“Apaan, sih?” Hizam kesal karena diteriaki istrinya.Saat dia mendekat ke Leona, Hizam terkejut ketika wajahnya dilempari banyak foto. Dia hendak marah, tapi ketika matanya melirik ke salah satu foto yang sudah berserakan di lantai, dia hanya bisa melongo.Di sana ada banyak sekali foto dia dan Ivella dalam berbagai pose panas dan intim.“Aku yang harusnya tanya ke kamu, apa maksudmu, Hizam?!” teriak kencang Leona karena kalap.“Sa-Sayang… jangan marah-marah! Kasian anak kita, oke?” Hizam segera memeluk Leona untuk menenangkannya.Dia tak punya jurus lain untuk berkilah mengenai perselingkuhannya dengan Ivella.“Lepasin! Bisa-bisanya kamu meluk aku dengan tubuh kotor setelah meniduri jalang!” pekik melengking Leona.Air mata sudah berlelehan keluar, mengalir seperti sungai di pipi Leona. Isakan tangisnya berpacu dengan amarah yang dilepaskan dalam teriakan.“Tega kamu, Zam! Bajingan busuk kamu! Siapa dia?! Siapa?!” Leona terus kalap.Kali ini dia melempar-lemparkan kado pernikahan yan
“Benar, kan?” Leona menoleh ke suaminya yang sedang menyetir di samping. “Benar dia kan, jalangmu itu?! Ngaku?!”Geram dengan suaminya yang tidak segera mengakui tebakannya, Leona menjambak rambut Hizam.“Adududuh! Sayang, ampun! Iya, ampun! Aku minta ampun, Sayang!” Hizam berulang kali mengiba.Kepalanya sampai miring gara-gara jambakan kencang Leona yang tak juga dilepaskan.“Sayang, lepasin, Sayang… jangan gini, nanti kita malah celaka bareng. Aku susah nyetirnya ini!” Hizam panik.Mereka sudah ada di jalan tol, dan akan sangat berbahaya kalau Leona mengganggunya saat mengemudi.“Biarin aja! Biarin kita mati bareng! Buat apa aku hidup kalo punya suami doyan jalang?!” teriak Leona tanpa mau melepaskan jambakannya. “Aku mendingan mati aja!”“Jangaaannn!” Hizam terus berjuang tetap mengendalikan kemudi dengan kepala miring akibat dijambak.Akibatnya, mobil pun sempat melaju zig-zag dengan aneh, sampai mobil dari arah berlawanan harus menghindari mereka dengan sigap dan klakson mulai t
“Awas, hati-hati, Sayang!” Hizam membantu Leona turun dari mobil.Mereka sudah kembali ke apartemen. Leona telah pulih kembali dan kandungannya baik-baik saja. Dokter memintanya untuk lebih berhati-hati menjaganya.Maka, tidak mengherankan jika Hizam sampai membantu istrinya turun dari mobil. Apalagi keluarga sudah mewanti-wanti dia untuk menjaga Leona dengan baik.“Minggir kakimu!” sungut Leona.Sebenarnya dia sudah kuat sejak hari lalu.Masuk ke apartemen Hizam, Leona kembali teringat bahwa hunian itu pernah dijadikan tempat perselingkuhan Hizam dan Ivella. Maka, terpicu oleh bayangannya sendiri, dia mulai kesal.“Ambilkan minum!” Leona bersikap bossy, membentak Hizam.“Iya, iya, aku pasti ambilkan, kok, Sayang. Nggak usah pake bentak-bentak gitu, dong. Kasian anak kita di dalam, ntar dia kaget,” bujuk Hizam untuk menenangkan istrinya.“Diam! Nggak usah banyak bacot! Dasar cowok brengsek yang bisanya selingkuh doang!” Leona merasa di atas angin.Suaminya sejak beberapa hari lalu sel
“Apa sih?” Leona menoleh ke suaminya.Dengan malas dia menatap layar ponsel yang ditunjukkan Hizam. Memangnya ada apa sampai suaminya seperti orang menahan amarah begitu?Namun, begitu mata Leona menangkap nama Edenberg, Birmington, dan Levinston… dia seperti hendak runtuh ke lantai. Tubuhnya langsung gemetaran.“Bisa jelasin ke aku, Na?” ulang Hizam dengan nada rendah karena menahan emosi.Di postingan itu, ada seseorang menjelaskan sesuatu dalam sebuah thread.“Jadi, dulu tuh yang namanya Leona Manson, yang kemarin ngadain pesta nikahan gede-gedean dan mewah itu, ternyata dia cukup gila di masa dulunya waktu masih kuliah di luar negeri! Ini juga aku ngertinya dari temen aku yang kakaknya alumnus sana.“Kata kakak temenku, Leona itu terkenal sebagai ani-ani di sana. Dia tuh sugar baby yang biasa digilir ama banyak om-om. Tapi yang paling santer beritanya tuh dia masuk ke party elit yang khusus untuk aktivitas… kalian pahamlah!“Nah, Leona ini konon melayani banyak gadun tajir di pest
“Dania?” Hizam dan Leona sama-sama berucap secara kompak disertai dahi berkerut heran.Tapi mereka tetap membiarkan baby crib besar itu masuk ke apartemen. Kemudian, petugas paketnya pergi, menyisakan Hizam dan Leona dilingkupi tanda tanya di kepala mereka.“Kok Dania bisa tau ini aku ada acara baby shower?” Leona mulai mencetuskan keheranannya yang ditahan sejak tadi.Hizam hanya menggelengkan kepala. Dia sendiri tak ada dugaan apa pun mengenai yang ditanyakan istrinya.“Apa sebenarnya dia selama ini selalu memata-matai kita, Zam?” curiga Leona sambil mengernyitkan dahi.Satu tepukan tangan dari Hizam menandakan dia menyetujui asumsi istrinya.“Pasti itu! Cih! Ternyata diam-diam dia selalu berusaha nyari tau segala hal tentang kita!” Hizam sambil mendecih.Namun, jauh di dalam hatinya, dia merasa ada sensasi gembira mengetahui itu. Mantan istrinya yang molek ternyata masih mengikuti berita mengenainya! Ternyata Dania masih penasaran padanya!“Bawa itu ke sudut ruangan untuk acara nan
“Hizam… angh… haanh….” Leona terus mendesah sambil berpegangan pada sofa ruang tengah.Sedangkan Hizam terus menggerakkan pinggulnya secara ritmis di belakang Leona.“Enak, Sayang? Enak, kan?” tanya Hizam. “Lebih enak ini apa punyanya Tuan Edenberg?”Dengan brengseknya, Hizam menanyakan hal semacam itu.“Anghh… Zam… enak punyamu… urmmhh… kamu kan muda dan gagah….” Leona tanpa malu-malu menjawab dengan memuji suaminya.Dengan begitu, Hizam terkekeh senang, egonya membengkak seketika.Di penthouse-nya, Dania mendesah lagi sambil menahan rasa nelangsa di hatinya.“Dulu aku nggak pernah disayang kayak gitu ama kamu, Zam.” Suara pelan Dania keluar dalam gumaman. “Bahkan kamu nyentuh aku aja, kamu nggak mau, Zam. Kamu bilang badanku bikin kamu jijik.”Tanpa sadar, air mata meleleh di pipi. Dania agak kaget menyadari dirinya sudah menangis. Dia usap pelan genangan bening itu dari wajahnya.Bagaimanapun, sebagai wanita dengan hati yang lembut, Dania merasa sedih melihat mantan suaminya terlih
“Ri-Rivan ada di luar sana….” Dania merasa hatinya tergetar.Kakinya secara refleks melangkah ke pintu.“Rivan… ada di balik pintu ini….” Dania berbisik sambil meremas erat ponsel di tangannya.Dia lupa bahwa ponselnya masih terhubung dengan Rivan.“Rivan ada di sini! Dia ada di sini!” Dania merasakan eforia aneh yang belum pernah dia alami sebelum ini. “Ya ampun! Dia beneran di sini!”Perasaan membuncah ketika dia merasa lelah berlari dan kemudian ada seseorang yang menangkapnya sebelum dia terjatuh.Klak!Ketika pintu di dibuka… wajah tersenyum Rivan langsung menyapa Dania.Terjangan perasaan emosional tanpa bisa terkendali menerpa Dania dengan derasnya. Bukannya dia membalas Rivan dengan senyuman, dia justru….Menangis.“Huhuuu….” Dania menutupi kedua wajahnya dengan tangan, merasa malu dilihat Rivan dalam kondisi serapuh ini.Rivan sempat terkejut ketika Dania mendadak saja menangis setelah sebelumnya mata gadis itu berkaca-kaca ketika mereka sudah bertemu tanpa terhalang pintu.
“Ha ha ha!” Rivan tertawa melihat kepanikan Dania. “Nggak masalah, kok! Aku ini orang dengan pikiran terbuka lebar, Dania.”Rivan berusaha menghibur Dania yang kelimpungan.Sedangkan Dania segera mencari remote televisi, ke mana benda itu?! Astaga! Dia merogoh bawah bantal sofa, lipatan dalam sofa, tak ada!“Astaga! Itu!” Dania melihat onggokan benda yang dia cari ternyata ada di atas lemari kaca tak jauh dari televisi. Kenapa bisa ada di sana? Oh, itu ketika Rivan datang, dia secara tak sadar menaruh remote di tangannya di lemari itu untuk membukakan pintu bagi Rivan.Maka, bergegas saja Dania meraih remote televisi itu dan langsung menekan tombol di sudut atas untuk mematikan televisi.Ketika gambar di layar akhirnya menghilang, Dania pun mengembuskan napas lega.“Apa televisimu cuma bisa dimatikan melalui remote, Dania?” tanya Rivan.Dania terpaku sejenak mencerna pertanyaan Rivan.Barulah setelah itu, dia memekik tertahan. Dia melupakan tombol manual yang ada di televisi itu sendi
“Rivan! Rivan!” Dania semakin kalap ketika salah satu perawat menutup tirai yang melingkupi tempat tidur.Dia tak mau ketika tirai itu dibuka nantinya, Rivan sudah ditutup kain putih. Dia tak ingin yang dia tonton di salah satu drama akan dia alami sendiri.Maka dari itu, Dania kalap dan berusaha ingin mendekat ke Rivan, memastikan pria itu baik-baik saja.“Nona, tolong jangan mendekat!” Seorang perawat menghadang langkah Dania.Levi berjuang memegangi putrinya.“Dania! Ayo kita keluar dulu!” Levi menarik Dania menyingkir dari sana. “Kita percayakan pada tim medis. Mereka pasti menangani Rivan dengan baik.”Dania menatap ayahnya dan menangis di dada pria tua itu. Setelahnya, dia pasrah ketika digiring keluar kamar rawat inap oleh Levi.Dia terus menangis di luar kamar.“Tuan, Nona,” panggil salah satu perawat.Dania dan Levi sama-sama menoleh.“Gimana pasien?” tanya Dania, tak sabar sambil mengusap kasar air matanya menggunakan ujung lengan baju.Kemudian, dokter jaga yang menangani Ri
Dor!“Agh!” Dania refleks menjerit karena kaget.Dia tidak sempat memberikan reaksi atau respon perlawanan selain merunduk, berharap nyawanya tidak lepas dari raga.Namun, dia justru mendengar suara orang berkelahi. Saat dia mendongak, ternyata Rivan sedang melawan Hizam.“Riv!” pekik Dania melihat Rivan sedang bertarung.Tatapannya jatuh pada pistol yang tergeletak di lantai tak jauh darinya.“Dania! Cepat masuk mobil dan pergi!” seru Rivan.Sedangkan saat ini, di tangan Hizam sudah ada pisau cukup besar yang mengancam nyawa Rivan.Dania menolak pergi. “Nggak! Aku—“Stab!Seketika Dania membeku melongo menyaksikan pisau di tangan Rivan sudah tertancap di perut Rivan.Tersadar oleh situasinya, Dania menjerit, “Rivan!”Sementara itu, terkejut dengan yang dilakukannya, Hizam mencabut pisau itu dan berlari kabur, keluar dari tempat parkir.“Riv! Rivan!” Dania berteriak panik sambil menyongsong Rivan yang ambruk bersimbah darah. “Riv! Bertahan!”Kemudian Dania berteriak minta tolong sambi
“Da-Dania, kenapa kamu sekarang sekasar ini kalau ngomong?” Hizam menatap mantan istrinya.Melihat cara Hizam merespon kalimat tajamnya, Dania malah memberikan wajah canda dengan mata dilebarkan sambil mengulum senyum.Lantas, Dania menyahut, “Apakah kamu terluka ama kata-kata aku, Zam? Itu baru omongan, ya kan? Belum juga aku bikin kamu terluka fisik. Sedangkan keluargamu dan kamu juga… kalian nggak hanya melukai perasaan aku karena omongan jahat kalian, tapi juga melukai fisikku.”Saatnya Dania meluapkan unek-unek yang selama ini dia pendam.“Dulu kamu dan keluargamu sering menghina tubuhku yang masih gendut pake kata-kata menyakitkan. Kamu bahkan nggak bolehin aku muncul di depan teman-teman kamu karena malu punya istri kayak aku.”“Lalu, Zam, kamu juga beberapa kali mencekik, menampar, menjambak, dan meludahi aku sambil mengancam mau bunuh aku kalau aku nggak nuruti aturanmu.”Dania masih ingat kejadian saat Leona pertama kali diketemukan dengannya malam sebelum dia kabur. Itu san
“Apa?!” Alina menjerit dengan wajah terkejut. Matanya melotot dengan kedua alis terangkat tinggi. “Jangan main-main! Kamu pasti bercanda!”Jelas sekali ada ketidakrelaan dari Alina mengenai apa yang baru saja dibacakan oleh Pengacara Julian.Zila hendak mengikuti ibunya yang memberikan kalimat tak rela, tapi dia segera mengurungkan niatnya ketika ayahnya berteriak.“Alina, diam!” bentak Arvan pada sang istri.Alina segera menutup mulut dengan sikap terkejut atas bentakan suaminya. Arvan jarang sekali berkata kasar apalagi membentaknya, kecuali benar-benar di situasi tertentu yang penting.“Apa yang dikatakan papi semuanya fakta, bahkan aku sudah mengetahui wasiat terdahulu papi mengenai Dania.” Arvan menundukkan kepala.Ucapan suaminya membuat Alina semakin terkesima.“Sa-Sayang?” Alina tidak pernah menyangka bahwa suaminya sudah mengetahui adanya wasiat semacam itu dari ayah mertuanya.“Sungguh tepat apabila Tuan Arvan bersedia menceritakan apa yang terjadi dulunya terhadap keluarga
“Zenith Group berkaitan dengan gadis itu?” Alina sampai mendelik kaget mendengar ucapan ayah mertuanya.“Bagaimana bisa begitu, Opa?” Nada suara Zila mencerminkan dirinya tak terima dengan apa yang baru saja disampaikan kakeknya.Yang benar saja! Mana bisa Dania dianggap berkaitan dengan berdirinya Zenith Group? Apakah Hegar sudah terlalu dimakan umur sehingga otaknya bermasalah? Ini yang ada di benak pikiran anggota keluarga Grimaldi di ruangan itu.“Kalian berani menyangsikan ucapan aku?” pekik Hegar dengan napas tersengal.Alen lekas menenangkan Hegar dan mengusap-usap dada pria tua renta tersebut.“Maaf, Papi. Bukannya kami menyangsikan ucapan Papi,” sahut Alina disertai wajah menyesal. “Kami hanya, kaget.”Tak lupa ada cengiran tanda penyesalan di wajah menor Alina. Zila mengangguk untuk mendukung ibunya. Akan gawat kalau sampai pendiri Zenith marah.“Kalian ini tau apa?” ejek Hegar ke menantu dan cucunya.Mata Hegar melirik ke Arvan di dekatnya seakan memberi kode, tapi Arvan ju
“Ada apa dengan Dania?” Mendadak, muncul suara renta dari arah ruang tamu. “Apakah kalian membicarakan Dania anak dari Greg Loveto, mantan karyawanku?”Suara itu muncul berbarengan dengan sosok renta di atas kursi roda yang didorong seorang berpenampilan ala pelayan pria.Segera saja Hizam dan semua yang ada di ruangan itu menundukkan kepala, bersikap sangat hormat pada sosok renta tersebut.“Papi.” Arvan menyebut.“Opa.” Hizam dan Zila sama-sama menyapa sosok renta yang mendekat ke mereka.Orang itu memang salah satu anggota keluarga Grimaldi. Bahkan dia merupakan sosok kunci di balik kesuksesan Zenith Group.Dia adalah Hegar Grimaldi. Usianya sudah mencapai 80 tahun dan memiliki berbagai kompilasi penyakit yang menyebabkan kursi roda menjadi alat terbaik untuknya ketika ingin memiliki mobilitas.Belum lagi botol infus yang turut menggantung di tiang di sebelah kursi rodanya, seakan itu merupakan penunjang hidup terbaik yang bisa dokter berikan padanya.“Papi mertua, kenapa repot-rep
“Saya kurang paham, Tuan,” kata manajer itu. “Sepertinya mereka menggunakan pengaruh mereka untuk menghambat operasi kita.”Hizam yang duduk di pojok ruangan mendongak dengan wajah pucat. “Dania…” bisiknya pelan.***Malam itu, di ruang keluarga Grimaldi, suasana tegang menyelimuti. Alina dan Zila duduk di sofa, sementara Hizam berdiri di dekat jendela dengan wajah lesu. Arvan berjalan mondar-mandir, menahan amarahnya.“Ini semua salahmu, Hizam!” bentak Arvan akhirnya. “Kalau saja kamu tidak bercerai dari dia! Kalau saja kamu berhasil mendapatkan kembali Dania, kita tidak akan menghadapi masalah ini!”Arvan tidak menahan suara menggelegarnya ketika dia sedang dikuasai emosi. Inilah yang membuat dia ditakuti semua penghuni rumah besarnya. Hanya Grimaldi tua, Hegar, yang bisa membuat Arvan takut.“Aku udah mencoba, Pa,” jawab Hizam dengan suara lemah. “Tapi dia nggak mau tau. Dia malahan bilang kalo dia udah tertarik ama pria lain.”Hizam tak berani menaikkan kepala untuk sekedar menata
“Baiklah, Pa. Aku akan mencoba lagi.” Hizam mengangguk akan keinginan ayahnya.Hizam memutuskan untuk tidak menyerah. Dengan penuh tekad, dia menyusun strategi lain untuk meluluhkan hati Dania. Kali ini, dia memutuskan untuk muncul di apartemen mewah Dania tanpa pemberitahuan.Dania yang baru pulang kerja tampak terkejut melihat sosok Hizam berdiri di depan pintu liftnya dengan buket bunga mawar putih di tangan.“Hizam? Apa lagi sekarang?” tanya Dania dengan nada dingin.Kenapa lagi dan lagi mantan suaminya datang padanya? Apakah dia kurang menegaskan ke Hizam bahwa mereka sudah selesai?“Aku ingin bicara, Dania. Tolong,” kata Hizam memohon.Dania mendesah, melirik jam tangannya sejenak, lalu membuka lift dan mereka naik berdua bersama petugas keamanan. Dia bukannya ingin memberi kesempatan ke Hizam, melainkan ingin mendengar bujuk rayu Hizam demi memuaskan egonya sendiri.Sesampainya di penthouse, Dania meminta petugas tadi untuk tetap berjaga di depan pintu ruang transit penthouse.
Keesokan harinya, dia memberikan surat gugatan cerai kepada Leona di rumah mereka. Leona yang membaca surat itu, langsung meledak dalam kemarahan.“HIZAM!” teriaknya, wajahnya memerah. “Apa-apaan ini? Kamu menggugat cerai aku?”Leona yang terbiasa emosional tak bisa menerima apa yang baru diberikan suaminya. Pernikahan mereka masih seumur jagung! Kalau dia sudah menjadi janda, bukankah itu sebuah aib dan malu yang tak terhingga bagi dia dan keluarganya?Hizam mencoba tetap tenang. “Leona, coba ngerti, deh! Hubungan kita ini udah nggak bisa dilanjutkan. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Tolong deh, kamu mengerti ampe sini.”Dia sudah terbiasa dengan temperamen Leona, maka dia bisa tetap tenang menghadapi Leona yang sedang meledak-ledak.Kalau dipikir-pikir lebih jauh, dia memang patut menyesal sudah memilih Leona ketimbang Dania. Apalagi Dania yang sekarang luar biasa cantik, memikat, dan… penerus Ne