“Benar, kan?” Leona menoleh ke suaminya yang sedang menyetir di samping. “Benar dia kan, jalangmu itu?! Ngaku?!”Geram dengan suaminya yang tidak segera mengakui tebakannya, Leona menjambak rambut Hizam.“Adududuh! Sayang, ampun! Iya, ampun! Aku minta ampun, Sayang!” Hizam berulang kali mengiba.Kepalanya sampai miring gara-gara jambakan kencang Leona yang tak juga dilepaskan.“Sayang, lepasin, Sayang… jangan gini, nanti kita malah celaka bareng. Aku susah nyetirnya ini!” Hizam panik.Mereka sudah ada di jalan tol, dan akan sangat berbahaya kalau Leona mengganggunya saat mengemudi.“Biarin aja! Biarin kita mati bareng! Buat apa aku hidup kalo punya suami doyan jalang?!” teriak Leona tanpa mau melepaskan jambakannya. “Aku mendingan mati aja!”“Jangaaannn!” Hizam terus berjuang tetap mengendalikan kemudi dengan kepala miring akibat dijambak.Akibatnya, mobil pun sempat melaju zig-zag dengan aneh, sampai mobil dari arah berlawanan harus menghindari mereka dengan sigap dan klakson mulai t
“Awas, hati-hati, Sayang!” Hizam membantu Leona turun dari mobil.Mereka sudah kembali ke apartemen. Leona telah pulih kembali dan kandungannya baik-baik saja. Dokter memintanya untuk lebih berhati-hati menjaganya.Maka, tidak mengherankan jika Hizam sampai membantu istrinya turun dari mobil. Apalagi keluarga sudah mewanti-wanti dia untuk menjaga Leona dengan baik.“Minggir kakimu!” sungut Leona.Sebenarnya dia sudah kuat sejak hari lalu.Masuk ke apartemen Hizam, Leona kembali teringat bahwa hunian itu pernah dijadikan tempat perselingkuhan Hizam dan Ivella. Maka, terpicu oleh bayangannya sendiri, dia mulai kesal.“Ambilkan minum!” Leona bersikap bossy, membentak Hizam.“Iya, iya, aku pasti ambilkan, kok, Sayang. Nggak usah pake bentak-bentak gitu, dong. Kasian anak kita di dalam, ntar dia kaget,” bujuk Hizam untuk menenangkan istrinya.“Diam! Nggak usah banyak bacot! Dasar cowok brengsek yang bisanya selingkuh doang!” Leona merasa di atas angin.Suaminya sejak beberapa hari lalu sel
“Apa sih?” Leona menoleh ke suaminya.Dengan malas dia menatap layar ponsel yang ditunjukkan Hizam. Memangnya ada apa sampai suaminya seperti orang menahan amarah begitu?Namun, begitu mata Leona menangkap nama Edenberg, Birmington, dan Levinston… dia seperti hendak runtuh ke lantai. Tubuhnya langsung gemetaran.“Bisa jelasin ke aku, Na?” ulang Hizam dengan nada rendah karena menahan emosi.Di postingan itu, ada seseorang menjelaskan sesuatu dalam sebuah thread.“Jadi, dulu tuh yang namanya Leona Manson, yang kemarin ngadain pesta nikahan gede-gedean dan mewah itu, ternyata dia cukup gila di masa dulunya waktu masih kuliah di luar negeri! Ini juga aku ngertinya dari temen aku yang kakaknya alumnus sana.“Kata kakak temenku, Leona itu terkenal sebagai ani-ani di sana. Dia tuh sugar baby yang biasa digilir ama banyak om-om. Tapi yang paling santer beritanya tuh dia masuk ke party elit yang khusus untuk aktivitas… kalian pahamlah!“Nah, Leona ini konon melayani banyak gadun tajir di pest
“Dania?” Hizam dan Leona sama-sama berucap secara kompak disertai dahi berkerut heran.Tapi mereka tetap membiarkan baby crib besar itu masuk ke apartemen. Kemudian, petugas paketnya pergi, menyisakan Hizam dan Leona dilingkupi tanda tanya di kepala mereka.“Kok Dania bisa tau ini aku ada acara baby shower?” Leona mulai mencetuskan keheranannya yang ditahan sejak tadi.Hizam hanya menggelengkan kepala. Dia sendiri tak ada dugaan apa pun mengenai yang ditanyakan istrinya.“Apa sebenarnya dia selama ini selalu memata-matai kita, Zam?” curiga Leona sambil mengernyitkan dahi.Satu tepukan tangan dari Hizam menandakan dia menyetujui asumsi istrinya.“Pasti itu! Cih! Ternyata diam-diam dia selalu berusaha nyari tau segala hal tentang kita!” Hizam sambil mendecih.Namun, jauh di dalam hatinya, dia merasa ada sensasi gembira mengetahui itu. Mantan istrinya yang molek ternyata masih mengikuti berita mengenainya! Ternyata Dania masih penasaran padanya!“Bawa itu ke sudut ruangan untuk acara nan
“Hizam… angh… haanh….” Leona terus mendesah sambil berpegangan pada sofa ruang tengah.Sedangkan Hizam terus menggerakkan pinggulnya secara ritmis di belakang Leona.“Enak, Sayang? Enak, kan?” tanya Hizam. “Lebih enak ini apa punyanya Tuan Edenberg?”Dengan brengseknya, Hizam menanyakan hal semacam itu.“Anghh… Zam… enak punyamu… urmmhh… kamu kan muda dan gagah….” Leona tanpa malu-malu menjawab dengan memuji suaminya.Dengan begitu, Hizam terkekeh senang, egonya membengkak seketika.Di penthouse-nya, Dania mendesah lagi sambil menahan rasa nelangsa di hatinya.“Dulu aku nggak pernah disayang kayak gitu ama kamu, Zam.” Suara pelan Dania keluar dalam gumaman. “Bahkan kamu nyentuh aku aja, kamu nggak mau, Zam. Kamu bilang badanku bikin kamu jijik.”Tanpa sadar, air mata meleleh di pipi. Dania agak kaget menyadari dirinya sudah menangis. Dia usap pelan genangan bening itu dari wajahnya.Bagaimanapun, sebagai wanita dengan hati yang lembut, Dania merasa sedih melihat mantan suaminya terlih
“Ri-Rivan ada di luar sana….” Dania merasa hatinya tergetar.Kakinya secara refleks melangkah ke pintu.“Rivan… ada di balik pintu ini….” Dania berbisik sambil meremas erat ponsel di tangannya.Dia lupa bahwa ponselnya masih terhubung dengan Rivan.“Rivan ada di sini! Dia ada di sini!” Dania merasakan eforia aneh yang belum pernah dia alami sebelum ini. “Ya ampun! Dia beneran di sini!”Perasaan membuncah ketika dia merasa lelah berlari dan kemudian ada seseorang yang menangkapnya sebelum dia terjatuh.Klak!Ketika pintu di dibuka… wajah tersenyum Rivan langsung menyapa Dania.Terjangan perasaan emosional tanpa bisa terkendali menerpa Dania dengan derasnya. Bukannya dia membalas Rivan dengan senyuman, dia justru….Menangis.“Huhuuu….” Dania menutupi kedua wajahnya dengan tangan, merasa malu dilihat Rivan dalam kondisi serapuh ini.Rivan sempat terkejut ketika Dania mendadak saja menangis setelah sebelumnya mata gadis itu berkaca-kaca ketika mereka sudah bertemu tanpa terhalang pintu.
“Ha ha ha!” Rivan tertawa melihat kepanikan Dania. “Nggak masalah, kok! Aku ini orang dengan pikiran terbuka lebar, Dania.”Rivan berusaha menghibur Dania yang kelimpungan.Sedangkan Dania segera mencari remote televisi, ke mana benda itu?! Astaga! Dia merogoh bawah bantal sofa, lipatan dalam sofa, tak ada!“Astaga! Itu!” Dania melihat onggokan benda yang dia cari ternyata ada di atas lemari kaca tak jauh dari televisi. Kenapa bisa ada di sana? Oh, itu ketika Rivan datang, dia secara tak sadar menaruh remote di tangannya di lemari itu untuk membukakan pintu bagi Rivan.Maka, bergegas saja Dania meraih remote televisi itu dan langsung menekan tombol di sudut atas untuk mematikan televisi.Ketika gambar di layar akhirnya menghilang, Dania pun mengembuskan napas lega.“Apa televisimu cuma bisa dimatikan melalui remote, Dania?” tanya Rivan.Dania terpaku sejenak mencerna pertanyaan Rivan.Barulah setelah itu, dia memekik tertahan. Dia melupakan tombol manual yang ada di televisi itu sendi
“Se-sejak aku jadi pekerjamu di minimarket?” Dania sampai tergagap saking tak percayanya.Dania melongo. Dia yang salah dengar, atau memang Rivan mengatakan kalau pria itu jatuh cinta padanya sejak dia masih bertubuh gendut dan berwajah tidak menarik?“Riv… nggak mungkin!“ Dania menggelengkan kepala dengan wajah ragu. “Aku waktu itu masih gendut, jelek, nggak menarik sama sekali. Nggak mungkin—mmffhh!Rivan buru-buru menyentuh bibir Dania menggunakan bibirnya sendiri, meneruskan ciuman ringan yang membuai.“Aku bisa bawakan buktinya kalau aku ke sini lagi.” Rivan berbisik saat menjeda ciumannya. “Kamu bisa lihat, aku lagi merayu, lagi berbohong, atau emang ngomong fakta.”Sekali lagi, Dania membiarkan dirinya hanyut terbawa buaian cumbuan lembut Rivan. Dia memejamkan mata sambi menikmati sentuhan tangan dan bibir Rivan pada wajahnya, lehernya, dan juga dadanya.“Angh~” Dania melenguh ketika puncak dadanya kembali dikuasai mulut Rivan.Rasanya bagian itu berdenyut-denyut nyaman oleh is
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne
Hizam terkejut. “Apa? Kenapa, Pa?”Betapa mengejutkannya bagi Hizam beserta ibu dan adiknya saat mereka mendengar apa yang diperintahkan Arvan.Menceraikan Leona. Arvan memerintahkan demikian dengan nada tegas dan wajah serius. Baru kali ini Arvan ikut campur dalam ranah hubungan pribadi anaknya.Namun, Arvan seperti tidak mau tau. Dia melotot ke Hizam yang dianggap melawan. Tangannya sudah hendak melayang untuk kedua kalinya, namun Alina segera berdiri di depan putranya, menjadi tameng.“Papi! Jangan pukul lagi anakmu!” Alina mendesis tegas, dan hanya itu yang sanggup dia lakukan yang paling jauh, disebabkan dia juga takut pada Arvan ketika pria itu dalam mode serius.Disebabkan pembelaan Alina yang dia cintai, Arvan urung memukul Hizam.“Papa ingin kamu menceraikan Leona karena kamu akan kembali mengejar Dania,” ujar Arvan dengan tegas. “Kalau dia adalah pewaris Nexus, maka kita tidak bisa kehilangan kesempatan emas ini. Kamu harus melakukan apa pun untuk mendapatkan kembali hatinya.
“Benar, Nona Dania adalah penerus Nexus Holdings.” Yohan menebalkan pernyataan itu.Hizam memicingkan mata, tak percaya.Dania? Mantan istrinya yang menyedihkan itu? Yang merupakan anak dari pasangan miskin yang membeli mobil saja tidak mampu?“Kenapa, Zam? Kamu nggak percaya?” Dania menaikkan dagunya, puas bisa membuat Hizam sepucat kertas. “Aku bisa kasi bukti dari tes DNA. Nama asliku Dania Hadid. Nexus di Morenia sebenarnya tempat aku untuk berlatih bisnis sebelum aku mengambil alih seluruh Nexus.”Hizam berdiri terpaku, tubuhnya kaku seperti patung. Kata-kata Yohan menggema di kepalanya berulang kali, seolah-olah mencoba meyakinkan pikirannya yang enggan menerima kenyataan.Dania? Pewaris Nexus Holdings?Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis apa yang baru saja didengarnya.Namun, tatapan percaya diri Dania, ditambah dengan senyum puas yang mengembang di wajahnya, membenarkan semua yang Hizam coba sangkal.“Nggak mungkin,” gumam Hizam akhirnya, suaranya penuh ketidakper
“Hubunganku dengan Pak Yohan? Dengan Tuan Levi?” beo Dania atas pertanyaan Hizam. “Hihi! Kepalamu yang berotak payah itu bisa jumpalitan kalau aku kasi tau jawabannya.”Dania tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berdiri dengan anggun, lalu berjalan mendekati meja di mana beberapa dokumen penting Nexus berada. Tangannya dengan santai menyentuh salah satu dokumen itu sebelum dia akhirnya menatap Hizam.“Aku di sini bukan tanpa alasan,” katanya dengan nada tenang tetapi penuh makna. “Dan satu hal yang harus kamu lakuin kalau kamu ingin bergaul baik dengan penerus Nexus, Hizam, yaitu kamu… harus bersikap saaaaangat baik ama aku.”Setelah mengucapkan itu, Dania menyunggingkan senyum seringainya.Hizam hanya bisa memandang Dania dengan tatapan bingung, tetapi juga penuh amarah yang tertahan. Sesuatu tentang wanita itu terasa berbeda, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi.“Maksudmu apa sih, Dania? Ngapain aku harus bergaul baik ama kamu lebih dulu kalau ingin
Pada esok harinya….Hizam Grimaldi berjalan memasuki lobi kantor Nexus Holdings dengan langkah penuh percaya diri.Penampilan pria itu tergolong sempurna, mengenakan jas hitam mahal dengan dasi merah marun, namun di dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman.Ini semua karena perintah ayahnya, Arvan Grimaldi tadi malam. “Besok Papa tak mau tau. Pergilah ke Nexus Holdings. Pewaris perusahaan itu dirumorkan masih berada di Morenia. Kamu harus menjalin hubungan baik dengannya, tak boleh gagal! Jangan sampai kita kehilangan peluang kerja sama besar!” begitu instruksi tegas yang dia terima.Namun, rasa tidak nyaman Hizam perlahan berubah menjadi kekesalan saat dia memasuki ruang pribadi Yohan. Di sana, dia melihat Yohan, sang Managing Director Nexus Holdings di Morenia, berdiri di samping kursi besar yang diduduki seorang wanita yang sangat dia kenal—Dania.Mata Hizam membelalak, tetapi bukan karena keterkejutan biasa. “Kamu ngapain di sini?” suaranya tajam, nyaris seperti perintah terh
‘Astaga! Astaga! Astaga!’ Dania merasakan jantungnya sibuk berdebar kencang.Dia tidak menyangka akan diberi pertanyaan mengenai sesuatu yang… yang… membuat wajahnya akan merah padam.“Itu… sakit…” Suara Dania seperti mencicit pelan. Dia bingung. Harus menanggapi dengan kalimat apa?Karena gugup, Dania tak berani menatap Rivan. Kepalanya terus tertunduk, seakan meja dan piring jauh lebih memikat mata ketimbang pria tampan di depannya.“Dania…” Rivan menyapa dengan suara lebih lembut.Tangan pria itu juga terjulur untuk menggapai tangan Dania. Senyumnya tak pernah luntur dari wajah tampannya.“Um!” Dania tersentak.Dia terlalu gugup saat ini, hingga tanpa sadar menarik tangannya dari gapaian Rivan. Dia bisa melihat pria itu terlihat kecewa.Tapi bagaimana ini? Dia tak mungkin mendorong tangannya lagi untuk masuk ke telapak tangan Rivan, kan?Akan aneh, bukan?“A-aku makan dulu sopnya, yah!” Dania mengalihkan pembicaraan.Dia segera meraih mangkuk untuknya dan mulai menyantapnya di bawah
“Anda menolak tamu ini?” tanya petugas melalui telepon khusus.“Iya, Pak! Iya! Tolak aja! Bilang, aku udah tidur!” Dania mengulangi ucapannya, kali ini dengan nada tegas agar lebih meyakinkan petugas di bawah sana.Setelah mengakhiri pembicaraan singkat dengan petugas, Dania kembali ke ruang tengah dan duduk gelisah di sofa mahalnya.Tanpa sadar, giginya sibuk menggigiti tepian kukunya beserta kulit di bagian pinggir. Tingkah ketika dia sedang gelisah maupun panik.“Duh, gimana, sih! Aku malah nolak dia? Padahal aku… aku harus tanya ke dia soal… soal… arrkhhh! Nggak mungkin aku tanya: Riv, apa benar kamu yang udah ambil perawan aku? Aish! Gila aja tanya gitu ke dia!”Dania yang awalnya sangat menginginkan kedatangan Rivan, kini justru gelisah dan takut bertemu pria itu. Lebih tepatnya, dia malu. Sangat malu.Entah seperti apa dia ketika malam itu melakukannya dengan Rivan. Argh! Dia tak mau membayangkannya! Pasti bukan sebuah hal yang menyenangkan untuk diingat-ingat, bukan?Duduk gel
“Mmhh~ Riiivv~” Dania masih saja mengerang manja sambil menampilkan wajah penuh minatnya terhadap Rivan.Dikarenakan Dania terus saja memancing, maka Rivan tak bisa mengelak dari hasratnya sendiri.Dia terpikat pada Dania sejak lama dan dia yakin Dania kini bisa membalas perasaanya yang sudah berkembang menjadi sayang dan cinta.“Annhh~” Dania melenguh pelan ketika Rivan mulai menciumi tubuhnya.Sesekali dia akan bergidik karena geli dan mendapatkan sensasi asing yang baru kali ini dirasakan.Napas Dania tersengal, dia terengah-engah ketika sentuhan-sentuhan Rivan membawa eforia tersendiri bagi tubuhnya yang amatir.“A-aarkhh!” Dania tanpa segan menyerukan suara lepasnya ketika dirinya mendapatkan pengalaman yang pertama kalinya di dalam hidup.Hingga akhirnya tangannya terus digenggam erat Rivan sambil dia menyerahkan seluruh dirinya pada pria itu, meski di bawah pengaruh obat.***“Umrh~” Dania terbangun dan mendapati dirinya sudah ada di tempat tidur huniannya. Sendirian.Ketika di
“Ummhh?” Dania mengerang pelan sambil memberikan nada tanya saat Sebastian menciumnya. “Riv….”Mendadak saja, nama itu keluar dari mulut Dania, dialunkan dengan lembut, seakan menyiratkan perasaan orang yang menyebutkannya.Seketika, Sebastian menghentikan tingkah gilanya dan menyudahi ciumannya untuk menatap wajah Dania.“Nona, apakah hanya dia saja yang ada di pikiranmu?” bisik Sebastian sambil menatap wajah merah padam Dania.Ketika lift terbuka, Sebastian segera sadar dan menyingkirkan segala pikiran busuknya pada Dania. Dia bisa saja membuat Melody menyingkir dan Dania akan berhasil dia kuasai untuk dirinya sendiri.Tapi….Sebastian menggendong Dania, memastikan dia aman hingga Melody tiba dengan mobil. “Ayo!” Sebastian sudah membantu Dania masuk ke mobil dan dia berada di belakang untuk menjaga.Sekaligus memeluk Dania untuk keegoisannya sendiri, sedangkan Melody fokus mengemudi.“Kita langsung ke penthouse Nona saja dan kita bisa jaga Nona di sana.” Sebastian mengomando.Melod