“Benar, kan?” Leona menoleh ke suaminya yang sedang menyetir di samping. “Benar dia kan, jalangmu itu?! Ngaku?!”Geram dengan suaminya yang tidak segera mengakui tebakannya, Leona menjambak rambut Hizam.“Adududuh! Sayang, ampun! Iya, ampun! Aku minta ampun, Sayang!” Hizam berulang kali mengiba.Kepalanya sampai miring gara-gara jambakan kencang Leona yang tak juga dilepaskan.“Sayang, lepasin, Sayang… jangan gini, nanti kita malah celaka bareng. Aku susah nyetirnya ini!” Hizam panik.Mereka sudah ada di jalan tol, dan akan sangat berbahaya kalau Leona mengganggunya saat mengemudi.“Biarin aja! Biarin kita mati bareng! Buat apa aku hidup kalo punya suami doyan jalang?!” teriak Leona tanpa mau melepaskan jambakannya. “Aku mendingan mati aja!”“Jangaaannn!” Hizam terus berjuang tetap mengendalikan kemudi dengan kepala miring akibat dijambak.Akibatnya, mobil pun sempat melaju zig-zag dengan aneh, sampai mobil dari arah berlawanan harus menghindari mereka dengan sigap dan klakson mulai t
“Heh, gembel gembrot! Ambilkan jus untukku!”Seorang gadis berujar begitu enteng di ruang makan keluarga. Wajahnya tersenyum mengejek.Dania Loveto, menantu keluarga Grimaldi, menoleh ke Zila yang baru saja bicara padanya. Tanpa protes, dia mengambil gelas kosong untuk diisi dengan jus yang diminta adik iparnya.“Ini, Zila.” Dania menyerahkan segelas jus ke Zila.Zila menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Dania tidak kaget. Semua anggota keluarga Grimaldi memang bersikap dingin dan kasar padanya. Tak terkecuali Hizam Grimaldi, suaminya.Sebenarnya Dania heran kenapa dirinya dilamar Hizam, anak pemimpin Zenith Group, perusahaan tempat mendiang ayahnya bekerja. Usia mereka terpaut 6 tahun.Saat itu dia mengira dirinya mendapat durian runtuh saat dilamar Hizam. Dia memang terpikat oleh pesona Hizam ketika pertama kali bertemu sewaktu Dania masih remaja.Oleh karenanya, dia menerima lamaran itu begitu saja dan tak menyangka perlakuan keluarga Grimaldi sangat buruk terhadapnya.“Udah
“Aarrgh!” Dania menjerit ketika sorot lampu mobil semakin mendekat padanya.Namun, kakinya kaku tak bisa digerakkan seolah ada bongkahan beton membelenggunya.Mobil sudah berusaha mengerem sejak tadi, tapi cukup sulit dikarenakan jalanan licin akibat hujan.“Ugh!” Dania jatuh terduduk, tepat di depan mobil yang akhirnya berhasil dihentikan.Seorang pria jangkung memakai mantel tebal keluar dari kabin belakang dengan wajah cemas.“Nona, kau tak apa-apa? Ada luka?” tanya pria itu, hendak mendekat ke Dania.Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dania lekas berdiri dan berlari kencang menjauh dari pria itu, lalu menghilang di sebuah tikungan pertokoan.Pria itu tertegun di tempatnya sambil bergumam, “Dia … Dania?”Lalu, sopir keluar sambil membawa payung. “Tuan Rivan, silakan masuk. Ini masih di tengah jalan.”Pria bernama Rivan Ortiz itu pun masuk kembali ke mobil meski hatinya terus bertanya-tanya kenapa Dania berlari di tengah hujan.Setengah jam berikutnya, Dania duduk di depan
Tak terasa, 3 tahun berlalu.“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”Dani
“Kembali ke Morenia? Kau yakin, Sayang?” Levi mengerutkan dahinya dalam-dalam saat mendengar keinginan putrinya.Meneguk saliva terlebih dahulu untuk menetralisir kegugupannya, Dania mengangguk.“Aku … aku ingin ke makam papa Greg dan mama Erna.” Ini salah satu hal yang memang ingin dia lakukan. “Lagipula, di Morenia juga ada anak perusahaan Nexus, kan? Aku ingin melihat dan mempelajari Nexus di sana.”Alasan kedua hanyalah sekedar topeng belaka, karena motif sesungguhnya jauh lebih mendalam dari itu.“Nah, lihat apa yang kubawa!” Sebuah suara menginterupsi mereka.Sofia masuk sambil membawa nampan berisi kue kecil dan teh hangat. Itu hal yang biasa dia lakukan setelah yakin anak dan suaminya selesai berdiskusi mengenai bisnis.“Sayang, putri kita ingin kembali ke Morenia.” Levi menoleh ke istrinya.Sofia termangu sejenak dan duduk di sebelah putrinya.Sambil merangkul bahu Dania, Sofia bertanya, “Kamu yakin , Sayang?” Setelah melihat Dania menganggukkan kepala, dia bertanya lagi, “Ke
“Baik, Nona Maracca. Saya akan menginformasikannya pada Tuan Hizam Grimaldi.” Resepsionis itu mengangguk dan berkutat dengan teleponnya.Saat ini, Dania mengenakan setelan jas wanita dari desainer ternama. Blazer berwarna navy blue dengan potongan tajam dan pas badan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Kancing emas memberikan aksen elegan pada blazer tersebut. Rok pensil senada yang jatuh tepat di atas lutut memperlihatkan kakinya yang jenjang.Seorang karyawan berbisik kepada temannya, "Siapa sih wanita itu? Dia terlihat luar biasa!"Kemeja sutra putih gading terlihat sedikit di balik blazer, memberikan sentuhan kelembutan pada tampilannya yang tegas. Sebuah kalung berlian sederhana namun mewah menghiasi lehernya, berkilau lembut di bawah cahaya.Di sampingnya, Wildan Fargar berdeham pelan. "Nona, sebaiknya kita langsung ke intinya begitu bertemu Tuan Grimaldi."Dania menoleh ke pengacaranya dan tentu saja setuju akan itu.Dia mengangguk. "Tentu, Tuan Fargar. Kita akan membu
Dania menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Dia berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan."Aku menuntut kompensasi atas dua tahun pernikahan yang kamu bikin kayak neraka. Masa mudaku tersia-siakan karena jadi istrimu."Hizam tertawa sinis, suaranya memenuhi ruangan. Matanya memancarkan penghinaan saat dia menatap Dania."Kompensasi? Kamu pikir kamu pantas dapatin itu?"Wildan, yang berdiri di samping Dania, memutuskan untuk ikut campur. Suaranya tenang namun tegas saat dia berbicara."Tuan Grimaldi, klien saya berhak atas kompensasi ini. Jika Anda menolak, kami bisa membawa masalah ini ke pengadilan."Hizam terdiam sejenak. Matanya menyipit memandang Dania dari atas ke bawah, mengamati penampilannya yang menawan. Sebuah pikiran melintas di benaknya, membuat senyum congkak tersungging di bibirnya.Dengan nada meremehkan, Hizam akhirnya berkata, "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Toh kamu pasti udah mendapatkan banyak dari sugar daddy-mu, bukan?"Da
Sore itu, kantor mulai lengang. Sinar matahari senja menerobos masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai.Yohan memanggil Dania ke ruangannya. Dengan langkah mantap, Dania melangkah masuk, membawa beberapa berkas yang baru saja dia selesaikan."Nona Hadid, bagaimana perkembangan laporan keuangan yang saya minta?" tanya Yohan, matanya masih fokus pada layar komputer di hadapannya.Dania meletakkan berkas di meja Yohan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di sudut meja memenuhi ruangan."Sudah selesai, Pak. Saya juga menambahkan beberapa analisis yang mungkin berguna untuk rapat besok."Yohan mengalihkan pandangannya dari komputer, alisnya terangkat menunjukkan ketertarikan. Dia mengambil berkas tersebut dan membolak-balik halamannya."Bagus sekali. Kau bekerja cepat dan efisien." Yohan terdengar puas.Dania tersenyum, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Dia menarik napas dalam, jemarinya sedikit bergetar saat dia merapikan blazernya."Pak