"Apa, Sayang? Kenapa mau bertanya saja harus meminta izin dariku dulu?" Chintya melingkarkan tangannya kembali pada pinggul Adimas. Sikap manisnya membuat Adimas seketika ragu untuk mengutarakan pertanyaan yang terpendam di dalam hatinya. "Kok diam, katanya mau bertanya?"Adimas menarik napasnya dalam-dalam berusaha meyakinkan kembali hatinya lalu berkata dengan lembut, "Apa benar Jelita menggantikan kamu untuk menikahi putra keluarga Dinata?"Seketika Chintya melepasnya pelukannya, kedua keningnya berkerut menatap Adimas dengan kesal. "Kok kamu nanyain Jelita sih? Kamu masih ada rasa sama dia, hah? Kamu nyesel?" ucap Chintya merajuk."Sayang, kasihan sekali kamu, Nak. Papi-mu masih memikirkan masa lalunya." Chintya berbicara sendiri sambil mengusap perutnya yang masih terlihat rata.Sikap Chintya membuat Adimas serba salah. Terlihat wajah paniknya karena takut Chintya akan mengalami pendarahan hanya karena sedikit stress."Sayang, jangan salah paham. Aku tidak bermaksud begitu.""Lal
"Jelita, Zeya, kalian mau kemana?" ucap pria yang masih duduk di balik kemudinya. Pria itu perlahan membuka kacamata hitamnya, memperlihatkan matanya yang berbinar cerah namun terlihat begitu dalam ketika dipandang. "Loh Dokter, ngapain di sini? Ini kita baru aja mau pulang," jawab Jelita yang terkejut karena pertemuannya dengan Veshal yang secara tiba-tiba. Sementara itu, Zeya berusaha menyembunyikan senyumnya. Berusaha berpura-pura untuk ikut terkejut, walaupun sebenarnya pertemuan mereka adalah sesuatu yang sudah direncanakan oleh Zeya dan juga Veshal. "Oh Saya tadi ada perlu dengan dosen di sini. Jadi, kebetulan saya lihat kalian," jawab Veshal. "Kamu sudah makan siang? Bagaimana kalau kita makan siang terlebih dahulu?" Raut wajah Jelita terlihat jelas menggambarkan rasa bimbang. Jelita seperti berada diposisi serba salah saat itu, satu sisi ia merasa tidak enak dengan Veshal dan satu sisi lagi ia masih ingat akan janjinya pada Mark. Setelah terdiam sejenak, ia pun berka
"Jadi, kamu menikah dengan pria itu karena ulah kakakmu itu?" Setelah Veshal bertekad dan memberanikan diri untuk bertanya pada Jelita. Kini ia pun mengetahui pengakuan dari mulut Jelita sendiri, mengapa ia bisa tiba-tiba menikah. Veshal yang pernah mendengar sebelumnya dari Zeya pun masih tampak tak percaya sekaligus terkejut, dan masih tak terima dengan permainan takdir yang membelenggu mereka. "Kenapa Jelita, kenapa kamu mengadaikan masa depanmu demi keluarga angkatmu?" tanyanya kembali. Suaranya terdengar Pantau, dengan wajahnya yang menyiratkan kekecewaan. Jelita hanya tersenyum tipis dan berkata, "Saya hanya ingin membalas budi. Tanpa mereka saya tidak akan bisa seperti ini." Veshal tak mampu berkata apapun lagi setelah mendengar apa alasan dari Jelita. Seandainya ia mengetahuinya lebih awal, Veshal akan berusaha mencegah semuanya terjadi. "Tapi bagaimana kamu bertahan dengan cara mereka memperlakukanmu, Jelita. Kamu wanita yang cerdas dan baik, sepantasnya kamu dipe
"Perempuan murahan! Kau mau mempermalukan keluarga kami?!" Belum usai rasa sakit dan terkejut akibat tamparan yang mengenai wajahnya, kini Jelita hanya bisa meringis saat Catherine menarik rambut panjangnya. "Salah saya apa, Tante?" tanya Jelita dengan suara yang tengah menahan rasa sakit. Tak ada perlawanan darinya, ia seakan pasrah diperlakukan seenaknya oleh ibu dari suaminya. "Masih bertanya salahmu apa, hah?! Dasar jalang rendahan! Wanita tidak jelas asal usulnya!" teriak Catherine menghina Jelita sambil terus menerus menarik rambut Jelita. Sebuah tamparan kembali Jelita terima, telinganya terasa berdenging menahan rasa sakit. "Sudah, Nyonya. Sudah." Keadaan terlihat begitu kacau, para asisten rumah tangga pun kewalahan menahan Catherine yang mengamuk bak orang kerasukan. Sementara Jelita terjerembab di lantai dengan wajah yang memar dan rambut yang sudah acak-acakan. "Kau, pergi dari rumahku! Pergi, sialan!" teriak Catherine. Brak! Catherine melempar sebuah
"Lihat kelakuan wanita itu!" Seakan tak ada puasnya, Catherine kembali memprovokasi dengan menunjukan foto-foto itu. Chandra hanya bisa menghela napas melihat tingkah laku istrinya, yang entah mengapa amat sangat membenci Jelita walaupun Jelita tak memiliki salah apapun padanya. "Oh itu, dia sudah bilang kok katanya mau makan siang dengan konsulen dan temannya," jawab Mark singkat dan terkesan tak peduli. Chandra tersenyum, menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya perlahan. "Sudah Daddy bilang, kan? Jangan temakan informasi mentah." "Kamu juga harusnya sudah tahu, bagaimana watak teman-temanmu. Bukankah hobi mereka hanya berfoya-foya dan membuat gosip tidak jelas?" sambung Chandra kembali. "Tapi, mengapa di foto ini hanya berdua? Pasti wanita itu berbohong pada kamu!" kilah Catherine tak mau kalah, karena baginya dirinyalah yang paling benar, dan Jelita hanyalah kambing hitam untuk melampiaskan segala emosi dan kebenciannya. "Pokoknya Mommy mau kamu segera urus percer
"Bi Marni! Bibi!" Suara teriakan menggema, mengiringi pagi hari yang cerah. Catherine tampak sibuk gdengan sebuah tas branded yang ia pilih, dari dalam sebuah lemari kaca miliknya. Dengan cepat bi Marni segera menghampiri Catherine, dengan napas yang terengah-engah." "Ya, Nyah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Cepat panggil si Jelita. Saya dengar hari ini dia libur jadi saya ingin mengajaknya pergi ke mall, yah anggap saja sebagai permintaan maaf saya kemarin karena sudah salah paham," ucapnya tersenyum miring. Entah apa yang tengah direncanakan oleh Catherine, perubahannya yang tiba-tiba sangatlah mencurigakan. Catherine terkenal akan keangkuhannya, maka nyaris mustahil baginya untuk mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu tanpa alasan yang kuat. "Kok bengong, cepat panggil!" serunya sekali lagi. "Baik, Nyah." Bi Marni melangkah dengan tergesa-gesa menuju kamar Jelita. Membuat Mark yang tak sengaja melihatnya baru keluar dari kamar sang ibu dan kini menuju kamar
"Bagaimana menurut, Anda?" Sebuah pertanyaan terlontar untuk pria yang termenung di tengah-tengah agenda pentingnya. Pikirannya melayang, seakan jiwa dan tubuhnya tak berada pada tempat yang sama. "Bagaimana, Tuan Mark?" ucap wanita berkacamata yang tengah berprestasi. Yesi dan Nicky saling berpandangan, seolah tengah berbicara melalui bahasa gerakan tubuh. Nicky segera menginjak kaki Mark cukup keras untuk membawa kembali kesadarannya yang sedari tadi berlalu lalang tanpa arah. "Aw!" pekik Mark yang seketika tertahan karena baru menyadari situasi. Mark sontak merapihkan jas yang ia kenakan lalu melihat ke arah arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Maaf sebelumnya, karena saya kurang sehat, jadi saya mohon izin untuk menyudahi meeting ini dan akan kembali mengatur ulang jadwal pertemuan berikutnya." "Loh, loh, loh, aduh kerjaan lagi!" gumam Yesi lirih. Nasib buruk baginya pagi itu, karena sikap Mark yang tidak seperti biasanya dan terkesan tak profesional, a
Prang! "Maaf, Mbak. Saya kurang hati-hati." Seorang pelayan terlihat panik kala minuman yang ia bawa jatuh dan mengenai pakaian Jelita. Bukannya membela Jelita, Catherine murka dan langsung membentak, "Jelita! Kamu ini benar-benar gak becus ya! Saya, kan bilang kalau kamu harus jaga hati-hati barang belanjaan saya!" Sikap Catherine sontak membuat Jelita terkejut. Ia sama sekali tidak memahami mengapa harus diam disalahkan, padahal sejak tadi ia hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata pun. "Kamu pikir ini berapa harganya? Heh, asal kau tahu, harga dirimu saja tak mampu melampaui harga tas yang saya beli!" bentak Catherine yang cenderung merendahkan. Kini cerita kembali merasa sebagai sebuah objek tontonan menarik, di mana setiap tatapan mata yang memandangnya terasa pedih menusuk hati. Jelita menggigit bibir bagian bawahnya, menahan semua penghinaan yang semakin hari semakin keterlaluan. "Apa salah saya? Sejak tadi saya hanya diam," ucap Jelita berusaha membela dir