya bekerja. Usia mereka terpaut 6 tahun.Saat itu dia mengira dirinya mendapat durian runtuh saat dilamar Hizam. Dia memang terpikat oleh pesona Hizam ketika pertama kali bertemu sewaktu Dania masih remaja.Oleh karenanya, dia menerima lamaran itu begitu saja dan tak menyangka perlakuan keluarga Grimaldi sangat buruk terhadapnya.“Udah
“Aarrgh!” Dania menjerit ketika sorot lampu mobil semakin mendekat padanya.Namun, kakinya kaku tak bisa digerakkan seolah ada bongkahan beton membelenggunya.Mobil sudah berusaha mengerem sejak tadi, tapi cukup sulit dikarenakan jalanan licin akibat hujan.“Ugh!” Dania jatuh terduduk, tepat di depan mobil yang akhirnya berhasil dihentikan.Seorang pria jangkung memakai mantel tebal keluar dari kabin belakang dengan wajah cemas.“Nona, kau tak apa-apa? Ada luka?” tanya pria itu, hendak mendekat ke Dania.Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dania lekas berdiri dan berlari kencang menjauh dari pria itu, lalu menghilang di sebuah tikungan pertokoan.Pria itu tertegun di tempatnya sambil bergumam, “Dia … Dania?”Lalu, sopir keluar sambil membawa payung. “Tuan Rivan, silakan masuk. Ini masih di tengah jalan.”Pria bernama Rivan Ortiz itu pun masuk kembali ke mobil meski hatinya terus bertanya-tanya kenapa Dania berlari di tengah hujan.Setengah jam berikutnya, Dania duduk di depan